Mohon tunggu...
Rolan Sihombing
Rolan Sihombing Mohon Tunggu... profesional -

Kita tidak perlu otak jenius untuk memulai perubahan. Kita hanya perlu hati tulus yang tergerak mengulurkan tangan kepada penderitaan anak-anak bangsa yang tidak seberuntung kita. -www.rolansihombing.wordpress.com-

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Namaku Piet. Pendeta Piet

25 Januari 2015   01:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:26 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Kondisi Jakarta sekarang saja sangat sulit Pak. Apalagi di Maumere."

Sembari tersenyum, dosen Bahasa Ibrani favoritku itu lalu berkata, "Kesulitan melahirkan orang besar, Piet. Justru Maumere akan jadi awal episode petualangan imanmu."

Waktu itu, aku merasa mendapat pompaan semangat. Aku pun membulatkan tekadku untuk mengabdi pada domba-domba Kristus di Maumere.

Aku tiba di Maumere setelah menempuh perjalanan lebih dari sebulan. Kala itu, hampir seluruh pulau Flores dilanda musim kemarau yang panjang. Sawah-sawah banyak yang mengalami gagal panen. Di beberapa kantor desa dan juga gereja, banyak orang mengantri berjam-jam untuk mendapatkan sedikit beras dan bahan makanan lainnya. Walau hanya beberapa kali, aku juga pernah beberapa kali ikut dalam antrian. Dan biasanya akan ada jemaat yang memarahiku dan melarangku mengantri beras.

"Pak Pendeta pulang saja. Nanti saya yang akan antar beras Pak Pendeta," demikian ucapan dari beberapa jemaat yang kerap memarahiku jika mereka mendapati aku ikut mengantri.

Suatu hari, tak ada lagi antrian baik di kantor desa maupun di kantor gereja. Maumere yang masih jarang penduduknya, semakin terlihat kosong melompong di siang hari. Pasar pun tutup lebih cepat. Begitu juga kantor-kantor pemerintahan dan bank. Hari lepas hari pria-pria tegap berseragam semakin banyak berdatangan di Maumere. Beberapa pemimpin mereka memegang selembar atau dua lembar kertas putih yang berisi nomer urut dan sederetan nama.

Tiga hari yang lalu di suatu pagi, kertas itu ada dalam genggaman tanganku yang gemetar. Seorang pria berbadan gempal, yang adalah salah satu dari pemimpin pria-pria tegap bersenjata, mendatangi gereja tempat aku berkarya menggembalakan umatku.

"Pak Pendeta Piet, tolong lingkari nama-nama orang yang bukan jemaat gereja ini?"

"Ini untuk keperluan apa, Pak?"

"Bapak lingkari saja. Nanti akan ada imbalan yang cukup besar untuk Bapak." Lalu sambil menyerahkan sebuah surat bercap, pemimpin pasukan itu berkata, "Kami akan mengatur kepulangan Bapak ke Jakarta untuk kemudian dilanjutkan dengan kepergian Bapak ke Belanda."

"Belanda? Dalam rangka apa?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun