Pendahuluan
Mata Nenek Bunga—bukan nama sebenarnya—berkaca-kaca dan tak jarang ia diam sambil menahan keperihan hatinya saat menceritakan pengalamannya 46 tahun yang lampau pada penulis. Kala itu ia mendapatkan siksaan dari aparat militer yang menciduknya dari kediamannya di Desa Sidomulyo, Perkebunan Padang Halaban. Berulangkali tubuhnya kala itu disetrum dengan listrik sembari diinterogasi mengenai keterlibatannya dengan Gerwani, organisasi sayap Partai Komunis Indonesia. Bahkan tak hanya itu, ia pun tak berdaya menghadapi pelecehan seksual dari orang-orang berpakaian ala militer yang memaksanya menanggalkan pakaiannya agar tato yang konon sebagai identitas wajib anggota Gerwani, bisa dilihat oleh aparat yang menginterogasinya. Padahal tidak ada satu pun tato, dan juga bukti-bukti lainnya, yang dapat mengungkap keterlibatan Nenek Bunga dengan Gerwani kala itu. Selang beberapa waktu dalam tahanan dan penyiksaan, Nenek Bunga pun dibebaskan dengan status wajib lapor dan diberi KTP dengan stigma eks-Tapol atau yang sering dijuluki sebagai KTP hitam, yang membuat beliau tidak dapat memperoleh hak-hak kewarganegaraannya. Tidak hanya itu, selama bertahun-tahun kemudian beliau terpaksa tinggal di hutan belantara karena tanah dan rumah miliknya sudah dirampas secara terencana dan keji oleh oknum penguasa dan pengusaha.
Sepintas kisah Nenek Bunga seperti kisah-kisah sadis dalam film yang tidak mungkin terjadi dalam dunia nyata. Tetapi faktanya Nenek Bunga adalah hanya satu dari jutaan orang yang menjadi korban pelanggaran berat HAM pada peristiwa penumpasan anggota dan simpatisan PKI setelah pecahnya peristiwa G-30S/PKI di pelbagai wilayah Indonesia. Beberapa buku, tesis, disertasi dan bahkan film dokumenter seperti “Jagal: The Act of Killing” yang disutradarai Joshua Oppenheimer ataupun “40 Years of Silence” besutan seorang antropolog, Robert Lemelson, telah berupaya menguak potret kelam sejarah Indonesia pada awal kekuasaan rezim Orde Baru. Pelbagai upaya rehabilitasi korban-korban pelanggaran berat HAM ini pun telah banyak diupayakan, termasuk oleh mitra kerja penulis yaitu Ikatan Keluarga Orang Hilang (IKOHI), namun pro dan kontra terkait peristiwa kelam ini masih terjadi hingga kini. Nenek Bunga dan ribuan penyintas lainnya yang menjadi saksi kunci dan juga korban pelanggaran berat HAM masa lalu, menanti keikhlasan pemerintah untuk mengembalikan hak mereka atas keadilan, pengungkapan kebenaran, dan pemulihan seperti yang dijamin dalam Konvensi Menentang Penyiksaan yang berbunyi:
“Negara harus menjamin, dalam sistem hukumnya, agar korban dari suatu tindak penyiksaan memperoleh ganti rugi dan mempunyai hak untuk kompensasi yangadil dan memadai termasuk sarana untuk rehabilitasi sepenuh mungkin.”
Masalah-masalah Sosial Di Indonesia
Kisah Nenek Bunga di atas adalah setitik nila di tengah lautan permasalahan sosial yang ada di sekitar kita saat ini. Beliau dan pelbagai permasalahan sosial lain yang bisa kita lihat dengan kasat mata adalah buah dari kegagalan Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan kesejahteraan sosial yang sudah diatur secara konstitusi dan menjadi hak seluruh rakyat Indonesia. Soetomo (2013:1) menyatakan permasalahan sosial merupakan sebuah kondisi yang tidak diharapkan, yang kemunculannya juga selalu mendorong tindakan untuk melakukan perubahan dan perbaikan terhadap masalah-masalah sosial tersebut.
Masalah-masalah sosial yang sekarang ada, disinyalir akan semakin banyak dijumpai di Indonesia. Sebagai anggota dari Development Member Countries (DMC’s), Indonesia dan negara-negara sekitar kawasan Asia Pasifik pada tahun 2020 akan mengalami 6 masalah sosial yang utama, yaitu: (a) meningkatnya angka penduduk lansia; (b) meningkatnya angka migrasi internal dan lintas perbatasan; (c) meningkatnya angka urbanisasi penduduk ke wilayah perkotaan sebesar 5% per tahun; (d) meningkatnya biaya layanan sosial yang semakin tak terjangkau oleh kelompok berpenghasilan rendah; (e) meningkatnya ancaman bencana alam dan perubahan iklim secara ekstrim; (f) meningkatnya krisis pangan, krisis energi dan krisis keuangan global (Asian Development Bank, 2011:1).
Berdasarkan laporan sosial ekonomi yang dirilis BPS (2014:7), disebutkan perekonomian di Indonesia selama pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tumbuh 6-7 persen per tahun, dimana 11,25% penduduk Indonesia (28,8 juta orang) dikatakan masih hidup di bawah garis kemiskinan. Angka ini hanya turun dari 11,6% pada 2012, dan 11,96% pada 2011.
Sedangkan terkait masalah penggangguran, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada Februari 2014 sebesar 5,70 persen, dimana dalam setahun terakhir (Februari 2013–Februari 2014), jumlah penduduk yang bekerja di Indonesia bertambah hanya 1,7 juta orang. Angka ini sangat kecil dibanding dengan peningkatan jumlah pencari kerja pada tahun 2012 saja sudah terdata sebanyak 118, 05 juta orang; dan terdata pada tahun 2013 mencapai 122,55 juta orang—diperkirakan pada tahun 2014 jumlah pencari kerja akan meningkat menjadi 124,42 juta orang; atau dengan kata lain ada 360 ribu orang sarjana yang menganggur di negeri ini. Sayangnya angka tersebut hanyalah hiburan semu yang enak dilihat di media massa sebagai propaganda pihak penguasa untuk menutupi fenomena kemiskinan yang masih secara kasat mata masih melekat dalam kehidupan kaum terpinggirkan seperti petani gurem, buruh tani, pedagang kaki lima, buruh pabrik, buruh nelayan, nelayan gurem, pengangguran dan jutaan kaum terpinggirkan lainnya.
Kondisi ini tidak terlepas dari persoalan klasik yang sedari dulu menjadi kontributor terhadap maraknya permasalahan sosial, yaitu isu ketimpangan pembangunan (inequality). Model kebijakan pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi tinggi dan juga politik kebijakan ekonomi Indonesia yang semakin bias pada kepemilikan modal besar merupakan penyebab semakin timpangnya ekonomi yang terjadi di Indonesia saat ini. Kebijakan eksploitasi yang massif atas kekayaan alam sebagai instrument pertumbuhan ekonomi, juga mendorong kepemilikan sumber daya alam hanya oleh para kelompok pemodal besar. Padahal sumber daya alam yang dieksploitasi adalah sektor-sektor ekstraktif yang tidak memiliki relevansi besar terhadap nilai tambah ekonomi, penciptaan lapangan pekerjaan dan peningkatan kesejahteraan. Akibat kebijakan ini, muncullah orang-orang terkaya di Indonesia dari sektor-sektor seperti perkebunan kelapa sawit dan pertambangan. Ironisnya, masyarakat yang berada di kawasan eksploitasi tersebut justru mengalami penurunan kesejahteraan atau bahkan berada dalam tingkat kemiskinan ekstrem.
Padahal manusia adalah inti dari kemakmuran sebuah bangsa (wealth of nation). Jadi pembangunan seharusnya melibatkan dan menyejahterakan orang-orang seperti Nenek Bunga yang mengalami diskriminasi karena stigma PKI, ataupun kaum transgender yang juga acapkali mengalami peminggiran massif dari pemerintah. Pembangunan juga harusnya menyelesaikan masalah-masalah sosial dan bukannya justru menambah beban masyarakat kecil dengan pelbagai masalah sosial lainnya.
Proses Pembangunan Kesejahteraan Sosial
Proses penanganan atau intervensi masalah sosial yang bertujuan menyejahterakan manusia secara paripurna inilah yang kemudian disebut sebagai sebuah upaya pembangunan kesejahteraan sosial (Doldgoff & Feldstein, 2000: 4).Selain itu, tujuan lebih lanjut dari pembangunan kesejahteraan sosial adalah: (1) memperkuat kapasitas pemecahan masalah sosial masyarakat; (2) menghubungkan orang-orang dengan sistem yang menyediakan sumber daya, layanan-layanan, dan peluang-peluang; (3) memberikan kontribusi pada pengembangan dan peningkatan dan pengembangan kebijakan sosial (Pincus & Minahan, 1976:9).
Senada dengan itu, Suharto (2009:4) menyatakan bahwa pembangunan kesejahteraan sosial (PKS) adalah usaha yang terencana dan melembaga yang meliputi berbagai bentuk intervensi sosial dan pelayanan sosial untuk memenuhi kebutuhan manusia, mencegah dan mengatasi masalah sosial, serta memperkuat institusi-institusi sosial (Suharto, 2009:4). Tujuan PKS adalah untuk meningkatkan kualitas hidup manusia secara menyeluruh yang rnencakup:
1.Peningkatan standar hidup, melalui seperangkat pelayanan sosial dan jaminan sosial segenap lapisan masyarakat, terutama kelompok-kelompok masyarakat yang kurang beruntung dan rentan yang sangat memerlukan perlindungan sosial.
2.Peningkatan keberdayaan melalui penetapan sistem dan kelembagaan ekonomi, sosial dan politik yang menjunjung harga diri dan martabat kemanusiaan.
3.Penyempurnaan kebebasan melalui perluasan aksesibilitas dan pilihan-pilihan kesempatan sesuai dengan aspirasi, kemampuan dan standar kemanusiaan.
Oleh karena itu pembangunan kesejahteraan sosia haruslah melalui sebuah proses perubahan sosial yang terencana, melibatkan berbagai pihak, menggunakan berbagai pendekatan dan strategi, serta memanfaatkan berbagai sumber daya. Soetomo (2013: 24) juga berpendapat bahwa dalam kenyataannya, proses pembangunan kesejahteraan sosial dapat dilakukan oleh negara dan oleh masyarakat sendiri. Dalam upaya PKS berbasis negara maka Negara bisa mengkondisikan sebuah perubahan lewat layanan sosial (social services/provisions), dan perlindungan sosial (social protection). Sedangkan upaya pemecahan berbasis masyarakat bisa melalui pemberdayaan komunitas/masyarakat (community development). Ketiga fokus kegiatan tersebutdilakukan dengan berdasar pada kebijakan sosial atau strategi pengembangan masyarakat yang bermatrapencegahan, penyembuhan dan pengembangan.
Kebijakan sosial dapat diartikan sebagai kebijakan yang menyangkut persoalan pendidikan, kesehatan, tenaga kerja, dan jaminan sosial. Selain itu kebijakan sosial mencakup institusi dan kebijakan yang mengatur luas-sempit atau ada-tidaknya redistribusi sumber daya ekonomi, perlindungan sosial dan keadilan sosial. Kebijakan sosial juga sangat penting untuk mengoptimalkan potensi sumber daya manusia dan tenaga kerja produktif.
Selain itu, kebijakan sosial juga dapat dianggap sebagai sebuah kebijakan yang mengandung aktivitas-aktivitas yang dapat mempengaruhi kesejahteraan (Hill, 1997:1). Tujuan kebijakan sosial, terutama digunakan untuk mendeskripsikan peranan negara dalam hubungannya dengan kesejahteraan warganya. Sedangkan Spicker (1995:3) mendefinisikan kebijakan sosial sebagai studi tentang pelayanan sosial dan negara kesejahteraan. Terkait dengan negara kesejahteraan (welfare state), Acemoglu (2012:88) menyatakan bahwa satu negara bisa mencapai taraf kesejahteraan yang lebih baik dibanding negara tetangganya yang bahkan hanya dipisahkan oleh garis perbatasan, adalah karena perbedaan di antara kedua negara tersebut baik perbedaan secara institusional, perbedaan dalam peraturan atau kebijakan sosial yang berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi dan juga perbedaan insentif yang memotivasi warga negaranya.
Beberapa contoh kebijakan sosial yang pernah dibuat pemerintah Indonesia pasca Orde Baru adalah sebagai berikut:
1.Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang bertujuan mengurangi dampak krisis pada masyarakat miskin dengan menjaga keterjangkauan dan ketersediaan pangan, menjaga daya beli masyarakat miskin, mempertahankan fasilitas sosial yang penting, dan mengupayakan tindakan khusus untuk memelihara kesejahteraan ibu dan anak. Dalam perkembangannya, program-program JPS diperluas mulai dari Operasi Pasar Khusus (OPK) atau pengadaan beras bagi masyarakat miskin, Program Padat Karya Sektor Kehutanan (PKSK), sampai Program Pemberdayaan Daerah dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDMDKE).
2.Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Program ini bertujuan untuk meningkatkan akses jaminan pelayanan kesehatan gratis di rumah sakit, puskesmas atau badan penyelenggara layanan kesehatan lainnya bagi keluarga pra-sejahtera. Peserta Jamkesmas tidak dikenakan iuran atau biaya, namun dalam prakteknya puskesmas dan rumah sakit kerap membebani peserta dengan beragam biaya tambahan. Bahkan banyak pemilik kartu Jamkesmas memilih untuk tidak menggunakannya dikarenakan takut ditolak rumah sakit atau puskesmas, takut administrasinya dipersulit, dan khawatir mendapat pelayanan yang buruk.
3.Bantuan Langsung Tunai. Kebijakan BLT ini lahir dari keputusan pemerintah menaikkan harga BBM pada 1 Oktober 2005. Untuk mengurangi beban masyarakat yang semakin berat karena kenaikan harga BBM tersebut, maka pemerintah mengeluarkan program kompensasi pengurangan subsidi BBM melalui BLT. Setiap rumah tangga miskin mendapatkan kompensasi Rp 100.000 per bulan yang diberikan tiga bulan sekali selama setahun. Masalah yang sering muncul kemudian adalah selain dana yang diterima terlalu kecil, BLT juga dianggap mengandung sejumlah kelemahan dalam hal penyelewengan dan target capaian. Program ini juga sering dianggap sebagai cara memberi suara orang miskin jelang Pilkada atau Pemilu.
Sedangkan yang dimaksud dengan pemberdayaan masyarakat adalah strategi untuk mendorong proses perubahan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik, yang bersandar pada prakarsa dan partisipasi masyarakat sendiri, akan tetapi tidak menutup pintu bagi pemanfaatan sumber daya eksternal (Soetomo, 2006:79). Melalui strategi ini upaya sinergi antara sumber daya internal dan eksternal menuju pada tindakan bersama oleh masyarakat yang melembaga dan berkelanjutan. Sumber eksternal yang dimaksud memiliki fungsi untuk mendorong dan mengembangkan kapasitas masyarakat. Oleh karenanya, prinsip utama yang digunakan dalam pemberdayaan masyarakat ini adalah bahwa seluruh proses tindakan mewujudkan perubahan sosial dijalankan bukan saja untuk masyarakat, tetapi juga bersama dan oleh masyarakat sendiri.
Suharto (1997: 210-224) juga menyatakan pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah sehingga mereka memiliki kekuatan atau kemampuan dalam: (a)memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan (freedom), dalam arti bukan saja bebas mengemukakan pendapat, melainkan bebas dari kelaparan, bebas dari kebodohan, bebas dari kesakitan; (b)menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang mereka perlukan; dan (c) berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka.
Dalam perkembangan terakhir, strategi pengelolaan sumber daya berbasis komunitas (Community Based Resources Management) telah banyak digunakan dan menjadi arus utama dalam pengembangan masyarakat yang lebih mengakomodir kedua sumber daya, internal dan eksternal tersebut. Strategi ini merupakan bagian dari upaya untuk memberikan kewenangan kepada komunitas khususnya masyarakat lokal untuk mengelola pembangunannya termasuk pengelolaan sumber daya. Konsep termutakhir Pembangunan yang Digerakkan Masyarakat (Community-Driven Development) lebih merujuk pada kemampuan komunitas dalam memutuskan sendiri pilihan sumber daya yang ada demi tujuan dan kegunaannya sendiri (Wrihatnolo dan Dwidjowijoto, 2007:107). Dari ketiga pendekatan berbasis pengembangan masyarakat tersebut dapat ditemukan kesamaan, yaitu sama-sama berbasis komunitas, dan mengandung unsur pemberdayaan.
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan sosial adalah hasil dari penanganan masalah-masalah sosial yang melibatkan multi pihak, baik pemerintah, masyarakat maupun sektor swasta yang berperan sebagai agen perubah. Para agen perubah yang multipihak ini pun melakukan pemetaan masalah dan kebutuhan masyarakat untuk kemudian melakukan mobilisasi modal atau pun asset yang dimiliki bersama-sama. Mobilisasi modal dan asset ini kemudian digunakan untuk implementasi pelbagai strategi, baik lewat kebijakan sosial ataupun pengembangan masyarakat, untuk mengupayakan kesejahteraan para penerima manfaat (beneficiaries). Sebagaimana perubahan tidaklah statis, melainkan dinamis, dinamika yang terjadi dalam proses penanganan masalah-masalah sosial ini pun harus dikelola secara berkelanjutan lewat aktivitas monitoring, evaluasi dan pembelajaran, yang kemudian secara alamiah akan memaksa para agen perubahtersebut untuk berevolusi secara terus-menerus agar intervensi mereka semakin efektif dan efisien, dan juga perubahan-perubahan yang dihasilkan semakin nyata dirasakan oleh masyarakat.
Landasan Teologis Bagi Keterlibatan Gereja Dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial
Pada mulanya, usaha-usaha kesejahteraan sosial atau penanganan masalah-masalah sosial, umumnya dilakukan oleh kelompok keagamaan, dalam hal ini Gereja, dan lebih bersifat amal (Adi, 2005:1-10). Keterpanggilan mereka pada penanganan masalah-masalah sosial didasari pada nilai-nilai kemanusiaan yang meyakini bahwa kondisi kemiskinan yang terjadi kala itu, adalah sesuatu yang tidak seharusnya terjadi.
Motif dasariah keterpanggilan Gereja untuk terlibat aktif dalam pembangunan kesejahteraan sosial masyarakat bisa diambil dari Injil Yohanes. 10:10 yang berbunyi:
“Pencuri datang hanya untuk mencuri dan membunuh dan membinasakan; Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.”
Keterlibatan Gereja dalam pembangunan kesejahteraan sosial adalah karena meneladani apa yang sudah dilakukan oleh Kristus yang datang menjelma menjadi sama dengan manusia yang tidak lain adalah tujuan dari pembangunan kesejahteraan sosial tersebut. Meskipun Ia adalah TUHAN, Ia datang ke dunia dan rela berkutat dengan seluruh aspek kemanusiaan umat yang Ia kasihi. Ia merasakan kelaparan yang sama dengan orang-orang di sekitarnya. Ia mengalami penderitaan akibat penjajahan Romawi yang sama dengan teman-teman sepermainanNya. Ia tidak duduk di istana atau tinggal di balik bangunan megah yang tertutup rapat dengan penjagaan ketat, tetapi Ia duduk bersama kumpulan orang berdosa (Mar.2:16).
AgendaNya pun jelas. Bukan untuk mencari popularitas semu, atau pula membangun kebesaranNya sendiri. KedatanganNya adalah untuk mengembalikan harkat dan martabat manusia dengan memberikan kehidupan. Gagasan tentang martabat manusia bersumber pada keyakinan bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan kesamaan dengan Allah (Kej. 1:27). Dengan menjadi citra Allah, ia menjadi pusat dan puncak ciptaan Allah. Pribadi manusia merupakan cerminan paling gamblang dari Allah yang hadir di tengah-tengah kita.
Meneladani Kristus yang datang kepada manusia untuk memberi manusia hidup, maka satu-satunya tujuan Gereja adalah memelihara dan bertanggung jawab atas pribadi manusia yang telah dipercayakan Kristus kepadanya. Gereja tidak berhadapan dengan kemanusiaan yang abstrak, melainkan dengan pribadi nyata, konkret, dan historis. Gereja berhadapan dengan setiap individu, karena setiap orang adalah bagian dari misteri Penebusan, dan melalui misteri ini Kristus menyatukan diriNya dengan setiap orang selamanya. Karena itu, Gereja tidak dapat mengabaikan kemanusiaan, dan bahwa pribadi manusia ini adalah langkah utama yang harus ditapaki Gereja dalam melaksanakan misi pembangunan kesejahteraan sosialnya; langkah yang telah dijejaki oleh Kristus sendiri, yang adalah satu-satunya jalan menuju misteri Inkarnasi dan Penebusan.
Inisiatif Kristus untuk datang ke dunia memberi hidup yang berkelimpahan dapat diartikan bahwa Kristus sendiri menghendaki setiap manusia dapatmengembangkan dirinya dimana perkembangan diri manusia ini bukanlah sesuatu yang bersifat fakultatif atau opsional. Maksudnya, bukan terserah pada masing-masing pribadi untuk mau berkembang atau tidak. Sebaliknya, perkembangan dan kemajuan diri adalah panggilan yang merupakan bagian dari rencana keselamatan Allah bagi setiap orang. Artinya, Allah menghendaki setiap manusia untuk berkembang. Keselamatan manusia diwujudkan dengan mengembangkan dirinya sesuai dengan kehendak Allah. Karena itu, kemuliaan Allah dan perkembangan diri manusia bukanlah dua hal yang bertentangan.
Hidup yang manusiawi berarti bahwa setiap manusia mendapatkan segala kondisi-kondisi yang dibutuhkan untuk bisa hidup secara layak (Cloutier, 2009:102-104). Hidup layak tidak berarti seseorang bisa membeli apa saja yang dia inginkan tetapi ditandai oleh bisa tidaknya seseorang mengembangkan dirinya sebagai manusia secara lebih penuh. Termasuk dalam kondisi-kondisi umum tersebut adalah lapangan pekerjaan, pendidikan, kesehatan, sanitasi, fasilitas air bersih, penerapan hukum yang adil, perlindungan terhadap hak-hak dan hak milik, ketersediaan pelayanan-pelayanan bagi kebutuhan yang umum, dan seterusnya. Gagasan terpenting di sini adalah bahwa untuk bisa berkembang, semua orang membutuhkan kondisi-kondisi tersebut dan dalam prakteknya tidak ada orang yang dikecualikan dari akses terhadap kondisi-kondisi itu.
Jadi upaya pembangunan kesejahteraan manusia adalah kewajiban setiap orang yang harus dibangun di atas dasar solidaritas. Solidaritas adalah sebuah kebajikan moral yang otentik dan bukan suatu perasaan belas kasihan yang samar-samar atau rasa sedih yang dangkal karena nasib buruk yang dialami orang-orang yang kurang beruntung dari dirinya. Sebaliknya, solidaritas ialah tekad yang teguh dan tabah untuk membaktikan diri kepada kesejahteraan sosial, artinya kepada kesejahteraan semua orang atas dasar penempatan manusia tanpa pandang bulu sebagai pusat dan puncak ciptaan Allah. Solidaritas adalah sebuah kebajikan yang diarahkan secara tak berbanding kepada kesejahteraan sosial, dan ditemukan di dalam komitmen terhadap kesejahteraan sesama disertai kesediaan, yang menurut Injil, untuk kehilangan diri sendiri demi sesama alih-alih mengisapnya, dan untuk melayaninya alih-alih menindasnya demi keuntungan sendiri (bdk. Mat 10:40-42;20:25; Mrk 10:42-45; Luk 22:25-27).
Dimana Gereja Dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial?
Dari semua paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Gereja tidak boleh tinggal diam dalam upaya pembangunan kesejahteraan sosial. Secara teologis, solidaritas atas manusia sebagai puncak dan pusat karya Kristus sudah cukup menjadi dasar untuk pekerjaan-pekerjaan sosial yang dilakukan Gereja. Gereja juga tidak boleh menutup mata dan cuci tangan dari ragam persoalan sosial yang ada di tengah masyarakat. Keterlibatan Gereja dalam permasalahan sosial dan upaya peningkatan sosial harus benar-benar maujud secara nyata di tengah masyarakat layaknya inkarnasi Kristus, dimana Ia yang Tak Terbatas dengan penuh solidaritas membatasi diriNya sama seperti manusia yang Ia layani.
Secara institusi, Gereja memang tidak bisa melembaga secara formal dalam parlemen dan terlibat dalam perumusan kebijakan sosial. Bukan berarti Gereja kemudian menjadi anti politik. Justru Gereja harus melek politik dan mempersiapkan umatNya untuk bertarung secara trengginas di medan pertempuran politik. UmatNya-lah yang harus bertarung memperjuangkan kebijakan-kebijakan sosial di gedung parlemen. Motifnya adalah agar kebijakan-kebijakan tersebut betul-betul sesuai ajaran Kristus yang menempatkan kesejahteraan manusia sebagai pusat dan puncak karyaNya.
Khotbah ibadah Minggu di Gereja adalah sarana paling efektif untuk mendorong umat secara individu dan kolektif terlibat aktif dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Isu-isu tentang Hak Asasi Manusia, ODHA, kemiskinan, perlindungan anak, ketahanan pangan, kelestarian lingkungan, hingga kesadaran membayar pajak haruslah menjadi topik-topik yang disampaikan untuk membekali jemaat semakin memiliki komitmen untuk mengatasi permasalahan-permasalahan sosial, yang kemudian pada akhirnya mendorong jemaat yang terpanggil di arena politik untuk memiliki prinsip politik yang Kristiani.
Penulis cukup prihatin ketika menghadiri sebuah ibadah di sebuah mega-church di salah satu kota besar, dimana Pendeta mengkhotbahkan tentang kehidupan pribadi yang diberkati untuk kepentingan diri sendiri, bukannya untuk memberi kelebihan hartanya untuk kesejahteraan orang lain. Dan di akhir khotbah, Pendeta tersebut menekankan pentingnya memberi perpuluhan. Penulis tidak menafikan perpuluhan, tetapi perpuluhan adalah salah satu kebijakan perlindungan sosial pada masyarakat pra-modern, yang tujuannya bukan untuk memperkaya Pendeta. Perpuluhan itu mekanisme pengumpulan dana dari jemaat untuk dikelola secara akuntabel untuk kepentingan jemaat. Bayangkan jika dana jemaat tidak dikelola secara bersih, transparan dan professional, maka dana itu dengan mudah diselewengkan untuk kesejahteraan pribadi Pendeta, seperti yang terjadi pada salah satu Pendeta karismatis di Singapura, Kong Hee, yang menyelewengkan dana jemaat untuk membiayai karir bermusik istrinya.
Jika Gereja secara institusi sebaiknya tidak berpolitik praktis, dan hanya mengambil peran sebagai tempat belajar jemaat untuk isu-isu dan permasalahan sosial, maka dimana lagi peran yang bisa diambil oleh Gereja? Pemberdayaan masyarakat adalah strategi yang paling efektif untuk memposisikan Gereja secara aktif dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Bagaimana langkah-langkah pemberdayaan masyarakat yang bisa dilakukan oleh Gereja?
1.Melakukan pemetaan masalah, kebutuhan, asset ekosob (ekonomi, sosial, budaya) di daerah yang menjadi sasaran. Sebagaimana yang menjadi kredo pengembangan masyarakat yang menjadi mantra bagi para pendamping masyarakat, bahwa dengan tinggal bersama masyarakat sembari belajar dari masyarakat adalah merupakan tahapan krusial. Karena dengan berinkarnasi dengan masyarakat, maka pelbagai kebutuhan, permasalahan, potensi/asset yang sudah dimiliki dan dipraktekkan oleh masyarakat, akan dapat diidentifikasi untuk kemudian berlanjut pada tahap berikutnya. Pola doa keliling ataupun perintisan Pos PI juga dalam skala tertentu bisa merupakan metode sederhana dalam proses pemetaan ini.
2.Melakukan perencanaan bersama dengan masyarakat yang menjadi sasaran intervensi. Konsep kunci dalam tahap ini adalah selalu mulai dengan apa yang sudah dimiliki dan diketahui masyarakat. Dalam tahapan ini seluruh pengetahuan kita tentang pelbagai teori sosial ataupun manajemen program/proyek, haruslah ditanggalkan. Di dalam perencanaan bersama ini beberapa metode yang mudah bisa digunakan seperti ABCD (Assets Based Community Development), ataupun AI (Appreciative Inquiry). Dalam proses ini perubahan yang ingin dicapai di tengah masyarakatharus bisa dikonversi dalam sebuah dokumen rencana program yang menjelaskan Impact, Outcome, Output, Strategies/Activities dan Budget sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan sebagai batasan waktu intervensi.
3.Melakukan pendampingan secara teknikal. Dalam implementasi program pemberdayaan masyarakat, kita akan selalu menemui kendala-kendala yang memerlukan pendampingan teknis. Contoh sederhana, pendampingan teknis dalam mendokumentasi perkembangan program yang diimplementasikan, pendampingan teknis dalam membuat laporan keuangan yang efektif, dan lain-lain.
4.Melakukan proses pengawasan, pembelajaran dan evaluasi. Tiap program yang sudah dilaksanakan haruslah segera dievaluasi dan dilakukan pembelajaran agar di kemudian hari pelaksanaan program oleh masyarakat akan semakin baik. Metode Action-Reflection-Learning-Planning (ARLP) atau metode River of Life adalah sebagian kecil metode pembelajaran dan evaluasi yang bisa dilakukan dengan mudah untuk pelaksanaan program yang lebih baik.
Sebagai contoh, pada saat penulis bertemu dengan para anggota Kelompok Tani Padang Halaban dan Sekitar satu bulan yang lalu, penulis bersama para anggota kelompok tersebut mengidentifikasi praktek-praktek diskriminasi dari pemerintah yang seperti apa yang mereka alami. Selain itu penulis juga memfasilitasi para petani tersebut untuk menemukan assets atau kekuatan dan peluang yang mereka miliki. Dengan penuh antusias masyarakat pun melontarkan pelbagai hal yang bahkan tidak mereka sadari sebagai sebuah kekuatan yang bisa digunakan untuk pembangunan kesejahteraan sosial. Keterampilan mereka dalam mengolah hasil kebun palawija seperti singkong dan jagung bisa dimaksimalkan jika ada praktisi yang sudah berhasil mengolah singkong dan jagung dari hulu sampai ke hilir. Sehingga salah satu strategi yang akan digunakan Kelompok Tani Padang Halaban dan Sekitar untuk memperkuat posisi tawar mereka sebagai kelompok yang berdaya dan bukannya kelompok korban pelanggaran berat HAM masa lalu adalah dengan menggunakan Koperasi Serba Usaha yang akan memproduksi, mengemas, mempromosikan dan menjual keripik singkong.
Dalam hal pemberdayaan masyarakat inilah, Gereja bisa memiliki porsi yang lebih besar dan strategis untuk pembangunan kesejahteraan sosial. Sehingga di kemudian hari program karitatif seperti “Nasi Bungkus Dari Tuhan” yang tingkat keberlanjutannya sangat rendah tidak akan dipraktekkan lagi oleh Gereja. Bukankah akan lebih baik jika Gereja dapat mengentaskan kemiskinan di satu daerah dengan menumbuhkan usahawan-usahawan baru lewat Koperasi Serba Usaha ataupun Koperasi Simpan Pinjam, misalkan. Potensi sumber daya baik secara funding ataupun secara manusia yang demikian besar, akan berkontribusi besar terhadap makin terpaparnya masyarakat penyandang masalah sosial dengan manisnya kesejahteraan sosial yang adalah rencana Allah yang sudah disediakan untuk mereka.
Dan siapa tahu, Indonesia yang lebih baik tidak lagi sekedar impian kosong di siang bolong. Semoga.
Daftar Pustaka
Acemoglu, Daron., & James. A. Robinson. 2012. Why Nations Fail. New York: Crown Publishing.
Adi, Isbandi Rukminto., 2005. Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial: Pengantar Pada Pengertian dan Beberapa Pokok Bahasan. Jakarta: FISIP-UI Press.
Badan Pusat Statistik., 2014. Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi. Edisi September 2014. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Curran, Charles E., (2007). Buruh, Petani, dan Perang Nuklir: Ajaran Sosial Gereja, 1891 – Sekarang. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Cloutier, David., “Modern Politics and Catholic Social Teaching” dalam McCarthy, David Matzko (2009). Ed. The Heart of Catholic Social Teaching: Its Origins and Contemporary Significance. Grand Rapids: Brazos Press.
Dolgoff, R., & D. Feldstein., 2012. Understanding Social Welfare. Fifth edition. Needham Heights, MA: Allyn and Bacon.
Hill, Michael., 1997. Understanding Social Policy. London: Blackwell Publishers.
Kirst-Ashman, Karen K., 2007.Introduction to Social Work and Social Welfare: Critical Thinking Perspectives. Belmont: Thomson Brooks/Cole.
Lowy, Michael. 1999. Teologi Pembebasan. Yogyakarta: INSIST.
Massaro, Thomas., 2000. Living Justice: Catholic Social Teaching in Action. Winconsin: Sheed and Ward.
Pincus, Allen., & Anne Minahan., 1976. Social Work Practice: Model and Method. Illinois: F.E. Peacock Publishers.
Prasetyantoko, A., Setyo Budiantoro, Sugeng Bahagijo (ed). 2012. Pembangunan Inklusif: Prospek dan Tantangan Indonesia. Jakarta: LP3ES
Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC)., 2002. Investing In Ourselves: Giving And Fund Raising In Indonesia. Metro Manila. Asian Development Bank Publishing.
Schaefer, Bernd., Baskara T. Wardaya. 2013. 1965: Indonesia and The World. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sembiring, Garda., & Harsono Sutedjo (ed). 2004. Gerakan 30 September 1965: Kesaksian Letkol (Pnb) Heru Atmodjo. Jakarta: PEC.
Soetomo. 2009. Pembangunan Masyarakat: Merangkai Sebuah Kerangka. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
________2011. Masalah Sosial Dan Upaya Pemecahannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Spicker, Paul. 1995. Social Policy: Themes and Approaches. London: Prentice Hall.
Suharto, Edi., 2009. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial & Pekerjaan Sosial. Bandung: Refika Aditama.
Wrihatnolo, Randy R., dan Rian Nugroho Dwidjojowijoto. 2007. Manajemen Pemberdayaan. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Zastrow, Charles. 2004. Introduction to Social Work and Social Welfare. Belmont: Thomson Brooks/Cole.
Tentang penulis:
Penulis adalah alumni STT INTI. Saat ini penulis adalah Program Coordinator di Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) untuk program PNPM Peduli yang merupakan kerjasama bersama The Asia Foundation (TAF), Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat RI dan Australian Government—Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT). Selain itu, saat ini penulis juga sedang menempuh pendidikan Pasca Sarjana program studi Kesejahteraan Sosial di Universitas Indonesia.
Nenek Bunga adalah salah satu dari 300 KK yang sejak tahun 1998 hingga kini berupaya menduduki kembali lahan mereka yang pernah dirampas oleh penguasa. Program PNPM Peduli untuk korban pelanggaran berat HAM masa lalu yang dikoordinir penulis, saat ini memasuki tahap kedua implementasi program di Perkebunan Padang Halaban bekerjasama dengan Ikatan Keluarga Orang Hilang (IKOHI) Sumatera Utara.
Berdasarkan laporan awal IKOHI Sumatera Utara pada Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa), area Perkebunan Padang Halaban seluas 3000 HA pada tahun 1945 adalah lahan perkebunan yang dibagikan kepada rakyat bekas kuli bangsa Jepang atas seruan nasionalisasi aset asing oleh Bung Karno. Tanah-tanah tersebut dibagikan berdasarkan bekas divisi perkebunan Padang Halaban di masing-masing tempat. Selanjutnya area bekas perkebunan tersebut dikembangkan menjadi perkampungan rakyat/desa, dengan luas tanah yang berhak digarap rakyat masing-masing seluas 2 (dua) Ha/KK. Pembagian tanahnya: Tanah di bekas Divisi I yang diduduki rakyat dinamakan Desa Sidomulyo, Tanah di bekas Divisi Pabrik yang diduduki rakyat dinamakan Desa Karang Anyar, Tanah di bekas Divisi II yang diduduki rakyat dinamakan Desa Sidodadi/Aek Korsik, Tanah di bekas Divisi III yang diduduki rakyat dinamakan Desa Purworejo/Aek Ledong, Tanah di bekas Divisi IV-V yang diduduki rakyat dinamakan Desa Kartosentono/Brussel, dan Tanah di bekas Divisi VI yang diduduki rakyat dinamakan Desa Sukadame/Panigoran. Tahun 1954 setelah dikeluarkannya UU Darurat Nomor 8 Tahun 1954 oleh Pemerintah Republik Indonesia, masyarakat desa yang telah menduduki dan mengusahai tanah rampasan perang,diberikan KTPPT (Kartu Tanda Pendaftaran Pendudukan Tanah) yang dikeluarkan oleh KRPT (Kantor Reorganisasi Pemakaian Tanah) wilayah Sumatera Timur sebagai dasar untuk mendapatkan atau memperoleh hak atas lahan yang diakui hukum seperti diatur dalam UUPA No 5 Tahun 1960. Sejak pengesahan tersebut rakyat dibebani kewajiban membayar pajak atau Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA) oleh Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu. Demikian pula dengan status tanah yang dikuasai dan dimiliki oleh rakyat disahkan oleh pemerintah pada saat itu dan juga telah dikeluarkan dari areal Hak Guna Usaha (HGU) Perkebunan Padang Halaban (saat itu bernama Perusahaan NV. SUMCAMA dan sekarang menjadi PT. Smart, Tbk). Pada tahun 1962, setelah sekitar 17 (tujuh belas) tahun mengembangkan dirinya, Desa Sidomulyo berhasil mendapatkan Penghargaan dari Gubernur Sumatera Utara (saat itu Ulung Sitepu) setelah berhasil meraih Juara II Desa Terbaik se-Sumatera Utara. Penghargaan itu diberikan langsung oleh Ulung Sitepu dan diterima oleh Kepala Desa Sidomulyo Bapak Langkir yang juga kemudian menjadi korban pembantaian pada tahun 1965. Sekarang 6 desa itu yang dahulu menjadi sentra palawija untuk Propinsi Sumatera Utara, tinggal sejarah dan telah berubah menjadi menjadi lahan sawit.
Berdasarkan keterangan Panglima ABRI, Try Sutrisno, dalam Raker dengan Komisi I DPR pada bulan Februari 1990, terdata ada sebanyak 1.871.606 orang yang terkategori eks-Tapol G30S/PKI dengan rincian sebagai berikut: (i) eks Golongan A sebanyak 814 orang; (ii) eks Golongan B sebanyak 37.670 orang; (iii) eks Golongan C sebanyak 860.338 orang; dan (iv) Golongan wajib lapor diri sebanyak 972.784 orang. Berdasarkan Instruksi-instruksi Menteri Dalam Negeri: (a) No. 32/1981 tanggal 22-08-1981 tentang Pembinaan dan Pengawasan terhadap Bekas Tahanan dan Bekas Narapidana G30S/PKI dan juga (b)No. 730.351/4211 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan, seorang eks Tapol G30S/PKI : (1) Dilarang melakukan pekerjaan sebagai Guru/Dosen, Pendeta, Dalang, Lembaga Bantuan Hukum, Wartawan, dan sebagainya; (b)Diharuskan Izin Khusus bila bepergian lebih dari 7 hari; (c) Diharuskan adanya jaminan tertulis dari instansi bilamana akan melakukan ibadah haji; dan (d) Diharuskan mencantumkan kode "ET" pada KTP-nya. Dalam sebuah surat tertulis eks Tapol, Bakri Ilyas, kepada Komnas Ham pada tahun 1998 menyatakan stigma eks Tapol sebagai praktek diskriminatif dan tidak manusiawi ini membawa malapetaka kemiskinan bagi 1.871.606 eks Tapol G30S/PKI. Bakri Ilyas menambahkan lebih lanjut, lebih dari 1 juta tenaga-tenaga muda yang terampil dan terpelajar kala itu, sebagian jebolan dari universitas terbaik dari beberapa negara maju, kehilangan kesempatan mempergunakan usia ekonomisnya yang paling produktif. Setiap eks Tapol G30S/PKI kehilangan usia ekonomisnya selama masa 32 tahun: 10 tahun sebagai Tapol penuh dan mendiami rumah-rumah tahanan; 22 tahun sebagai eks Tapol (Tapol yang berada di luar rumah-rumah tahanan) tanpa hak ekonomi dan pekerjaan yang layak yang menyebabkan sebagian dari mereka yang masih hidup, terkungkung dalam belenggu kemiskinan hingga kini.
Konvensi Menentang Penyiksaan atau yang dalam bahasa resminya adalahKonvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusiaatau yang dalam bahasa Inggris lebih dikenal denganThe United Nations Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishmentadalah sebuah instrumen hukum internasional yang bertujuan untuk mencegah penyiksaan terjadi di seluruh dunia. Konvensi ini mewajibkan negara-negara pihak untuk mengambil langkah-langkah efektif untuk mencegah penyiksaan terjadi di wilayahnya. Konvensi ini juga melarang pemulangan paksa atau ekstradisi terhadap seseorang ke Negara lain di mana ia berhadapan dengan risiko penyiksaan. Konvensi ini diadopsi oleh Sidang Majelis Umum PBB melalui resolusi 39/46 pada 10 Desember 1984 dan mulai berlaku pada 26 Juni 1987. Untuk menghormati konvensi ini setiap 26 Juni kemudian diperingati sebagai “International Day in Support of Torture Victims.” Indonesia sendiri meratifikasi konvensi ini melalui UU No. 5Tahun 1998 pada 28 September 1998.
Untuk mengukur kemiskinan, BPS (2014:165) menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach), Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Dengan pendekatan ini, dapat dihitung Headcount Index, yaitu persentase penduduk miskin terhadap total penduduk. Metode yang digunakan adalah menghitung Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari dua komponen, yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan-Makanan (GKBM), Penghitungan Garis Kemiskinan dilakukan secaraterpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan. Metode yang digunakan adalah menghitung Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari dua komponen, yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) atau setara dengan ukuran 2100 kalori per hari dan Garis Kemiskinan Bukan-Makanan (GKBM) yang diukur dari pemenuhan kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan.
Dalam laporan Perkumpulan Prakarsa (Setyantoko, 2014:2-5), Indeks Gini Indonesia saat ini berada pada angka 0,41 padahal pada tahun 2004 Indeks Gini Indonesia masih berada di angka 0,32. Angka tersebut menunjukkan bahwa tingkat ketimpangan secara umum berada dalam kondisi sedang dimana tingkat ketimpangan pengeluaran dan pendapatan masyarakat cenderung lebih banyak terjadi di wilayah perkotaan dibanding wilayah pedesaan. Jika mengacu secara geografis, ketimpangan tertinggi terjadi di wilayah Papua dan Jawa.
Dalam analisisnya, lembaga investasi dunia sekaliber Morgan Stanley (Prasetyantoko, 2012: 26) menunjukkan tiga faktor utama yang akan membawa kemakmuran bagi Indonesia adalah kekayaan sumber daya alam dan manusia, stabilitas politik, serta penurunan biaya untuk mendapatkan modal. Ketiga faktor ini jika ditangani dengan serius oleh pemerintah maka Indonesia akan menerima imbas kesejahteraan dari pertumbuhan ekonomi yang stabil di kisaran 6-7 persen per tahun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H