Banyak perusahaan yang menggunakan jasa konsultan manajemen untuk meningkatkan produktifitasnya. Umumnya, para konsultan tersebut “bermain” di area proses dan prosedur. Tak ada yang salah dengan hal ini.
Hanya saja, ada satu lagi area potensial yang jarang dilirik maupun dikelola sepenuh hati untuk mendongkrak produktifitas. Area potensial tersebut adalah : happiness (kebahagiaan).
Karena profesi kami adalah konsultan manajemen, maka tentu saja kebahagiaan yang dimaksud adalah “kebahagiaan di tempat kerja”. Orang Denmark punya istilah tersendiri mengenai hal ini, yaitu: arbejdsglæde. Namun, bila Anda tetap ingin happy, saya sarankan untuk tidak melafalkan kata tersebut.
Ketika seorang pekerja/karyawan telah arbejdsglæde, maka produktifitasnya meningkat. Dia lebih peduli dengan kualitas, lebih peduli dengan pelanggan, dan lebih rendah tingkat absensinya. Bagi orang yang arbejdsglæde, kantor/pabrik ibarat rumah kedua. Mereka tak sabar untuk menanti hari kerja berikutnya.
Jika banyak karyawan arbejdsglæde, maka bisa dipastikan bahwa perusahaan tempatnya bernaung juga meningkat produktifitasnya. Jika produktifitas meningkat, biasanya di ikuti dengan meningkatnya profit.
Saya yakin, banyak yang sudah tahu mengenai hal ini. Banyak pula direktur/owner yang membuat program-program internal supaya karyawan mereka arbejdsglæde.
Tapi, saya juga yakin, bahwa diantara para direktur/owner yang peduli dengan arbejdsglæde karyawannya, tak sedikit pula yang membatin “waktu dan biaya untuk membahagiakan mereka kok tidak sebanding dengan arbejdsglæde yang ada?”. Biaya-nya gede, waktu banyak terbuang, tapi hasilnya tak se-gede yang diharapkan. Apa yang keliru?
Nah, untungnya Nelson dan Meyvis di tahun 2008 telah bertanya hal yang sama. Malah mereka juga menemukan, bahwa manusia ternyata tidak hanya beradaptasi dengan kesulitan-kesulitan. Namun, manusia ternyata juga bisa beradaptasi dengan kesenangan. Mereka menyebutnya dengan Hedonic Adaptation.
Hedonic Adaptation adalah proses adaptasi terhadap kesenangan, di mana kita jadi terbiasa dengan kesenangan itu hingga perasaan nikmatnya berkurang dan terus berkurang. Penelitian mereka dimuat dalam Journal of Marketing Research. Judulnya: Interrupted Consumption: Adaptation and the Disruption of Hedonic Experience.
Metode penelitian ini sebenarnya sederhana saja. Nelson meminta para partisipan untuk dipijat selama tiga menit. Grup pertama dipijat secara non stop, full tiga menit. Sedangkan grup kedua diberi break selama 20 detik di antara tiga menit itu. Menurut Anda, manakah yang lebih nikmat?
Jika Anda menduga yang nonstop dipijat lebih nikmat, itu salah! Dipijat dengan jeda, membuat pengalaman dipijat terasa lebih menyenangkan. Karena jeda itu mencegah munculnya perasaan "terbiasa" dengan pijatan itu.
Intinya adalah : “Kesenangan bertaraf kecil dalam jumlah banyak, mengalahkan kesenangan bertaraf besar yang berjumlah sedikit.” Mencicil kesenangan-kesenangan akan membuat lebih bahagia, ketimbang menggelontorkan secara total kesenangan-kesenangan tersebut dalam satu waktu.
Bagaimana pendapat Anda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H