Dari perspektif makroekonomi, Indonesia dalam dekade terakhir termasuk satu dari sedikit negara di dunia yang kinerjanya cemerlang.  Pertumbuhan ekonomi rata-rata tahunan mencapai 6 persen, hanya kalah dari Tiongkok sebesar 9 persen.  Jumlah kelas menengah pada 2012 sebanyak 65 juta orang, dan bertambah menjadi 70 juta pada akhir 2014.  Berdasarkan pada purchasing power parity, ukuran ekonomi Indonesia (PDB) pun menduduki peringkat-10 di dunia.  Namun, sampai sekarang Indonesia masih jauh dari cita-cita kemerdekaannya, yakni  sebagai negara-bangsa yang maju, adil-makmur, dan berdaulat.  Pasalnya, ada dua syarat yang harus dipenuhi untuk sebuah bangsa dikatakan sudah maju dan makmur (Bank Dunia dan UNESCO, 2010).  Pertama adalah  rata-rata PDB per kapitanya lebih besar dari 11.750 dolar AS.  Kedua, kapasitas IPTEK nya tergolong ke dalam kelompok-1, yakni ‘technology innovator country’.  Pada tahun 2014, rata-rata GNP per kapita Indonesia hanya 4.200 dolar AS, dan penguasaan IPTEK nya masih tergolong kasta-3, ‘technology adaptor country’.  Negara yang semua kebutuhan teknologinya bergantung pada impor dikelompokkan ke dalam kasta-4 (terendah), ‘technologically-marginalized country’ seperti Nepal, Laos, sebagian besar negara di benua Afrika dan Pasifik Selatan.
Di akhir Oktober 2014 Pemerintahan Jokowi – JK mewarisi sejumlah permasalahan dan tantangan sosial-ekonomi yang berat dan rumit.  Sebut saja, pengangguran terbuka sebanyak 7,24 juta orang (6,05% total angkatan kerja) dan jumlah tenaga kerja yang setengah menganggur mencapai 37 juta orang.  Jumlah penduduk miskin 27,73 juta orang (10,5% total penduduk).  Kesenjangan antara kelompok kaya vs. miskin semakin melebar, dari 0,30 pada 2004 menjadi 0,41 pada 2014.  Disparitas pembangunan antar wilayah sangat timpang, dimana P. Jawa yang luas lahannya hanya 5% total luas NKRI menyumbangkan 60% terhadap PDB (ekonomi nasional), dan P. Sumatera (10% wilayah NKRI) kontribusniya sebesar 25% PDB.  Sedangkan, 85% wilayah NKRI lainnya (Bali, Kalimantan, NTB, NTT, Sulawesi, Maluku, dan Papua) hanya berkontribusi sebesar 15% PDB.  Deindustrialisasi juga sangat mencemaskan.Â
Fenomena ini tercermin dari semakin membengkaknya jumlah tenaga kerja di sektor informal, dari 45% pada 2014 menjadi 62% total angkatan kerja pada 2014. Â Lebih dari itu, sebagian besar ekspor pun berupa komoditas (bahan mentah) seperti CPO, kakao, karet, teh, udang, rumput laut, batubara, tembaga, nikel, dan mineral lainnya. Â Sekitar 38% total anak balita menderita gizi buruk khronis, dan 8 juta anak (terbanyak kelima di dunia) mengalami pertumbuhan terhambat (stunted growth). Â Indeks daya saing Indonesia hanya bertengger pada urutan-38 dari 139 negara yang disurvei, dan pada peringkat-5 di tataran ASEAN. Â Muara dari segenap persoalan sosial-ekonomi itu adalah pada rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia, yang hanya berada pada peringkat-108 dari 187 negara yang disurvei atau urutan-6 di kawasan ASEAN di bawah Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, dan Pilipina.
Oleh sebab itu, segenap rakyat Indonesia menaruh harapan besar kepada Presiden Jokowi dan Wapres JK dengan program NAWACITA nya dan gaya kepemipinan keduanya yang mengutamakan ’kerja, kerja, dan kerja’.  Program pembangunan prioritas dalam NAWACITA mencakup peningkatan kualitas SDM (kesehatan, pendidikan, dan revolusi mental), pembangunan infrastruktur, kedaulatan pangan dan energi, kemaritiman, industri manufaktur, pariwisata dan ekonomi kreatif, pemerataan pembangunan antar wilayah (’membangun dari pinggiran’), dan penegakkan kedaulatan NKRI.Â
Sayangnya, memasuki masa pemerintahan Jokowi-JK, perekonomian global dilanda resesi yang berimplikasi terhadap penurunan kuantitas permintaan dan harga komoditas global, tertekannya mata uang negara-negara emerging markets (termasuk Indonesia) karena kenaikan suku bunga Bank Sentral AS, dan aliran dana keluar dari Indonesia. Â Akibatnya, alih-alih membaik, hampir semua indikator perekonomian Indonesia malah memburuk di tahun pertama pemerintahan Jokowi-JK. Â Pertumbuhan ekonomi yang pada 2014 sebesar 5,2 persen menurun ke 4,8 persen pada 2015. Â Pengangguran terbuka meningkat dari 6,05 persen ke 7,5 persen. Â Setali tiga uang dengan kemiskinan, dari 10,5 persen membengkak jadi 11,2 persen (31,7 juta orang). Â Tingginya pengangguran dan kemiskinan serta ketidak-adilan hukum diyakini merupakan akar masalah dari kian masif dan maraknya fenomena begal, bunuh diri, narkoba, demonstrasi anarkis, dan beragam kemaksiatan serta penyakit sosial lainnya.Â
 Memang faktor eksternal (resesi ekonomi global) sangat berpengaruh terhadap lesunya kinerja ekonomi Indonesia.  Akan tetapi, faktor internal pun turut menghambat kemajuan ekonomi nasional.  Faktor internal itu antara lain berupa penyerapan anggaran yang sangat lambat dan rendah sepanjang 2015, inkonsistensi kebijakan pemerintah, perseteruan antar menteri di ruang publik (’kabinet gaduh’) yang tak kunjung usai, dan perilaku sejumlah menteri yang arogan, hanya menebar citra serta membunuh semangat berinvestasi dan berproduksi dengan mengeluarkan moratorium dan pelarangan yang membabi buta.  Euforia otonomi daerah dan terlalu banyaknya peraturan-perundangan terkait iklim investasi dan kemudahan berbisnis (ease of doing business) juga turut menekan pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
Oleh karenanya, dalam bidang ekonomi mulai sekarang pemerintah bersama sektor swasta dan rakyat harus bekerja keras, cerdas, dan ikhlas serta bersinergi untuk melakukan dua hal. Â Pertama adalah merevitalisasi seluruh sektor ekonomi dan unit usaha (bisnis) dengan cara meningkatkan produktivitas, efisiensi, daya saing, inklusivitas, dan keberlanjutan (sustainability) nya. Â Kedua, mengembangkan sektor-sektor ekonomi dan unit usaha baru, dan membangun kawasan industri (ekonomi) yang produktif, berdaya saing, inklusif dan ramah lingkungan di wilayah-wilayah yang belum tersentuh pembangunan, khususnya di luar Jawa.Â
Poros Maritim Dunia
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang ¾ wilayahnya berupa laut, Indonesia dianugerahi potensi ekonomi kelautan yang luar biasa besar dengan total nilai sekitar 1,5 trilyun dolar AS/tahun (1,5PDB atau 7 kali lipat APBN 2016), dan dapat menyediakan lapangan kerja untuk sedikitnya 45 juta orang, lebih dari sepertiga angkatan kerja Indonesia.  Dan, hingga kini baru dimanfaatkan sekitar 22% dari total potensi ekonomi tersebut.  Lebih dari itu, posisi geoekonomi dan geopolitik laut Indonesia juga sangat strategis.  Dimana sekitar 45% dari seluruh barang yang diperdagangkan di dunia dengan nilai 1.500 trilyun dolar AS/tahun diangkut dengan ribuan kapal melalui ALKI (Alur Laut Kepulaun Indonesia) (UNCTAD, 2012).  Posisi geoekonomi yang strategis ini sejatinya menempatkan Indonesia pusat dari sistem rantai suplai (perdagangan) global.  Sayangnya, sampai sekarang kita lebih sebagai bangsa pembeli berbagai produk bangsa-bangsa lain, bukan sebagai produsen (pemasok) barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat dunia.  Padahal, banyak emerging economies menjadi lebih maju dan makmur, seperti Singapura, Malaysia, Qatar, Uni Emirate Arab, dan Turki lantaran mampu mengkapitalisasi posisi geoekonomi wilayah lautnya.  Potensi ekonomi kelautan yang luar biasa besar, bak ‘rakasasa yang masih tidur’ itu mesti kita bangunkan dengan menggunakan teknologi dan manajemen yang tepat supaya bisa menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru dan pengungkit daya saing nasional secara berkelanjutan.
Oleh sebab itu, kebijakan terobosan Presiden Jokowi dan Wapres JK untuk menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia (PMD) sangatlah tepat dan visioner. Â Melalui PMD, bangsa Indonesia diajak melakukan reorientasi platform pembangunannya, yang sejak awal kolonialisme hingga sebelum Pemerintahan KH. Abdurrahman Wahid (berdirinya KKP) berorientasi pada daratan (land-based development) ke orientasi kelautan (marine-based development). Dengan aplikasi IPTEK dan manajemen yang ramah sosial dan lingkungan serta etos kerja unggul, kebijakan PMD akan mampu mengurangi disparitas pemangunan antar wilayah, menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan inklusif, menciptakan banyak lapangan kerja, dan membuat ekonomi Indonesia lebih berdaya saing. Â Indonesia sebagai PMD mengandung makna bahwa melalui strategi pembangunan kelautan secara tepat dan benar, Indonesia dalam waktu tidak terlalu lama akan mampu menjadi bangsa besar yang maju, sejahtera, dan berdaulat berbasis ekonomi kelautan, hankam dan budaya maritim yang kokoh. Â Dengan kekuatan dan kemakmuran nya itu, Indonesia diharapkan mampu menjadi a role model (teladan) dan mengajak bangsa-bangsa lain untuk menyelamatkan, mendaygunakan, dan mengelola wilayah laut dunia, terutama diantara Samudera Pasifik dan Hindia, untuk perdamaian dan kesejahteraan dunia yang lebih baik.
Sayang, kebijakan dan gebrakan pemerintah Kabinet Kerja selama satu setengah tahun ini terlalu dominan bersifat larangan, moratorium, dan restriksi lainnya yang membuat iklim investasi tidak kondusif. Akibatnya, justru menyulut demonstrasi nelayan dan pembudidaya ikan dimana-mana, mengakibatkan ratusan ribuan nelayan dan pembudidaya menganggur, sentra-sentra industri pengolahan ikan (seperti Belawan, Muara Baru, Benoa, Bitung, Ambon, dan Tual) mengalami mati suri, ribuan ton ikan kerapu, kepiting soka, dan lobster tidak terjual dan mati membusuk, dan sejumlah dampak negatip lainnya. Sejauh ini, Kemenko Maritim pun belum punya konsep dan nampak kebingungan dalam melaksanakan fungsi dan tugas utamanya, yakni mengkoordinasikan, mensinergikan, mengakselerasi, dan melakukan terobosan (breakthrough) pembangunan di bidang kelautan, yang mencakup perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri bioteknologi kelautan, pariwisata bahari, ESDM, transportasi laut dan kepelabuhanan, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, industri dan jasa maritim, dan sumber daya alam laut non-konvensional.  Belum ada upaya dari Kemenko Maritim untuk menyamakan ‘playing field’ (seperti suku bunga bank, insentif usaha, iklim investasi, dan ease of doing business)  dengan negara-negara kelautan Asia lainnya, terutama Singapura, Malaysia, Thailand, Korea, Jepang, dan Tiongkok. Padahal, dengan ‘playing field’ yang kurang kondusif seperti sekarang, sektor-sektor ekonomi kelautan Indonesia hampir mustahil untuk bisa bersaing dengan negara-negara tetangga tersebut.