Di tengah gencarnya klaim KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) tentang melimphanya ikan di laut Indonesia sejak setahun terakhir, tiba-tiba bak mimpi di siang bolong Senin, 6 Juni KKP mengeluarkan kebijakan untuk mengimpor ikan secara luas meliputi semua jenis ikan, kecuali jenis-jenis ikan yang dilindungi dan dilarang untuk diperdagangkan di pasar domestik.
Kebijakan ini bukan hanya ironis, tetapi juga sangat menyesakkan dada. Â Pasalnya, pertama bahwa sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, yang tiga-perempat wilayahnya berupa laut memiliki potensi produksi lestari (MSY = Maximum Sustainable Yield) ikan laut yang besar 7,3 juta ton/tahun, sekitar 8% total MSYstok ikan laut dunia. Â Di perairan umum darat (danau, sungai, waduk, dan perairan rawa tawar) terdapat pula potensi produksi ikan sebesar 0,9 juta ton/tahun. Â Selain itu, total potensi produksi perikanan budidaya (aquaculture) Â di laut, perairan payau (tambak), dan perairan tawar diperkirakan mencapai 60 juta ton/tahun. Â Dengan demikian, Indonesia sejatinya memiliki total potensi produksi perikanan tangkap dan perikanan budidaya sebesar 68,2 juta ton/tahun alias terbesar di dunia (FAO, 2012). Sementara itu, dengan konsumsi ikan perkapita sekitar 38 kg dan jumlah penduduk saat ini 254 juta orang, maka total kebutuhan ikan nasional hanya sekitar 9,7 juta ton/tahun. Â Artinya, jika sektor perikanan ini dikelola secara cerdas dan benar, Indonesia tidak hanya akan mampu memasok ikan untuk kebutuhan domestiknya, tetapi juga bisa mengekspor beragam produk perikanan untuk kebutuhan global (feeding the world) secara berkelanjutan.
Kedua, sepanjang sejarah NKRI, baru kali ini pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk impor ikan secara luas. Sebelumnya, memang Indonesia mengimpor ikan, tetapi sebagian besar berupa tepung ikan sebagai bahan baku untuk industri pakan ternak dan ikan, dan jenis-jenis ikan yang tidak bisa diproduksi di dalam negeri, seperti salmon dan kepiting Alaska. Â Itu pun dengan volume yang terbatas, dan nilainya kecil. Contohnya, pada 2004 total nilai ekspor perikanan Indonesia sebesar 2,9 milyar dolar AS, dan nilai impornya hanya 0,1 milyar dolar AS. Â Lalu, tahun 2014 nilai ekspor perikanan mencapai 4,7 milyar dolar AS, sedangkan impornya 0,46 milyar dolar AS.Â
Ketiga, kalau betul bahwa berkat kebijakan moratorium eks kapal asing, transhipment (alih muat ikan di laut dari kapal penangkap ke kapal pengangkut), dan penggunaan seluruh jenis pukat hela serta pukat tarik membuat ikan di laut melimpah. Seharusnya, KKP jauh sebelumnya sudah mempersiapkan teknologi penangkapan ikan (kapal ikan dan alat tangkap) beserta SDM nelayannya yang mampu menangkap ikan yang berlimpah itu secara lebih produktif, efisien, dan ramah lingkungan. Selain itu, sistem rantai dingin, transportasi, dan logistik perikanan pun mestinya dibenahi lebih dahulu. Â Namun, karena tanpa persiapan memadai, maka produksi perikanan tangkap (volume pendaratan ikan) di hampir semua pelabuhan perikanan dan nilai ekpsor perikanan pada 2015 turun drastis. Â Kalau pada 2014 nilai ekspor perikanan mencapai 4,7 milyar dolar AS, di 2015 terjun bebas menjadi hanya 2 milyar dolar AS.Â
Sebenarnya, lonceng peringatan (a wake-up call) kelangkaan bahan baku ikan bagi industri pengolahan hasil perikanan akibat sejumlah kebijakan KKP itu sudah muncul sejak medio 2015.  Buktinya, sejak saat itu sejumlah unit pengolahan ikan di Bitung, Makassar, dan sentra industri pengolahan ikan lainnya sudah mulai mengimpor ikan cakalang, tuna, dan lainnya dari Korea Selatan, India, China, dan Maladewa (Kompas, 15/2/2016 dan Bisnis.com Bitung, 16/1/2016).  Kondisi memprihatinkan ini juga terkonfirmasi saat Wapres Jusuf Kalla melakukan kunjungan kerja ke Bitung, Ambon, dan Tual pertengahan Maret tahun ini (Kompas, 18/3/2016). Bahwa memang hampir semua pabrik pengolahan ikan ’megap-megap’ atau gulung tikar lantaran kekurangan bahan baku.
Solusi
Kebijakan impor ikan secara luas bukan hanya ironis, tetapi juga mencederai cita-cita luhur Presiden Jokowi dan Wapres JK untuk menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia (PMD). Yang maknanya menjadikan laut sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru, pendulang devisa, penciptaan lapangan kerja, kesejahteraan, dan daya saing baru. Â Sedangkan, impor ikan secara luas bukan hanya penghamburan devisa yang tidak perlu, karena potensi produksi perikanan jauh lebih besar ketimbang kebutuhan nasional. Tetapi, juga berpotensi untuk mebanjiri pasar dalam negeri, menganchurkan daya saing dan kesejahteraan nelayan kita. Â Dengan mengimpor ikan, harga diri (dignity) dan kedaulatan ekonomi kita sebagai bangsa maritim juga tergerus. Mestinya, di kala negara kewalahan akibat ketergantungan pada impor daging sapi yang harganya kelewat mahal. Kita genjot produksi ikan serta produk perikanan lainnya, dan mengedukasi masyarakat agar beralih untuk mengkonsumsi ikan dan seafood yang lebih bergizi dan sehat ketimbang daging sapi.
Oleh sebab itu, kita tidak perlu impor ikan secara luas.  Sebaliknya, KKP mulai sekarang mesti segera keluarkan izin penangkapan untuk ribuan kapal ikan milik rakyat dan pengusaha nasional yang sudah berbulan-bulan nganggur tertambat di sejumlah pelabuhan perikanan.  Demikian juga halnya untuk sekitar 500 kapal ikan berukuran besar (> 100 GT) dan modern  ’eks-asing’ yang memang sudah lama menjadi milik pengusaha nasional, dan dinyatakan hanya ada kesalahan kecil oleh Satgas IUU fishing.  Ribuan kapal besar dan modern ini segera digunakan untuk menangkap ikan di wilayah-wilayah perairan laut yang menurut KKP stoknya melimpah (underfishing) atau yang selama ini menjadi lokasi penjarahan ikan oleh kapal-kapal asing.  Contohnya di Laut Natuna, Sulawesi, Teluk Tomini, Laut Banda, Laut Arafura, ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia) di bagian Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Kita juga mesti segera mengaktifkan kembali ratusan ribu nelayan pukat hela dan pukat tarik yang sudah berbulan-bulan nganggur, atau kalaupun sebagian bisa melaut harus keluar biaya mahal, karena harus menyogok oknum aparat nakal.Â
Sudah tentu bahwa semua aktivitas penangkapan ikan oleh kapal-kapal tersebut harus ramah lingkungan dan tingkat penangkapan ikan di setiap wilayah perairan tidak melebihi MSY nya. Kaidah ini sangat penting untuk memastikan bahwa usaha perikanan tangkap dapat memasok kebutuhan ikan nasional dan mensejahterakan seluruh nelayan secara berkelanjutan.
Secara paralel, kita tingkatkan produksi berbagai jenis ikan melalui  intensifikasi, ekstensifikasi, dan diversifikasi usaha perikanan budidaya ramah lingkungan di perairan laut, payau, dan tawar.  Jenis-jenis ikan budidaya laut yang relatif mudah dibudidayakan, sangat dibutuhkan untuk pasar domestik maupun ekspor, dan keuntungan (profit) nya lumayan besar antara lain adalah berbagai jenis kerapu, kakap, bawal bintang, bandeng, gobia, abalone, kerang hijau, gonggong, teripang, dan lobster. Untuk di perairan payau antara lain meliputi udang windu, udang vanamme, kerapu lumpur, bandeng, nila salin, dan berbagai jenis kepiting termasuk kepiting soka.  Di perairan tawar, kita bisa budidayakan ikan nila, patin (dori), lele, emas, gurame, belida, baung, bawal air tawar, udang galah, dan lobster air tawar (Cerax spp).Â
Sekedar ilustrasi betapa besarnya potensi ekonomi perikanan budidaya adalah usaha budidaya udang vanname. Â Indonesia memiliki 3 juta ha lahan pesisir yang cocok untuk budidaya tambak udang vanamme. Â Jika kita usahakan 500.000 ha (17% total potensi) dengan rata-rata produktivitas selama ini sekitar 40 ton/ha/tahun. Â Maka, bisa diproduksi 20 juta ton atau 20 milyar kg udang per tahun. Â Saat ini harga udang vanamme di tambak (on-farm) rata-rata 4 dolar AS/kg. Â Sehingga, bisa dihasilkan nilai ekonomi 80 milyar dolars AS (Rp 1.000 trilyun)/tahun atau sekitar 40% APBN 2016. Â Rata-rata keuntungan bersih sekitar Rp 10 juta/ha/bulan. Â Potensi tenaga kerja on-farmsebanyak 3 orang/ha x 500.000 ha = 1,5 juta orang. Â Dan, potensi tenaga kerja off-farm (orang yang bekerja di sektor hulu dan hilir dari tambak udang) sekitar 2 orang/ha x 500.000 ha = 1 juta orang.