Seluruh rakyat Indonesia sangat mendambakan segera terwujudnya kehidupan berbangsa dan bernegara yang berkemajuan, adil-makmur, damai, dan berdaulat. Kita bersyukur kondisi makroekonomi Indonesia selama 10 tahun terakhir lumayan gemilang. Pertumbuhan ekonomi rata-rata sebesar 5,4%/tahun, dan Indonesia masuk dalam kelompok negara G-20 dengan PDB sekitar 1,2 trilyun dolar AS, terbesar ke-16 di dunia.Namun, sudah 69 tahun merdeka, Indonesia masih sebagai negara berkembang berpendapatan menengah-bawah (GNP per kapita 5.400 dolar AS) dengan angka pengangguran dan kemiskinan yang tinggi, kesenjangan antara kelompok penduduk kaya vs miskin semakin melebar, dan daya saing ekonomi yang rendah. Tingkat kemajuan dan kemakmuran Indonesia jauh di bawah negara-negara tetangga yang modal dasar pembangunannya sangat terbatas. Sebut saja, Jepang, Singapura, dan Korea Selatan yang sudah menjadi negara industri maju dengan pendapatan (GNP) per kapita di atas 12.000 dolar AS sejak rentang 1977 - 1995. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia pun hanya menempati peringkat-6 di kawasan ASEAN di bawah Singapura, Malaysia, Brunei, Thailand, dan Pilipina.
Padahal, Indonesia merupakan negara yang memiliki modal dasar terlengkap untuk menjadi bangsa yang maju, sejahtera, dan berdaulat.Pertama berupa 250 juta orang penduduk, terbesar keempat di dunia setelah China, India, dan AS.Jumlah penduduk usia produktif lebih banyak ketimbang yang berusia tidak produktif (bonus demografi), dengan jumlah kelas menengah yang terus meningkat dari tahun ke tahun.Inimerupakan potensi pasar domestik yang luar biasa besarnya.Kedua adalah kekayaan alam yang melimpah dan beragam, baik yang terdapat di wilayah darat maupun lautan.Ketiga, posisi geoekonominya yang sangat strategis, di jantung pusat perdagangan global. Sekitar 45 persen dari seluruh komoditas dan barang yang diperdagangkan di dunia dengang nilai 1.500 trilyun dolar AS per tahun diangkut melalui laut Indonesia (UNCTAD, 2010).
Banyak faktor yang menyebabkan Indonesia tertinggal, mulai dari sistem politik yang menyuburkan budaya instan dan tidak kondusif bagi terbentuknya masyarakat meritokrasisampai dengan lemahnya penguasaan dan penerapan IPTEK dalam kehidupan bangsa ini. Dan, salah satu yang terpenting adalah karena kita belum punya visi pembangunan yang tepat dan benar serta dilaksanakan secara berkesinambungan. Visi pembangunan Indonesia sejak zaman penjajahan hingga sekarang berorientasi pada daratan. Padahal, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang 75% wilayahnya berupa. Paradigma pembangunan berbasis daratan itu jelas bertentangan dengan fitrah fisik dan kondisi geografis Indonesia, dan diyakini telah menyebabkan ekonomi Indonesia menjadi kurang efisien dan rendah daya saing nya. Oleh sebab itu, tekad Presiden dan Wapres terpilih, Jokowi dan JK untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maritim yang maju, adil-makmur, kuat, dan berdaulat (Poros Maritim Dunia) merupakan pilihan kebijakan yang sangat tepat.
Kerugian negara
Akibat mengabaikan nilai strategis laut, setiap tahun sediktnya Rp 300 trilyun kekayaan negara menguap melalui pencurian ikan (illegal fishing) oleh nelayan asing, illegal mining, illegal logging, penyelundupan BBM, dan berbagai kegiatan ekonomi ilegal lainnya.Lebih dari 80% seluruh barang yang kita ekspor harus melalui pelabuhan Singapura. Ongkos untuk mengangkut satu peti kemas (container) dari Jakarta ke Surabaya dua kali lipat biaya pengiriman dari Singapura ke Los Angeles.Begitu buruknya konektivitas maritim Nusantara kita, sehingga biaya logistik di Indonesia mencapai 27% PDB, termahal di dunia.Bandingkan biaya logistik di Singapura yang hanya 6% PDB; Thailand, Vietnam, dan China yang masing-masing hanya 7% PDB; dan Malaysia 8% PDB.Buruknya konektivitas maritim juga telah menyebabkan perbedaan harga barang yang sangat besar.Contohnya, harga satu zak semen di P. Jawa Rp 65.000, sementara di Papua mencapai Rp 500.000.Harga solar di P. Jawa Rp 6.500/liter, sedangkan di P. Miangas dan P. Rote mencapai Rp 15.000/liter.
Posisi Indonesia sebagai ‘gerbang tol utama’ perdagangan global (the global supply chain system) yang menghubungkan Samudera Pasifik dengan S. Hindia dan Benua Asia dengan Australia mestinya mendatangkan keuntungan ekonomi yang besar.Alih-alih, sejak 1987 Indonesia malah menghamburkan devisa rata-rata 16 milyar dolar AS/tahun untuk membayar jasa kapal asing yang mengangkut barang yang diekspor dan diimpor dari dan ke Indonesia. Posisi geoekonomi yang sangat strategis ini bukannya membuat Indonesia sebagai produsen dan pemasok beragam barang dan produk yang dibutuhkan masyarakat dunia.Sebaliknya, Indonesia menjadi pasar empuk dari berbagai jenis produk dan jasa bangsa-bangsa lain.
Paradigma pembangunan berbasis daratan juga telah mengakibatkan disparitas pembangunan antar wilayah yang sangat tinggi.Betapa tidak, P. Jawa dan Bali yang luasnya hanya 7% total wilayah NKRI menyumbangkan 62,3% terhadap PDB nasional, Sumatera 21,2%, Kalimantan 8,5%, NTB dan NTT 1,4%, Sulawesi 4,9%, Maluku dan Maluku Utara 0,3%, dan Papua 1,4% (BPS dan Bappenas, 2013). Bila disparitas pembangunan antar wilayah ini tidak segera dikoreksi, niscaya problem urbanisasi penduduk dan brain drain dengan segala dampak negatipnya bakal semakin memburuk. Selain itu, ekosistem P. Jawa yang telah kelebihan beban ekologis akan semakin hancur.Pasalnya, luas hutan di P. Jawa kini hanya tinggal 13% luas wilayahnya. Padahal, supaya fungsi hidro-orologis suatu pulau bisa berjalan optimal, luas hutannya minimal 30% luas wilayahnya. Itulah sebabnya, P. Jawa semakin sering dilanda bencana banjir, erosi, dan tanah longsor dengan magnitude yang lebih besar pada saat musim penghujan. Sebaliknya, menderita kekeringan dan kekurangan air ketika kemarau.Sementara itu, sumber daya alam dan potensi pembangunan lainnya di luar Jawa dan Bali banyak yang mubazir atau dicuri pihak asing.
Potensi ekonomi kelautan
Sebagai negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki kekayaan alam sangat besar dan beragam, baik berupa SDA terbarukan (seperti perikanan, terumbu karang, hutan mangrove, rumput laut, dan produk-produk bioteknologi); SDA tak terbarukan (seperti minyak dan gas bumi, timah, bijih besi, bauksit, dan mineral lainnya); energi kelautan (seperti pasang-surut, gelombang, angin, dan OTEC atau Ocean Thermal Energy Conversion); maupun jasa-jasa lingkungan kelautan untuk pariwisata bahari, transportasi laut, dan sumber keragaman hayati serta plasma nutfah.Kekayaan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan tersebut dapat kita dayagunakan untuk kemajuan dan kemakmuran bangsa melalui sedikitnya 11 sektor ekonomi kelautan: (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budidaya, (3) industri pengolahan hasil perikanan, (4) industri bioteknologi kelautan, (5) pertambangan dan energi, (6) pariwisata bahari, (7) hutan mangrove, (8) perhubungan laut, (9) sumberdaya wilayah pulau-pulau kecil, (10) industri dan jasa maritim, dan (11) SDA non-konvensional. Total nilai ekonomi dari kesebelas sektor ekonomi kelautan itu diperkirakan mencapai 1,2 trilyun dolar AS/tahun, dan dapat menyediakan lapangan kerja untuk 40 juta orang.Sampai sekarang, potensi ekonomi kelautan yang luar biasa besar itu belum dimanfaatkan secara produktif dan optimal, baru sekitar 20% dari total potensinya.Ibarat ‘Raksasa Ekonomi Yang Tertidur’ .
Sekedar ilustrasi betapa besarnya potensi ekonomi kelautan adalah sektor perikanan budidaya di perairan payau dan di perairan laut (mariculture).Total potensi lahan pesisir yang cocok untuk budidaya berbagai komoditas bernilai ekonomi penting seperti udang, kepiting, bandeng, kerapu, dan rumput lautsekitar 2 juta ha dengan potensi produksi sekitar 15 juta ton/tahun.Sampai sekarang baru dimanfaatkan sekitar 350.000 ha dengan total produksi 7 juta ton.Perairan laut dangkal yang sesuai untuk budidaya laut sekitar 12 juta ha, dan laut lepas (offshore aquaculture) sekitar 13 juta ha dengan potensi total produksi sekitar 50 juta ton/tahun.
Dengan rata-rata produktivitas dan harga jual saat ini, bila dalam 5 tahun kedepan kita mampu mengusahakan 600.000 ha tambak untuk budidaya udang vanammei, udang windu, dan rumput laut, maka total pendapatan kotornya mencapai 75 milyar dolar AS/tahun dan jumlah tenaga kerja (on-farm) sekitar 8 juta orang dengan pendapatan bersih antara Rp 3 juta – Rp 15 juta/ha/bulan.Bayangkan, kalau kita mampu mendayagunakan potensi mariculture dan budidaya payau 75 persen dari total potensinya, maka persoalan pengangguran, kemiskinan, kesenjangan kaya vs miskin, disparitas pembangunan antar wilayah, defisit neraca perdagangan, dan rendahnya daya saing akan dapat teratasi secara signifikan.Lebih dari itu, dengan mengembangkan industri hilir dari sejumlah komoditas mariculture dan budidaya payau, maka bukan hanya kedaulatan pangan yang bisa dibangun, tetapi juga farmasi, energi (biofuel dari algae laut), dan ratusan produk industri hilir lainnya.
Agenda Pembangunan
Dengan potensi kekayaan laut yang sangat besar dan posisi geoekonomi yang sangat strategis, menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia adalah keniscayaan. Wujud Indonesia sebagai poros maritim dunia adalah Indonesia sebagai negara maritim yang besar, maju, adil-makmur, dan berdaulat yang menjadi rujukan masyarakat dunia dalam hal kemajuan IPTEK, kemakmuran, keadilan, dan perdamaian antar bangsa-bangsa di wilayah lautan.
Konstruksi negara maritim Indonesia tidak hanya mencakup dimensi ekonomi, tetapi juga hankam, lingkungan, IPTEK, budaya, dan kelembagaan. Pada intinya dimensi ekonomi mencakup empat kelompok kebijakan dan program pembangunan. Pertama adalah revitalisasi sektor-sektor ekonomi kelautan yang selama ini sudah berjalan, seperti perikanan tangkap, perikanan budidaya, pertambangan dan energi (ESDM), pariwisata bahari, transportasi laut, dan industri dan jasa maritim.Revitalisasi yang dimaksud adalah upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, daya saing, keadilan (inclusiveness), dan keberlanjutan (sustainability) dari sektor-sektor ekonomi kelautan tersebut.Kedua, pengembangan sektor-sektor ekonomi kelautan yang baru, seperti industri bioteknologi kelautan, industri air laut dalam,offshore aquaculture, energi terbarukan dari laut (pasang surut, gelombang, biofuel dari algae laut, dan OTEC/Ocean Thermal Energy Conversion); dan sumber daya kelautan non-konvensional lainnya. Dalam hal ini yang dimaksud dengan sumber daya kelautan non-konvensional adalah semua sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan yang belum bisa dimanfaatkan, karena belum tersedia teknologi pemanfaatannya atau karena secara ekonomi belum menguntungkan.
Supaya revitalisasi dan pengembangan sektor-sektor ekonomi kelautan tersebut berhasil. Maka, setiap unit usaha (bisnis) di sektor-sektor ekonomi kelautan harus memenuhi skala ekonomi (economy of scale) nya. Dalam setiap bisnis kelautan juga harus menerapkan sistem manajemen rantai suplai secara terpadu, yang mengintegrasikan mulai dari subsistem pra produksi, produksi, subsistem pasca panen (handling and processing) sampai ke pemasaran. Kemudian, di setiap mata rantai suplai, kita harus menggunakan teknologi yang mutakhir. Dan, yang tak kalah pentingnya, setiap usaha dan pembangunan kelautan haruslah ramah lingkungan.
Ketiga, pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru berbasis industri yang inovatif dan ramah lingkungan di kawasan-kawasan pesisir di sepanjang ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia), pulau-pulau kecil, dan wilayah perbatasan untuk meningkatkan peran Indonesia sebagai bangsa produsen dan pemasok barang dan produk dalam sistem rantai suplai global. Lebih dari itu, dengan berkembangnya pusat-pusat pertumbuhan baru di luar Jawa-Bali ini, maka akan mengurangi secara signifikan disparitas pembangunan antar wilayah (Jawa-Bali vs luar Jawa-Bali, dan KBI vs KTI) yang sangat timpang, yang membuat perkonomian Indonesia kurang efisien dan kurang kompetitif.Dengan demikian laju urbanisasi, brain drain, beban ekologis dan sosial terhadap Pulau Jawa dan Bali akan terkurangi, dan perekonomian Indonesia akan lebih produktif, berdaya saing serta berkelanjutan. Pusat-pusat pertumbuhan ekonomi (kemakmuran) baru yang tersebar di sepanjang wilayah pesisir ALKI (I, II, dan III), pulau-pulau kecil, dan wilayah perbatasan akan menjelma sebagai sabuk kemakmuran (prosperity belt) yang sekaligus sebagai sabuk pengaman (security belt) yang dapat memperkokoh persatuan dan kesatuan NKRI.
Keempat, pengembangan konektivitas kelautan (’Tol Laut’) terdiri dari pengembangan armada kapal, pelabuhan, dan industri galangan kapal. Sistem Regular Liner Services (RLS) seyogyanya digunakan dalam penguatan dan pengembangan armada angkutan laut. Setiap pelabuhan harus dihubungkan dengan wilayah darat (hulu) melalui berbagai moda transportasi, baik sungai, darat maupun udara.Di setiap pelabuhan utama juga harus dibangun basis logistik dan kawasan industri modern.
Untuk mendukung pembangunan ekonomi kelautan semacam itu, diperlukan lembaga perbankan khusus untuk pembiayaan sektor-sektor ekonomi kelautan dengan suku bunga relatif rendah dan persyaratan pinjam yang relatif lunak seperti halnya di negara-negara ASEAN dan emerging economies lainnya. Peningkatan kualitas dan pengembangan SDM kelautan, baik melalui jalur pendidikan formal maupun jalur non-formal. Kegiatan R & D terkait kelautan harus ditingkatkan, supaya Indonesia menjadi bangsa yang mampu menguasai, menghasilkan, dan menerapkan teknologi dalam kiprah kehidupan dan pembangunan nya. Dengan demikian, segenap produk dan jasa kelautan yang dihasilkan akan memiliki nilai tambah dan daya saing yang tinggi secara berkelanjutan.
Akhirnya, kita mesti melalukan perubahan paradigma (paradigm shift) pembangunan nasional, dari land-based development menjadi ocean-based development. Dengan begitu, seluruh kebijakan publik, infrastruktur, dan sumberdaya finansial secara terintegrasi diarahkan untuk menunjang pembangunan kelautan. Ini bukan berarti kita melupakan pembangunandi darat. Kita justru harus mengintegerasikan pembangunan sosial-ekonomi di darat dan di laut. Melalui reorientasi pembangunan dari basis daratan ke lautan, maka pelabuhan, transportasi laut akan lebih efisien. Sehingga, akan membuat semua produk dari ekonomi daratan (pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, pertambangan, dan manufaktur) akan lebih berdaya saing, karena biaya logsitik akan lebih murah dan pergerakan barang bakal lebih cepat.
Dengan peta jalan pembangunan kelautan seperti di atas, Insya Allah Indonesia akan menjadi negara maritim yang maju, adil-makmur, dan berdaulat (poros maritim dunia) dalam waktu tidak terlalu lama, 2025.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H