Ilustrasi/Print.Kompas.com
Program pembangunan tol laut dan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia (PMD) kini mulai menampakan sosoknya melalui Gerai Maritim (GM). Bulan lalu, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perhubungan, Asosiasi Pengusaha Ritel dan PT PELNI sepakat untuk membangun GM di Kawasan Timur Indonesia, khususnya di pulau-pulau terpencil dan pulau-pulau di halaman depan yang menjadi perbatasan antara RI dan negara-negara tetangga. Dengan adanya GM, pemerintah berharap disparitas harga bahan-bahan kebutuhan pokok antara Pulau Jawa dan daerah-daerah terpencil tidak menyolok lagi. Presiden Jokowi pernah menggambarkan, harga semen di Wamena, Papua, hampir sepuluh kali lipat dari harga semen di Jawa. Begitu pula harga terigu, daging ayam, gula, minyak, dan lain-lain -- jauh lebih mahal ketimbang di Jawa. Mahalnya harga bahan kebutuhan pokok di Papua dan daerah-daerah terpencil lain tersebut karena biaya transportasi logistiknya yang amat mahal. Jika kondisi ini dibiarkan, maka pembangunan di daerah-daerah terpencil akan terambat, dan disparitas pembangunan antar wilayah Jawa vs luar Jawa bakal semakin melebar.
Sebagai inisiasi, pemerintah telah menunjuk beberapa kapal motor (KM) Dempo, KM Ciremai, dan KM Dorolanda untuk mendistribusikan bahan-bahan kebutuhan pokok dari Tanjung Priok (Jakarta) ke wilayah-wilayah terpencil melalui jalur Surabaya, Makassar, Ambon, Sorong, Biak, Serui, dan Jayapura. PT Pelni juga siap menyediakan enam kapal barang khusus untuk mengangkut bahan-bahan kebutuhan pokok tersebut. Kapal-kapal Pelni diprogramkan mengarungi enam rute melalui 30 pelabuhan.
Tentu saja, semua transportasi untuk menyuplai komoditas di GM tersebut disubsidi negara. Bahkan pemerintah akan menjual bahan-bahan kebutuhan pokok tersebut sama dengan harga pabrik. Dan pemerintah akan menjual bahan-bahan pokok tersebut melalui pemerintah daerah, tanpa melalui distributor. Dengan demikian, rakyat di daerah terpencil akan memperoleh barang dengan harga murah, hampir sama dengan di Jawa!
Jika program GM ini berhasil, niscaya harga-harga bahan kebutuhan pokok di daerah terpencil akan murah. Minimal, sama dengan harga di Jawa. Sepintas, program ini sederhana dan bisa diterapkan dengan mudah. Tapi bila diteliti lebih jauh, banyak persoalan yang akan menghadang program ini. Jika tak bisa diselesaikan, akan menimbulkan masalah yang kompleks.
Pertama, penyaluran bahan-bahan kebutuhan pokok melalui pemerintah daerah. Kebijakan ini niscaya akan menimbulkan masalah karena pemda bukan institusi bisnis dan kebijakan tersebut mengabaikan keberadaan ekonomi atau pasar rakyat yang sudah terbentuk. Lalu, bagaimana bahan-bahan itu didistribusikan lewat pemda tanpa kerjasama dengan pelaku ekonomi setempat. Ada beberapa kemungkinan yang akan terjadi. Jika pemda mendistribusikan atau menjual langsung komoditas tersebut kepada masyarakat, pedagang lokal akan terpuruk karena dagangannya tidak laku. Berikutnya, pemda bekerjasama dengan pedagang lokal. Ini alternatif yang bagus asal pemda mau mengontrol harga. Tapi kalau ada permainan – misalnya pemda bekerjasama dengan pedagang lokal dengan menaikkan harga komoditas yang tinggi – maka tujuan awal – memperkecil disparitas harga – tidak akan tercapai. Yang ada konkalikong antara pemda dan pedagang lokal. Untuk itu, persoalan ini perlu dirumuskan, bagaimana strategi pengendalian pasar agar tujuan pembangunan gerai maritim ini tida bias.
Kedua, persoalan transportasi (angkutan kapal yang disubsidi) dari Jawa ke daerah-daerah tersebut, niscaya akan mematikan transportasi laut yang sudah ada di wilayah tersebut. Persatuan Pengusaha Pelayaran Rakyat (Pelra) mencatat, pertumbuhan Pelra terus menyusut dari tahun ke tahun. Jika 20 tahun lalu ada 1000 perusahaan Pelra dengan 3000 kapal, sekarang tinggal 600 perusahaan dengan 1500 kapal (Kompas 23/6/’15). Semua ini menggambarkan keterpurukan ekonomi maritim. Jika kemudian pemerintah mengambil alih transportasi kapal tersebut untuk program GM, maka mau dikemanakan ekonomi rakyat? Untuk itu perlu dibuat kajian mengenai transportasi laut ini agar kehadiran GM bisa sinergi dengan usaha pelayaran rakyat.
Ketiga, bahan-bahan pokok apa saja yang perlu dijual di GM perlu dipikirkan lebih jauh. Jangan sampai kebijakan “berasisasi” Bulog tempo dulu ikut menyebar melalui GM. Biarkan rakyat di daerah terpencil mempunyai jenis makanan pokok berbasis sumber daya lokal, nonberas agar diversifikasi makanan pokok terjaga. Kita masih ingat, pemerintah Orde Baru, melalui Bulog, mengajari masyarakat Papua dan Maluku yang makanan pokoknya ubi-ubian dan sagu untuk makan nasi. Begitu pula masyarakat NTT yang makanan pokoknya jagung “dipaksakan” untuk makan nasi. Akibatnya kebutuhan beras pun melonjak. Padahal daerah-daerah tertentu tanahnya belum tentu cocok untuk padi.
Dengan demikian, GM perlu merancang komoditas apa yang sebaiknya dijual di pulau terpencil. Apakah beras, terigu, dan gula pasir yang dijual di GM akan menambah produktivitas dan efisiensi perekonomian setempat? Nanti dulu. Jangan sampai kasus “berasisasi’ akan meluas menjadi “terigunisasi.” Ingat terigu yang kini sudah jadi bahan makanan pokok kedua di Indonesia adalah komoditas impor. Jangan sampai GM menyebarkan virus terigunisasi di daerah terpencil.
Gerai Maritim hendaknya tidak menjadikan dan mendidik masyarakat setempat sebagai konsumen, tapi juga produsen. Tiap-tiap daerah terpencil, melalui GM, didorong untuk mengembangkan produk makanan atau kerajinan yang spesifik untuk kemudian produk-produk khas itu dijual ke Jawa melalui transportasi laut. Dengan demikian, GM bisa mengaktualkan potensi daerah-daerah terpencil tersebut dan mempromosikannya.
Dari gambaran di atas, kita berharap GM bisa mengembangkan ekonomi rakyat di daerah terpencil sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Bukan malah memperkenalkan rakyat daerah terpencil dengan produk-produk tertentu yang berpotensi merusak keunggulan dan potensi daerah tersebut. Di samping itu, keberadaan GM hendaknya bisa menjadi solusi strategis dalam mengatasi berbagai persoalan masyarakat daerah terpencil seperti pendidikan, kesehatan, listrik, telkom, dan infrastruktur lainnya.