Mohon tunggu...
Rokhmin Dahuri
Rokhmin Dahuri Mohon Tunggu... -

Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI)\r\nMenteri Kelautan dan Perikanan tahun 2001-2004\r\nGuru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Program "Ekonomi Biru" Menuju Indonesia Jadi Negara Poros Maritim Dunia

24 Maret 2015   09:15 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:09 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_405027" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Kompas.com"][/caption]

Salah satu gagasan cemerlang Presiden Jokowi yang mendapat dukungan publik dengan penuh antusiasme adalah tekadnya untuk mewujudkan Indonesia sebagai PMD (Poros Maritim Dunia). Yakni Indonesia yang maju, sejahtera, dan berdaulat berbasis pada ekonomi kelautan, hankam dan budaya maritim.  Lebih dari itu, Indonesia kelak diharapkan menjadi rujukan bagi bangsa-bangsa lain di dunia dalam berbagai bidang kelautan, mulai dari ekonomi, IPTEK, hankam sampai cara menata pembangunan kelautan (ocean governance).

Visi Presiden RI ke-7 itu sangat tepat dan beralasan.  Pasalnya, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang tersusun atas lebih dari 17.000 pulau, dirangkai oleh 95.181 km garis pantai (terpanjang kedua setelah Kanada), dan sekitar 70% wilayahnya berupa laut.  Di wilayah pesisir dan laut itu terkandung beragam SDA (Sumber Daya Alam) dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang sangat besar dan belum dimanfaatkan secara optimal. Kekayaan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan tersebut dapat kita dayagunakan untuk kemajuan dan kemakmuran bangsa melalui 11 sektor ekonomi kelautan: (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budidaya, (3) industri pengolahan hasil perikanan, (4) industri bioteknologi kelautan, (5) pertambangan dan energi (ESDM), (6) pariwisata bahari, (7) hutan mangrove, (8) perhubungan laut, (9) sumberdaya wilayah pulau-pulau kecil, (10) industri dan jasa maritim, dan (11) SDA non-konvensional. Total nilai ekonomi kesebelas sektor ekonomi kelautan itu sekitar 1,2 trilyun dolar AS/tahun, dan dapat menyediakan lapangan kerja sedikitnya untuk 40 juta orang.  Sampai sekarang, potensi ekonomi kelautan yang luar biasa besar itu baru dimanfaatkan sekitar 22% dari total potensinya.  Ibarat ‘Raksasa Ekonomi Yang Tertidur’ .

Selain itu, posisi geoekonomi dan geopolitik Indonesia juga sangat strategis, dimana 45% dari seluruh komoditas dan produk yang diperdagangkan di dunia dengan nilai 1.500 trilyun dolar AS/tahun dikapalkan melalui ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) (UNCTAD, 2012). Wilayah NKRI yang diapit oleh Benua Asia dan Australia serta Samudera Pasifik dan Hindia merupakan ’choke point’ yang sangat menentukan pergerakan kapal-kapal perang maupun niaga dan dinamika politik global, khususnya potensi konflik antara negara-negara besar seperti AS, China, Jepang, India, dan ASEAN.  Wilayah pesisir dan laut Indonesia juga merupakan pusat keanekaragaman hayati laut dunia dan penentu dinamika iklim global.

Bila kita mampu membangun wilayah pesisir dan lautan serta kekayaan alam yang terdapat di dalamnya secara produktif, efisien, inklusif, dan ramah lingkungan. Maka, kita akan mampu mengatasi sejumlah permasalahan utama bangsa, seperti pengangguran dan kemiskinan,  kesenjangan antara kelompok kaya vs miskin yang kian melebar, disparitas pembangunan antar wilayah, buruknya konektivitas dan sangat mahalnya biaya logistik (26% PDB), gizi buruk, dan rendahnya daya saing serta IPM (Indeks Pembangunan Manusia) Indonesia.

Konstruksi PMD

Mengacu pada visi Presiden Jokowi tentang PMD di atas, pada dasarnya ada lima kelompok kebijakan dan program utama yang mesti dikerjakan: (1) penegakkan kedaulatan NKRI, termasuk penuntasan batas wilayah laut, pemberantasan illegal fishing dan berbagai kegiatan ilegal lainnya; (2) pembangunan ekonomi (pemanfaatan SDA dan JASLING) kelautan; (3) memelihara kelestarian sumber daya kelautan; (4) pengembangan kapasitas IPTEK kelautan; dan (5) peningkatan budaya maritim bangsa. Untuk mengakselerasi pembangunan kelautan secara lebih produktif, efisien, inklusif, dan ramah lingkungan, selain KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) yang sudah ada sejak awal Pemerintahan Presiden KH. Abdurrahman Wahid (September 1999) dan dibesarkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri melalui program GERBANG MINA BAHARI (Gerakan Nasional Pembangunan Kelautan), Presiden Jokowi juga membentuk Kementerian Koordinator Maritim.

Dalam hal penegakkan kedaulatan dan pelestarian, pemerintah telah melaksanakan sejumlah kebijakan yang cukup bagus, antara lain pemberantasan illegal fishing, moratorium kapal ikan eks asing, larangan alih muatan ikan di laut (transhipment), larangan penggunaan alat penangkapan ikan yang digunakan oleh mayoritas nelayan kita, dan larangan menangkap lobster, rajungan dan kepiting ukuran tertentu. Sayang, tidak didahului dengan sosialisasi dan penyiapan alternatif solusi nya. Sehingga, kebijakan tersebut justru menyulut demonstrasi nelayan dan pembudidaya ikan dimana-mana, mengakibatkan puluhan ribuan nelayan dan pembudidaya menganggur, sentra-sentra industri pengolahan ikan (seperti Belawan, Muara Baru, Benoa, dan Bitung) mengalami mati suri, ribuan ton kerapu dan kepiting soka tidak terjual dan mati membusuk, dan sejumlah dampak negatip lainnya.

Sementara potensi ekonomi kelautan yang luar biasa besar, antara lain perikanan budidaya,  industri bioteknologi kelautan, garam, pariwisata bahari, energi terbarukan dari laut (seperti arus, gelombang dan OTEC/Ocean Thermal Energy Conversion), industri dan jasa maritim, dan sumber daya wilayah pulau-pulau kecil belum mendapat perhatian memadai. Program ekonomi kelautan yang sekarang dikerjakan pemerintah baru pembangunan pelabuhan dan infrastruktur maritim lainnya, yang sifatnya mengeluarkan uang (APBN), bukan menghasilkan pendapatan negara. Padahal membangun pelabuhan tanpa dibarengi dengan mengembangkan perekonomian wilayah hanya akan mengakibatkan pelabuhan itu mubazir alias mangkrak.

Program ekonomi  biru

Oleh sebab itu, mulai sekarang pemerintah bersinergi dengan swasta dan masyarakat harus mengembangkan ekonomi kelautan untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (diatas 7%/tahun), berkualitas (menyerap banyak tenaga kerja dan mensejahterakan rakyat), dan ramah lingkungan secara berkelanjutan (sustainable). Dengan kata lain, program pelestariandan penegakkan kedaulatan tidak seharusnya mematikan ekonomi atau dipertentangkan dengan upaya kita untuk memacu pertumbuhan ekonomi berkualitas, perluasan lapangan kerja, dan peningkatan daya saing bangsa. Keduanya bisa disinergikan, saling melengkapi melalui aplikasi ekonomi biru (blue economy). Sebuah sistem ekonomi berbasis inovasi yang memanfaatkan SDA secara produktif dan efisien, tidak menghasilkan limbah dan emisi; dan pada saat yang sama mampu menciptakan lapangan kerja, menghasilkan pertumbuhan ekonomi berkualitas, dan tidak memerlukan biaya tinggi (Pauli, 2010). Pada tataran praksis, paradigma ekonomi biru dalam konteks pembangunan kelautan Indonesia meliputi sejumlah kebijakan dan program berikut.

Pertama, penyusunan dan implementasi RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) darat-pesisir-laut secara terpadu, yang mengalokasikan sedikitnya 30% dari total ruang wilayah pesisir dan laut untuk kawasan lindung, dan maksimal 70% sisanya untuk kawasan pembangunan. Di dalam kawasan pembangunan inilah, kita boleh mengembangkan kawasan pertambakan udang, industri, pariwisata, pertambangan, pemukiman, pelabuhan, dan sektor pembangunan lainnya sesuai daya dukung wilayah.

Kedua, revitalisasi (peningkatan produktivitas, efisiensi, dan sustainability) seluruh usaha ekonomi kelautan yang sudah berjalan (existing marine economic sectors), mulai dari usaha perikanan tangkap, perikanan budidaya, pariwisata bahari, perhubungan laut sampai galangan kapal. Ini dapat diwujudkan dengan menerapkan 5 prinsip ekonomi biru pada setiap usaha ekonomi kelautan:(1) skala ekonomi, (2) manajemen rantai suplai terpadu (produksi – processing – pemasaran), (3) teknologi inovatif pada setiap mata rantai sistem bisnis, (4) inklusif dengan melibatkan masyarakat lokal, dan (5) ramah lingkungan.  Ketiga, dengan mengaplikasikan kelima prinsip ekonomi itu, kita kembangkan berbagai sektor (usaha) ekonomi kelautan baru seperti industri bioteknologi kelautan, industri nanoteknologi kelautan, energi terbarukan dari laut, deep-sea water industri, deep sea mining, dan coastal and ocean engineering. Selain itu, kita mesti mengembangkan usaha-usaha ekonomi kelautan di kawasan pesisir, pulau kecil, dan laut yang belum terbangun.

Keempat, memperbaiki dan mengembangkan konektivitas maritim yang meliputi: (1) akselerasi pembangunan TOL Laut (pelabuhan dan kapal laut), dan (2) jaringan informasi dan telekomunikasi.  Ini sangat urgen untuk menjamin kelancaran, kecepatan, dan keamanan aliran barang dan penumpang di seluruh wilayah NKRI.  Sehingga, disparitas harga barang-barang antar wilayah dan biaya logistik bisa lebih murah, dan daya saing ekonomi pun turut terdongkrak.

Kelima, rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut yang telah rusak, pengendalian pencemaran, konservasi keanekaragaman hayati, dan pengkayaan stok ikan dan biota laut lainnya untuk memelihara dan meningkatkan daya dukung serta kelestarian SDA dan lingkungan pesisir dan lautan.  Keenam,  mitigasi dan adaptasi terhadap Perubahan Iklim Global, tsunami, dan bencana alam lainnya. Ketujuh, peningkatan kualitas dan jumlah SDM berbagai bidang kelautan sesuai kebutuhan, baik melalui pendidikan formal maupun non-formal (pelatihan dan penyuluhan). Kedelapan, peningkatan penelitian dan pengembangan (R & D) supaya kita mampu menguasai, menghasilkan, dan menerapkan inovasi teknologi dan non-teknologi (seperti business models dan strategi pemasaran) untuk meningkatkan produktivitas, daya saing, dan keuntungan ekonomi kelautan nasional secara berkelanjutan.

Program quick wins

Ketujuh kebijakan dan program diatas bersifat jangka panjang, yang harus dikerjakan sejak sekarang dan berkesinambungan.Namun, hasilnya baru bisa dinikmati setelah beberapa tahun ke depan. Oleh sebab itu, kita mesti mengembangkan program-program pembangunan ekonomi kelautan yang hasilnya dapat kita rasakan dalam satu atau paling lambat lima tahun mendatang (quick wins).

Pertama, pengembangan 5.000 unit armada kapal ikan nasional berukuran diatas 50 GT dengan alat tangkap yang efisien dan ramah lingkungan untuk memanfaatkan sumber ikan di wilayah-wilayah laut yang selama ini menjadi ajang pencurian ikan (illegal fishing) oleh nelayan asing atau yang masih underfishing seperti Laut Arafura, L. Banda, L. Sulawesi, Teluk Tomini, L. Natuna, dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di Samudera Hindia dan Pasifik.  Kapal-kapal ikan dan nelayan yang selama ini beroperasi di wilayah laut yang telah overfishing, seperti perairan Pantura dan perairan pantai lainnya harus dilatih supaya mampu beroperasi di wilayah-wilayah laut yang masih underfishing atau laut lepas (ocean-going fisheries).  Nelayan tradisional yang sebagian besar masih miskin harus ditingkatkan kapasitas dan etos kerja nya, sehingga pendapatan nelayan minimal 300 dolar AS (Rp 3,9 juta)/nelayan/bulan. Seluruh sarana produksi seperti alat tangkap, BBM atau energi terbarukan, beras dan perbekalan melaut lainnya harus tersedia di seluruh pelabuhan perikanan (pemukiman nelayan) dengan harga relatif murah.  Pemerintah juga harus menjamin pasar bagi seluruh ikan hasil tangkapan nelayan dengan harga sesuai nilai keekonomian (BULOG perikanan). Revitalisasi semua pelabuhan perikanan yang ada, dan pembangunan pelabuhan perikanan baru sesuai kebutuhan.

Kedua, revitalisasi dan pengembangan:(1) budidaya laut (mariculture) dengan komoditas unggulan seperti kakap, kerapu, bawal bintang, ikan gobia, lobster, teripang, rumput laut (Euchema spp, Sargasum spp, dan lainnya), kerang hijau, dan kerang mutiara di 2 juta ha kawasan perairan laut yang belum terkena polusi; (2) 300.000 ha tambak udang Vanammei intensif, dan 200.000 ha tambak udang windu semi-intensif; (3) budidaya tambak ikan bandeng, kakap, nila salin, kepiting soka, dan lainnya; dan (4) 1 juta ha usaha budidaya rumput laut (Gracillaria spp).  Saat ini total luas perairan laut Indonesia yang potensial (cocok) untuk usaha budidaya laut sekitar 24 juta ha.  Sedangkan, total luas lahan pesisir yang potensial untuk usaha budidaya tambak (perairan payau) adalah 3 juta ha.  Dengan keempat kluster usaha budidaya laut dan tambak tersebut, maka setiap tahunnya akan dihasilkan rata-rata sekitar 20 juta ton produk perikanan, 80 milyar dolar AS nilai ekonomi, dan lapangan kerja untuk 9 juta orang.

Ketiga, dengan bahan baku dari usaha perikanan tangkap dan perikanan budidaya di atas, maka kita akan mampu merevitalisasi industri pengolahan hasil perikanan yang saat ini hanya sekitar 50% yang masih beroperasi dari total kapasitas terpasang nasional.  Lebih dari itu, dengan bahan baku yang besar itu, kita pun bisa mengembangkan industri pengolahan hasil perikanan di banyak lokasi, terutama di luar Jawa dan Bali. Keempat, pengembangan industri bioteknologi kelautan yang meliputi: (1) genetic engineering ramah lingkungan untuk menghasilkan bibit dan benih unggul; (2) industri pakan ikan dan ternak berbasis micro algae; (3) ekstraksi senyawa bioaktif dari biota laut untuk bahan baku industri makanan dan minuman, farmasi, kosmetika, dan lainnya; dan (4) industri biofuel dari micro algae.  Potensi ekonomi industri ini diperkirakan empat kali nilai ekonomi industri teknologi informasi (Ministry of Maritime Affairs and Fisheries, Korsel,  2002).

Kelima, revitalisasi dan pengembangan pariwisata bahari dengan cara: (1) pembenahan obyek (destinasi) wisata yang ada dan mengembangkan destinasi yang baru; (2) pengembangan jenis-jenis wisata bahari baru secara inovatif (product development); (3) peningkatan aksesibilitas dari dan ke obyek wisata melalui transportasi laut, darat maupun udara; (4) pembenahan dan pembangunan infrastruktur dan sarana di dan sekitar lokasi wisata; (5) peningkatan promosi dan pemasaran melalui berbagai media dan eksibisi baik di dalam maupun luar negeri; dan (6) peningkatan kualitas SDM pariwisata bahari dan kesadaran serta perilaku masyarakat lokal supaya lebih kondusif dan menyenangkan para wisatawan domestik dan manca negara. Keenam, revitalisasi dan pengembangan industri dan jasa maritim, khususnya: (1) industri galangan kapal; (2) peralatan dan mesin perikanan (seperti jaring dan alat penangkapan ikan lain, kincir air tambak, dan mesin pabrik industri pengolahan ikan); (3) peralatan dan mesin untuk industri migas serta pertambangan mineral; (4) fibre optics dan kabel laut; (5) perangkat lunak untuk manajemen pelabuhan dan transportasi laut; dan (6) perangkat lunak untuk prediksi lokasi fishing grounds, cuaca dan kondisi oseanografi.

Ketujuh, pembangunan 21 kawasan industri terapdu berkelas dunia (world class) dengan pola KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) yang inovatif, inklusif dan ramah lingkungan di wilayah pesisir bagian barat (Sabang, Kuala Tanjung, Teluk Bayur, Bengkulu, Batam, dan Lampung); bagian tengah (Kalbar, Kalsel, Kaltim, dan Kaltara); dan bagian timur NKRI (NTB, NTT, Sulsel, Sulbar, Sulteng, Sultra, Sulut, Maluku, Malut, Papua, dan Papua Barat).

Supaya segenap program pembangunan kelautan jangka panjang maupun quick wins di atas dapat terealisir, pemerintah harus menyediakan skim kredit perbankan khusus dengan bunga yang relatif murah dan persyaratan relatif lunak (Bank Maritim) seperti yang berlaku di sektor industri kelapa sawit sejak Pemerintahan Orba sampai sekarang, dan juga di negara-negara lain.  Selain itu, iklim investasi (seperti perizinan, pajak, ketenaga-kerjaan, dan keamanan berusaha) serta kebijakan politik-ekonomi harus kondusif bagi tumbuh-kembangnya ekonomi kelautan.

Dengan peta jalan pembangunan kelautan seperti di atas, dari saat ini sebagai negara berpendapatan-menengah bawah (GNP/kapita sebesar 5.000 dolar AS), insha Allah pada 2020 Indonesia akan menjadi negara berpendapatan-menengah atas (GNP/kapita sekitar 10.000 dolar AS), dan pada 2025 menjadi negara maritim yang besar, maju, adil-makmur, dan berdaulat serta sebagai Poros Maritim Dunia dengan GNP/kapita di atas 14.000 dolar AS.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun