[caption id="" align="aligncenter" width="562" caption="Laut Indonesia /Kompasiana (Kompas.com/Ronny Adolof Buol)"][/caption]
Seluruh rakyat Indonesia mendambakan segera terwujudnya kehidupan berbangsa yang maju, sejahtera, dan berdaulat. Kendati prestasi makroekonomi tergolong bagus. Namun, sudah 69 tahun merdeka, Indonesia masih sebagai negera berkembang dengan angka pengangguran dan kemiskinan yang tinggi, kesenjangan penduduk kaya-miskin kian melebar, dan daya saing serta Indeks Pembangunan Manusia (IPM) rendah.
Tidak sinkronnya prestasi makroekonomi dengan kondisi ekonomi riil itu disebabkan pertumbuhan ekonomi selama dekade terakhir kurang berkualitas dan tidak inklusif. Sebagian besar (75%) pertumbuhan bertumpu pada ekspor komoditas mentah, aliran masuk ’uang panas’ (investasi portfolio), sektor non-tradable, konsumsi, dan impor. Dan, bukan dari geliat investasi sektor riil tradable yang inovatif serta menghasilkan berbagai barang dan jasa yang berdaya saing untuk memenuhi kebutuhan nasional maupun ekspor.
Oleh sebab itu, mulai sekarang kita harus merevitalisasi kinerja sejumlah sektor riil tradable yang selama ini menjadi unggulan (seperti industri tekstil, otomotif, elektronik, semen, pertambangan dan energi, serta pertanian), dan secara simultan mengembangkan berbagai sektor riil tradable baru.
Sebagai negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia yang 75 persen wilayahnya berupa laut seluas 5,8 juta kilometer persegidengan kekayaan sumber daya alam (SDA) yang sangat besar dan beragam, ekonomi kelautan sangat potensial untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (rata-rata di atas tujuh persen per tahun) dan berkualitas (menyerap banyak tenaga kerja dan menyejahterakan rakyat) secara berkelanjutan. Ekonomi kelautan adalah seluruh aktivitas ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan, dan semua aktivitas ekonomi yang terdapat di wilayah hulu daratan yang menggunakan bahan baku (raw materials)-nya berasal dari wilayah pesisir atau lautan (Dahuri, 2003).
Sebelas sektor
Sedikitnya ada 11 sektor ekonomi kelautan, yakni: (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budidaya, (3) industri pengolahan hasil perikanan, (4) industri bioteknologi kelautan, (5) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), (6) pariwisata bahari, (7) kehutanan pesisir (coastal forestry), (8) transportasi laut, (9) industri dan jasa maritim, (10) sumber daya wilayah pulau-pulau kecil, dan (11) sumber daya alam (SDA) non-konvensional. Total nilai ekonomi dari ke-11 sektor kelautan itu mencapai sekitar 1,2 triliun dolar AS per tahun atau 7,5 kali lipat APBN 2014 dan 1,2 nilai PDB Indonesia saat ini dengan potensi lapangan kerja untuk lebih dari 50 juta orang. Uraian berikut adalah ilustrasi besaran nilai ekonomi dari beberapa sektor kelautan tersebut.
Potensi produksi lestari ikan laut Indonesia yang dapat dimanfaatkan melalui usaha perikanan tangkap sebesar 6,7 juta ton per tahun, sekitar delapan prsen dari total potensi produksi lestari ikan laut dunia (90 juta ton per tahun). Kurang lebih, 24 juta ha perairan laut dangkal Indonesia cocok untuk usaha budidaya laut (mariculture) ikan kerapu, kakap, baronang, kerang mutiara, teripang, abalone, lobster, rumput laut, dan biota laut lainnya yang bernilai ekonomis tinggi dengan potensi produksi sekitar 42 juta per tahun. Tapi, hingga 2013 kita baru memanfaatkan potensi budidaya laut ini sebesar 5,3 juta ton (11 persen). Lahan pesisir (coastal land) yang cocok untuk usaha budidaya tambak udang, bandeng, kerapu, nila, kepiting, rajungan, rumput laut, dan biota perairan payau lainnya diperkirakan lebih dari 1,22 juta ha dengan potensi produksi sekitar 10 juta ton per tahun.
Jika kita dapat mengusahakan 400 ribu ha (30 persen) lahan pesisir untuk tambak udang secara optimal dengan rata-rata produktivitas 20 ton per ha per tahun (seperempat dari rata-rata produktivitas tambak udang Vannamei saat ini), maka dihasilkan delapan juta ton udang per tahun. Dengan harga jual sekarang, delapan dolar AS per kg (di lokasi tambak), nilai ekonominya mencapai 64 miliar dolar AS per tahun. Kalau 50 persen kita ekspor, nilai devisanya mencapai 32 miliar dolar AS per tahun, dua kali lipat nilai ekspor seluruh CPO. Ini baru satu komoditas perikanan.
Lebih dari itu, tenaga kerja yang dapat disediakan oleh 400 ribu ha tambak udang adalah sekitar 1,2 juta orang tenaga kerja langsung yang mengelola tambak (on farm) dan sekitar 800 ribu orang yang bekerja di industri hulu, hilir, dan jasa terkait (off farm). Padahal masih banyak produk perikanan lainnya, seperti ikan kerapu, kakap, baronang, bawal, tuna, cakalang, kepiting, rajungan, nila, teripang, kerang mutiara, dan rumput laut yang selama ini diminati oleh pasar dunia, khususnya Jepang, Amerika Serikat, Uni Eropa, Singapura, China, dan Korea Selatan dengan harga tinggi.
Lebih dari itu, Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia. Sehingga, Indonesia dikenal di dunia sebagai mega-marine biodiversity, yang merupakan modal utama bagi industri bioteknologi kelautan (marine biotechnology industry). Industri bioteknologi kelautan meliputi: (1) ekstraksi senyawa bioaktif (bioactive compounds) atau bahan alam (natural products) dari biota laut sebagai bahan baku untuk industri makanan dan minuman, farmasi, kosmetik, cat, film, biofuel, dan sebagainya; (2) rekayasa genetik (genetic engineering) untuk menghasilkan induk dan benih ikan, hewan, dan tanaman yang berkualitas unggul; dan (3) bioremediasi lingkungan. Potensi nilai ekonomi total dari produk perikanan dan produk bioteknologi kelautan Indonesia diperkirakan sekitar 82 milyar dolar AS per tahun. Sementara di tingkat dunia, potensi ekonomi industri bioteknologi kelautan empat kali nilai ekonomi industri teknologi informasi.
Meskipun belum ada perhitungan tentang potensi ekonomi pariwisata bahari, jika kita membandingkan dengan negara bagian Queensland, Australia dengan panjang garis pantai hanya sekitar 2.000 km dan mampu menghasilkan devisa pariwisata bahari sebesar dua miliar dolar AS per tahun, tentu potensi kita lebih besar. Indonesia memiliki 95.200 km panjang garis pantai (terpanjang kedua di dunia setalah Kanada) dan panorama alam tropis yang indah serta unik.
Potensi Migas
Sementara itu, hampir 70 persen produksi minyak dan gas bumi kita berasal dari kawasan pesisir dan laut. Indonesia memiliki 60 cekungan yang mengandung minyak dan gas bumi. Dari 60 cekungan tersebut, 40 cekungan terdapat di lepas pantai, 14 di kawasan pesisir, dan hanya enam cekungan yang berada di daratan. Dari seluruh cekungan tersebut, potensinya sebesar 11,3 miliar barel yang terdiri atas 5,5 miliar barel cadangan potensial dan 5,8 miliar barel cadangan terbukti. Selain itu, diperkirakan cadangan gas bumi adalah 101,7 triliun kaki kubik yang terdiri dari cadangan terbukti 64,4 triliun dan cadangan potensial sebesar 37,3 triliun kaki kubik.
Potensi ekonomi jasa perhubungan laut mencapai lebih dari 16 milyar dolar AS per tahun. Ini berdasarkan pada perhitungan bahwa sejak 15 tahun terakhir kita mengeluarkan devisa sekitar 16 milyar dolar AS untuk membayar armada pelayaran asing yang mengangkut 95 persen dari total barang yang diekspor dan diimpor ke Indonesia dan yang mengangkut 50 persen dari total barang yang dikapalkan antarpulau di wilayah Indonesia.
Sementara itu, di sektor jasa penyediaan tenaga kerja pelaut untuk kapal niaga, kapal pesiar, dan kapal penumpang, potensi ekonominya pun luar biasa besarnya. Sejauh ini, Indonesia merupakan negara pemasok tenaga pelaut terbesar ketiga di dunia dengan nilai devisa sekitar 6 milyar dolar AS/tahun. Peringkat satu dan dua ditempati China dan Filipina.
Belum lagi, sektor industri dan jasa maritim yang antara lain, meliputi industri galangan kapal (shipyard), perawatan kapal (dockyard), mesin kapal, pabrik jaring dan alat penangkapan ikan lain, kincir air tambak (pedal wheel), pabrik pipa dasar laut, fibre optic, anjungan migas lepas pantai, coastal and ocean engineering, dan ramalan cuaca (weather forcast). Potensi ekonomi sektor ini pun luar biasa besarnya. Sayang, hingga saat ini Indonesia masih mengimpor hampir semua produk industri dan jasa maritim tersebut.
Peran laut Indonesia bakal semakin penting dan strategis, seiring dengan perpindahan pusat kegiatan ekonomi dunia sejak akhir abad-20 dari Poros Atlantik ke Poros Asia-Pasifik. Hampir 70 persen total perdagangan dunia berlangsung diantara negara-negara di Asia-Pasifik. Sekitar 45 persen dari seluruh komoditas dan produk yang diperdagangkan di dunia dengan nilai 1.500 trilyun dolar AS per tahun ditransportasikan melalui ALKI (UNCTAD, 2012).
Selain fungsi ekonomi, laut juga memiliki tiga fungsi lainnya yang sangat menentukan dinamika ekosistem bumi dan kehidupan umat manusia yang menghuninya. Fungsi tersebut berupa fungsi bio-ekologis; fungsi pertahanan dan informasi.
Peran bioekologis laut sangat besar pengaruhnya pada hampir semua aspek kehidupan manusia dan lingkungan hidupnya. Interaksi dinamis antara laut dan udara menentukan pola iklim dunia dan sistem pergerakan arus laut turut memelihara keseimbangan suhu bumi, sehingga cocok untuk kehidupan mahluk hidup. Melalui proses biogeofisik-kimiawi, sejumlah deposit minyak bumi, gas alam, timah, bijih besi, bauksit, mangan, emas, fosfor, dan mineral lain tersimpan di dasar laut. Sementara itu, perairan laut merupakan tempat kehidupan bagi beranekaragam dan berjuta-juta makhluk hidup (organisme), mulai dari yang tak terlihat mata (microscopic) seperti bakteri, sampai makhluk hidup terbesar di dunia berupa ikan paus biru (blue whale).
Karakterstik oseanografis laut Indonesia yang khas merupakan indikator (penentu) muncul dan lenyapnya El-Nino dan La-Nina, yang mempengaruhi perubahan iklim global, dan berdampak pada kemarau panjang, banjir, kegagalan panen, kebakaran hutan, serta naik turunnya produksi perikanan. Selain itu hamparan laut Indonesia memiliki pengaruh terhadap sistem atmosfer dunia. Jasa-jasa ekosistem laut yang sangat penting adalah sebagai pompa biologis (biological pump). Istilah tersebut dipergunakan karena kehidupan yang terdapat di laut dapat mengontrol konsentrasi CO2 di atmosfer.
Komunitas fitoplankton (mikro alga) dan makro alga juga mempunyai peran yang penting dalam menjaga keseimbangan panas bumi melalui pengendalian ketebalan awan yang melewati lautan. Hal ini merupakan kunci utama dalam menentukan berapa besar radiasi sinar matahari yang dipantulkan kembali dari bumi. Berdasarkan hipotesis bahwa jenis fitoplankton tertentu mengeluarkan zat yang cepat berubah menjadi gas yang bersifat reaktif terhadap sulfur (dimethyl sulfide atau DMS). Pada saat lepas ke atmosfer, senyawa tersebut teroksidasi dengan cepat membentuk asam sulfat (H2SO4). Cairan asam tersebut berperan sebagai inti dalam proses kondensasi untuk pembentukan butiran uap air di permukaan laut.
Dengan adanya kedua peran dari ekosistem laut tersebut (biological carbon pump dan DMS/cloud mechanism), maka mekanisme ini dapat berperan sebagai umpan balik positif terhadap perubahan iklim global. Sehingga, dampak akibat peningkatan CO2 dapat diperkecil. Diperkirakan kemampuan biota perairan dalam mengatur iklim global lebih besar bila dibandingkan dengan hutan tropika basah.
Dari aspek pertahanan dan keamanan, peranan laut pun tidak kalah pentingnya, terutama dalam hubungannya dengan usaha menjaga kedaulatan negara. Laut dan kehidupan yang ada di dalamnya merupakan bahan penelitian dan pendidikan yang tidak akan pernah habis-habisnya. Pendeknya, ekonomi kelautan Indonesia sampai sekarang ibarat “raksasa yang masih tidur”, potensinya luar biasa, tetapi kontribusinya bagi perekonomian bangsa (PDB) masih kecil, sekitar 22 persen.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H