Mohon tunggu...
Sigit Anugroho
Sigit Anugroho Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Sekadar buruh yg mencari pelepasan. Semoga Anda berkenan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Semua Begitu Saja Terjadi

22 November 2013   17:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:48 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerpen Sigit Ar. Rojes Mangandonya

Semua begitu saja terjadi. Aku masuk kamarnya, menyalakan rokok dan menyeruput kopi yang tampaknya sengaja ia sisakan untukku. Tak ada orang di rumah. Istrinya kerja. Anak-anak masih sekolah. Dan, ia tengah berbaring di bathup dengan mulut sedikit berbusa dan matanya tak kuasa berpejam dengan sempurna.

Setelahnya tak tahu aku mau berbuat apa demi penantianku tercerabut dari waktu. Gemericik air di kamar mandi. Alunan blues menghentak-sontak. Semua menjadi orkestrasi: seruputan kopi, kepul rokok, gemericik air. Yang selalu menimbulkan pesona, tiada lain.

Sungguh. Begitu saja semua terjadi.

Sungguh. Terjadi begitu saja semua.

Sungguh. Semua saja begitu terjadi.

Bosan? Segalibnya. Karena memang aku tak tahu harus memulai dari apa. Dari kejadian yang mana. Itu sebabnya aku mengulang-balikkan kata itu. Entahlah yang mana yang seharusnya kukatakan lebih dulu. Mungkin kamu juga menganggap aku pencerita yang kering seperti kata banyak orang. Pencerita gagap yang tak bisa melenturkan kisah dari A sampai Z, atau kebalikannya.

Ah, seandainya kamu sabar mendengar….

Ia adalah seorang ayah dari sahabat anak-anakku. Letak rumahnya hanya beberapa langkah saja dari rumahku. Sehingga wajar jika anak-anaknya sering bermain ke rumahku. Begitu pun sebaliknya tak jarang anak-anakku menghabiskan waktu bermain di rumahnya. Sering kami tamasya bersama. Ke pantai, ke kebun binatang, atau sekadar jalan-jalan ke taman kota. Anak-anak kami terbiasa menginap di rumahku atau di rumahnya.

Ya, ia adalah seorang ayah dari kedua anak yang lucu, tentu saja tak kalah lucunya dengan anakku. Segalanya berjalan lancar-lancar saja. Hubungan antar keluarga kami baik-baik saja. Tak ada yang patut dijadikan kecurigaan. Apa pun bentuknya kedekatanku dengannya tidak terlalu menjadi persoalan di mata suamiku, dan juga istrinya. Mungkin karena selama ini aku adalah istri yang baik. Sehingga jika aku dekat dengannya, suamiku maklum semata. Dan tak pernah curiga.

Bahkan ketika aku sampai larut malam tidak pulang, suamiku tidak mencari karena tahu aku sedang menunggui anak-anak kami di rumahnya. Paling suamiku hanya menelpon, menanyakan apakah anak-anak menginap atau pulang. Sehingga suamiku tak perlu menunggu untuk makan malam bersama. Dan jika memutuskan untuk menginap, maka suamiku hanya bilang, “Kamu cepetan pulang, ya. Soalnya pintu tidak kukunci. Aku mau tidur.” Dan benar, ketika aku masuk rumah, suamiku sudah pulas. Aku maklum saja karena bagaimana pun suamiku kecapekan setelah seharian bergelut dengan kesibukan. Namun, satu yang memaksa aku harus meredam jengkel: suamiku selalu lupa mematikan komputer. Aku mesti mengesave ulang kerjaan suamiku yang terbengkalai.

Sebagai ibu rumah tangga yang baik tentunya aku harus menyiapkan sarapan untuk suamiku. Harus bangun lebih dini daripada suamiku. Membuat kopi dan menaruhnya di sisi suamiku. Lalu, suamiku akan bangun dan langsung menciumku. Ehmmm…

Ya, hanya mencium. Tak lebih. Ciuman yang selalu sama tiap kali suamiku bangun tidur, berangkat ke kantor, dan sesekali saat menjelang tidur.

Setelah melepas suamiku ke kantor, sebagai ibu rumah tangga yang baik, aku pun mengerjakan tugas sebagai halnya kebanyakan orang. Bersih-bersih rumah, menyiapkan makan siang bagi anak-anak—suamiku tidak pernah makan siang di rumah—dan makan malam bagi kami sekeluarga.

Dan, sebagai ibu yang baik aku harus menjemput anak-anak dari sekolah. Anak-anakku dan anak-anaknya sekolah di tempat yang sama. Sulungku dan sulungnya satu kelas, sementara anak keduaku dan anak keduanya berlainan kelas. Saat itulah hariku dengannya kembali berawal. Bahkan sering lebih awal dari itu karena tak jarang ia menjemputku untuk bersama-sama pergi menjemput anak-anak kami.

***

Ia adalah ayah dari sahabat anak-anakku, yang rumahnya beberapa langkah saja dari rumahku. Istrinya seorang pebisnis yang bisa dibilang terlalu sukses. Bidang usaha istrinya macam-macam, mulai dari kain batik hingga barang antik dan kerajinan lain yang menurutnya bernilai seni. Kolega bisnis istrinya tersebar di antero bumi.

Sebagaimana pebisnis sukses, istrinya punya mobilitas tinggi: tak terhambat jarak. Istrinya bisa keliling Indonesia dalam satu hari! Tentu saja itu tidak benar. Istrinya hanya mampu berada di kota-kota tertentu saja dalam satu hari. Misalnya, pagi hari istrinya memimpin rapat di Bali dan siangnya menemui rekan bisnis di Jakarta, lalu sorenya menghadiri undangan minum kopi bersama pejabat pemerintahan di sebuah kafe di Makassar sebelum malamnya meluncur pulang ke Yogya. Dan itu sudah menjadi bagian pekerjaan sehari-hari istrinya. Bahkan tidak jarang istrinya mesti memimpin rapat di dua tempat berbeda dalam waktu bersamaan.

Namun, selain pebisnis sukses, istrinya adalah seorang ibu yang baik. Sesibuk apa pun, istrinya meluangkan waktu untuk menelpon anak-anaknya. Paling cuma bilang, “Sudah makan belum? Bagaimana tadi di sekolah?” Dan jika istrinya tengah berada di suatu kota yang belum pernah disinggahi, pasti pertanyaan itu di tambah dengan “Mama lagi di kota (…), kalian mau oleh-oleh apa?” Tetapi karena terlalu sering bepergian, rasanya tak ada kota yang belum pernah merasakan injakan kaki istrinya. Sehingga anak-anaknya akan menjawab “Nggak usahlah, Ma.”

Ya, istrinya adalah seorang pebisnis sukses sekaligus ibu yang baik. Dan, boleh juga dibilang istri yang baik—tentu saja untuk ukuran pebisnis seperti istrinya. Sebab, bagaimana pun istrinya selalu meluangkan waktu untuk tidur di rumah.

Sementara ia adalah ayah yang baik dari sahabat anak-anakku, yang secara formal tidak memiliki pekerjaan seperti umumnya seorang suami. Hari-harinya hanya ia habiskan di rumah dengan nonton tv, baca koran, dan menjemput anaknya (dan anakku) dari sekolah, di luar menulis dan melukis. Sekilas ia memang suami yang bangsat. Suami yang terkesan tak menghidupi istri dan anak-anaknya. Suami yang hanya menggantungkan hidup kepada istri.

Sebenarnya, ia juga bertanggung jawab sebagai halnya kebanyakan seorang suami. Ia pun menafkahi istrinya secara lahir dengan honor yang ia dapatkan dari pemuatan tulisannya di koran-koran, dan tentu saja hasil penjualan lukisannya. Meski sudah pasti jumlahnya tak sebesar uang makan bulanan istrinya.

Dulu ia satu sekolah dengan aku. Hanya saja ia berada satu tingkat di atasku. Ia menjadi murid taladan dan murid telatan1) di sekolah. Prestasi belajarnya berada jauh di atas rata-rata. Karena, memang, hampir tak pernah ia melewatkan waktu luangnya selain untuk ke perpustakaan. Segala macam bacaan ia telan begitu saja. Namun satu yang membuatnya dibenci oleh beberapa guru, bahwa ia sering terlambat masuk sekolah, dan ia sering meninggalkan kelas hanya untuk berlama-lama di perpustakaan.

Begitulah cerita yang beredar di sekolah kami dulu. Sehingga, ada rasa inginku untuk mendekatinya. Maklumlah, anak muda. Satu anugerah bagiku, memang: akhirnya aku kenal dengannya dan tak lama kemudian kami memutuskan pacaran. Tentu saja seperti banyak orang bilang, cinta anak sekolah hanyalah cinta monyet. Namun, ia bersikeras bahwa cinta kami suatu saat nanti akan ber-evolusi menjadi cinta manusia sesungguhnya. “Seperti keyakinan kaum Darwinian,” ia berujar suatu ketika.

Maka, kami berusaha untuk tetap menjaga cinta kami. Memang terlalu sentimentil jika aku katakan kepadamu bagaimana kami bersumpah untuk setia pada setiap pertemuan kami. Lebih baik nggak usah kukatakan saja, ya?

Setelah lulus, ia ke Yogya, di suatu sekolah seni. Dan selamanya ia tidak pulang lagi. Namun, ia menjumpaiku lewat surat-surat yang ia kirimkan ke sekolahku. Pun sebaliknya. Seterusnya hal itu menjadi kebiasaan kami di dua tahun yang mendendam itu, sebelum akhirnya aku lulus dan menyusulnya ke Yogya.

Lubang memang selalu hadir memergap jalan yang memang sudah terjal. Seberhati-hati apa pun terkadang langkah masih terantuk batu atau terjerumus masuk ke lubang itu sendiri. Betapa pun aku mesti melewatinya, lolos atau terperosok ke lubang. Dan pilihan kedualah yang setidaknya aku alami. Cinta yang sentimentil ini akhirnya harus tak berlanjut ke pelaminan.

Aku kabarkan padanya bahwa aku telah berada di rumah pamanku, di Yogya. Ia pun balas berkabar, bahwa aku harus membaca surat terakhirnya yang ia kirimkan ke kota tempat tinggalku. Ah, lacur! Di suratnya ia bilang harus bertanggung jawab karena telah menitipkan benih di rahim seorang wanita yang kini menjadi istrinya itu.

Namun, kami bersepakat untuk terus menjaga cinta yang sentimentil itu, sekalipun aku telah bersuami. Itu sebabnya kami bertetangga. Dan masing-masing kami tidak mau menyakiti pasangan “sah” kami. Karenanya, baik suamiku maupun istrinya tak ada yang tahu ihwal hubungan kami.

Hingga, ia merasa tidak tegar menghadapi segala tekanan. Ia bilang tidak tega terus-menerus menipu istrinya, meski ia tidak menipu diri sendiri. Ia menyarankan agar kami bergegas menuju ke kehidupan masa depan, agar kami dapat terus bersama tanpa ada rasa bersalah terhadap orang lain.

Ia berketetapan dalam kehidupan mendatang akan mencariku. Meski ia belum tahu akan jadi apa. Apakah kami dalam kehidupan masa depan itu menjadi manusia atau binatang, ia tidak peduli. Bahkan jika salah satu dari kami menjadi binatang dan tidak berada dalam satu wilayah ia akan teguh mencari dan mengawiniku. Atau di kehidupan mendatang kami lahir dengan jenis kelamin sama kami akan rela menjadi pasangan homoseksual. Sebab cinta kami bukan cinta monyet: cinta kami adalah cinta yang ber-evolusi!

Semua begitu saja terjadi. Aku masuk kamarnya, menyalakan rokok dan menyeruput kopi yang nampaknya sengaja ia sisakan untukku. Tak ada orang di rumah. Istrinya kerja. Anak-anak masih sekolah. Dan, ia tengah berbaring di bathup dengan mulut sedikit berbusa dan matanya tak kuasa berpejam dengan sempurna. Setelahnya tak tahu aku mau berbuat apa demi penantianku tercerabut dari lingkar waktu. Kudengar gemericik air dari kamar mandi. Alunan musik blues menghentak-sontak. Semua menjadi orkestrasi: seruputan kopi, kepul rokok, gemericik air, dan seterusnya…dan seterusnya… Wallahualam bi sawab.

^Sagan

1) telatan: telat-an ‘selalu terlambat’

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun