Mohon tunggu...
Ida Togatorop (Loved)
Ida Togatorop (Loved) Mohon Tunggu... Administrasi - a worker, a crafter, a virtuous women, a happy wife, a loving mother, a blessed person and always loved

Only because God's Grace my life filled with blessings and miracles :)\r\n\r\nMari menulis...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menghargai Rupiah

18 Oktober 2014   00:37 Diperbarui: 21 Juni 2023   14:30 2357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1413911913956849657


[caption id="attachment_368247" align="aligncenter" width="600" caption="(foto: dokumen pribadi)"][/caption]

Saya selalu suka jika diberi uang yang masih baru oleh orangtua saya, saat saya masih kecil. Uang baru yang saya maksud disini adalah jenis uang rupiah kertas yang masih gress, masih licin, mulus, tidak terlipat, tidak robek, bersih dan tidak kotor, tidak ada bercak-bercaknya, tidak buluk dan masih "wangi duit baru".

Kecintaan saya terhadap uang kertas dengan bentuk dan wujud yang serupa masih sama hingga saat ini. Akibatnya, saya suka agak kesal dan sedikit menggerutu jika mendapatkan uang kembalian dengan bentuk yang sudah robek atau lecek banget seperti habis diuwel-uwel. Kok bisa ya, uang sendiri diperlakukan seperti itu? pikir saya.  Bentuk terparah yang pernah saya temui adalah uang kertas dengan kondisi yang sangat lusuh, robek kecil-kecil di sekitar pinggirannya, agak lembab, dan berbau tengik sampai saya bisa bersin dibuatnya.  Mungkin pada nominal tertentu seperti pecahan Rp 50.000, keatas wujudnya lumayan bagus.  Namun, pecahan dibawah Rp 5.000 kondisi uangnya terkadang memprihatinkan. 

Jika kita membandingkan uang kertas rupiah dengan dollar, sungguh kondisinya jauh berbeda. Kebanyakan uang dollar yang saya temui wujudnya nyaris tiada cacat. Kalaupun ada, biasanya berasal dari money changer, hotel, cafe, dsb, tetapi jelas bukan dari Bank. Lain halnya dengan dengan dollar yang saya temui di negara lain, bentuknya bermacam-macam, ada yang terlipat, robek, kusam bahkan lusuh pun juga ada.

Saya punya beberapa pengalaman seputar uang kertas rupiah dan dollar, yang mungkin diantara kita, pernah mengalaminya.  Saya perhatikan kebanyakan kasir, teller, penjaga loket, atau siapapun denga profesi sejenis, biasanya, meletakkan uang kertas yang agak jelek, di bagian atas. Saya gak ngerti apa alasannya, mungkin agar di akhir hari, uang yang terkumpul hanya yang bagus atau yang baru-baru saja, karena otomatis uang yang jelek sudah berpindah ke tangan masyarakat. 

Saya pernah dapat uang Rp 2.000,- yang sudah lusuh, dari mba-mba penjaga loket busway.  Saya kesal dan protes sama mba-nya trus saya bilang "mba, uang nya tuker dong, jangan yang jelek", dengan sigap si mba mengambil uang saya tersebut dan menukarnya dengan recehan pecahan Rp 500,- sebanyak 4 buah, sembari berkata bohong “maaf mba, gak ada lagi yang lain, adanya recehan”.  Melihat antrian panjang dibelakang, saya merasa tidak enak untuk komplain lagi, saya pun menerima recehan itu dan langsung pergi, meski dengan perasaan keki.

Saya juga pernah dapat kembalian dari kasir pasar swalayan, uangnya jelek dan robek (ada tambalannya), saya langsung protes, “mba..uangnya robek nih, tuker yang bagus dong, kan uang saya bagus juga” tukas saya sambil tersenyum pendek.  Si mba nya tersipu malu dan memberikan selembar rupiah kertas yang masih bagus pengganti uang kembalian saya itu. 

Pernah juga, salah satu teller di Bank ABC (Bank Swasta Nasional) menolak uang dollar (Bank Note) yang saya mau setorkan karena ada bintik-bintik hitam di permukaannya.   Tellernya bilang “uangnya jamuran bu”.   Saya bilang sama si mba teller, bahwa memang dapatnya seperti itu dari Bank PX dan ga sempat periksa apakah si uang terjangkit jamur atau enggak. Si mba teller tetap tidak mau terima, dan akhirnya, saya kembali lagi ke Bank PX (Bank Swasta Asing) untuk menukarkan dollar tersebut dengan dollar yang masih mulus tanpa noda sedikitpun, agar bisa diterima oleh Bank ABC.

Kejadian tersebut membuat saya berpikir dan bertanya-tanya sendiri, kenapa dollar diperlakukan begitu spesial, sementara rupiah tidak?  Pertanyaan yang sama ternyata pernah terpikirkan juga oleh atasan saya yang bule.  Beliau pernah bilang pada saya “Why did Indonesian people treat dollar so fancy? but not for rupiah? I have seen rupiah shaped crumpled and very ugly” Saya sempet malu campur bingung denger pertanyaan dan pernyataan si bule. Malu karena artinya kita lebih menghargai mata uang asing (dollar) dan kurang menghargai mata uang sendiri.  Lalu, bingung, karena saya tidak tahu alasan jelasnya apa.  Tidak mau di pandang sebelah mata sama si bule, dengan percaya diri saya (mewakili bangsa Indonesia) menjawab “Im not sure Pak, maybe because dollar is foreign currency, it is not simply convenient to make transaction using it, anyway I treat dollar as much as I treat rupiah” sahut saya sambil tersenyum dan ngeloyor pergi (menghindari kalau-kalau pertanyaan berikutnya muncul).

Jujur, saya memang tidak tahu kenapa dollar harus mulus dan licin di Indonesia, sementara rupiah diperlakukan semaunya. Saya pun belum pernah melakukan penelitian apakah uang kertas rupiah kita diperlakukan fancy di negara lain, seperti kita memperlakukan dollar.  Saya juga tidak terlalu paham bagaimana seharusnya menindak atau memperlakukan uang kertas yang sudah jelek, lusuh atau usang.  Namun, sepertinya kurang bijak jika kita memperlakukan dollar begitu spesial, tetapi kurang menghargai rupiah, mata uang kita sendiri.

Biasanya, kalau saya kedapatan uang yang lusuh/jelek saya akan sisihkan dan akan memberikan uang tersebut apabila saya ke Bank untuk melakukan transaksi keuangan, atau saya gunakan untuk belanja di departemen store, atau pasar swalayan.  Lalu, untuk uang yang agak bagus atau yang masih baru, akan saya berikan saat saya beramal di tempat ibadah, ketika bersedekah ke pengemis, bayar ongkos ke sopir angkot, atau beli sayur di tukang sayur dekat rumah.  Alasannya simple saja, biar uang yang berputar di masyarakat adalah uang yang agak bagus atau yang masih baru.  Saya juga menemukan efek lain dari "kebiasaan saya mendistribusikan uang baru" tersebut.  Raut wajah si penerimanya, mengekspresikan senang-sumringah, senyum dan ucapan  terima kasih-nya itu loh... beda!

Tentunya uang kertas rupiah “tiada cacat” tidak selalu saya miliki (dapatkan).  Namun, paling tidak, sebagai bangsa Indonesia, yang cinta rupiah, saya menghargai setiap rupiah kertas dalam nominal apapun. Saya menyimpan dan memperlakukan uang rupiah kertas tersebut dengan baik, tidak pernah mencorat-coret uangnya, tidak diuwel-uwel, dan tidak juga dijadikan alat praktek origami. 

Aksi saya untuk menghargai rupiah, mungkin saja sederhana, tetapi saya yakin, meskipun kecil dan sederhana, jika saya konsisten melakukannya, kelak akan berdampak pada yang lain, dan lama kelamaan akan menjadi besar. Semoga bermanfaat!

Salam hangat. 

Jakarta Selatan, Ida Togatorop

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun