#MogokBayarUkt menjadi trending media sosial twitter begitu juga dengan #NadiemBelumMendengar turut serta meramaikan trending topic pembahasan. Bahkan Selasa lalu, #MendikbudDicariMahasiswa sempat trending dengan ribuan twit.Â
Memang sejak pandemi covid19 menjangkit Indonesia pada awal bulan Maret lalu, kegiatan pembelajaran di perguruan tinggi beralih melalui daring. Semenjak itu pula, beragam keluhan mulai dirasakan oleh mahasiswa, baik dari efektivitas maupun fasilitas pembelajaran yang kurang memadai.Â
Secara bergiliran, nama sejumlah kampus pun memuncaki trending di Twitter dalam beberapa minggu terakhir. Mereka menuntut agar uang kuliah tunggal ( UKT) diturunkan dan mendapat fasilitas yang memadai saat kuliah daring seperti halnya subsidi pulsa/kuota data internet bagi mahasiswa.
Banyak dari mereka menganggap bahwa hak yang diterima mahasiswa selama pembelajaran daring tidak sebanding dengan biaya uang kuliah tunggal (UKT) yang dibayarkan selama satu semester.Â
UKT pada prinsipnya digunakan untuk menambah biaya operasional pendidikan kampus. Apabila proses pembelajaran berlangsung jarak jauh, dalam hal ini yang terbebani adalah mahasiswa dan dosen. Selama Perkuliahan Jarak Jauh (PJJ) mahasiswa tidak memanfaatkan fasilitas kampus mereka tidak praktikum, tidak menggunakan listrik, AC dan lain-lain. UKT digunakan untuk mengoptimalkan proses pembelajaran.Â
Kalau rata-rata UKT mahasiswa sekarang sekitar 3-5 juta kemudian mereka disubsidi hanya 20GB kuota internet atau setara dengan pulsa 100 ribu perbulan, ya jelas tidak worth it! Â
Hitung-hitungan kasarnya jika harus membayar biaya UKT untuk satu semester sebesar 5 Juta sedang subsidi pulsa tiap bulan 100 ribu. Katakan lah 6 bulan dalan satu semester, maka tiap mahasiswa mendapat jatah pulsa 600 ribu. Bukannya mau membanding-bandingkan namun yang saya lihat adalah subsidi kuota yang berkisar 20GB itu tidak memadai artinya tidak cukup digunakan dalam satu bulan mengingat kebutuhan yang besar untuk mengakses. Â
Aplikasi Zoom saja tiap dosen minimal mengadakan Perkuliahan online selama 1 jam, jika harus mengadakan perkuliahan lagi jelas sehari tidak cukup 3GB untuk perkuliahan jarak jauh.Â
Belum lagi akses jurnal, mencari sumber referensi yang sekarang semuanya serba online. Menang benar untuk akses pembelajaran moodle elearning kampus digratiskan aksesnya tapikan Perkuliahan semacam ini tidak hanya menggunakan elearning saja. Â
Lagipula kalau PTN itu Dosennya sudah dibayar negara, artinya gaji dosen tidak bergantung pada uang UKT. Pihak kampus juga bisa memanfaatkan bantuan operasional pendidikan (BOP) untuk membayar hal-hal teknis di kampus, seperti pemeliharaan, listrik, kebersihan, dan lain-lain. Wah bagiaman dengan PTS pasti makin ribet lagi ngaturnya.
Saya baca-baca kata pengamat pendidikan Darmaningtyas katanya pengamat pendidikan anggaran dari pemerintah itu terbatas, makanya UKT mahasiswa tetep gede, tapi jika dibandingakan dengan apa yang didapat mahasiswa selama pembelajaran daring sepertinya memang keluhan-keluhan dari mahasiswa perlu dipertimbangakan.
Di tengah pendemi virus corona saat ini, hampir seluruh bidang kehidupan merasakan dampaknya. Termasuk dunia pendidikan, Banyak orang yang bekerja informal, mengalami  penurunan pendapatan. Begitu juga banyak di antara mereka yang kini sudah di rumahkan tidak lagi mendapat penghasilan pasti. Namun jika kita berbicara hak dan kewajiban, melihat besarnya biaya yang dikeluarkan dengan apa yang didapatkan oleh mahasiswa maka sudah sepatutnya keringanan biaya UKT perlu dipertimbangkan.
Hidup Mahasiswa!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H