Jika kemarin aku menuliskan episode paling sendu yang ada dalam catatan harian kita, maka kali ini, izinkan aku untuk menuliskan episode bahagia yang pernah kita ukir bersama. Oh iya lupa, maaf, sudah bukan kita, tapi aku dan kamu. Dari sekian banyak luka yang aku punya, ternyata episode bahagia lebih mendominasi di dalamnya. Aku tidak menyebutnya episode paling membahagiakan, mengapa demikian? Karena yang aku rasakan, menjalani hari-hari bersamamu selalu terasa sangat menyenangkan. Aku harap kamu merasakan hal yang sama. Atau mungkin, aku saja yang menganggapnya berlebihan. Entahlah, sekarang semua terlihat runyam. Dan aku tak ingin menghabiskan sisa tenagaku untuk meratapinya, karena aku hanya ingin menorehkan tinta kebahagiaan.
"Follback ya", kalimat pembuka percakapan kita. Mungkin, jika dulu aku tak membalasnya, kita tak akan mengukir memori seindah ini. Kala itu, namamu sudah tidak asing bagiku, karena aku sering mendengarnya dari teman-temanku. Namun, dulu aku tak pernah mempedulikan hal itu. Lugu sekali, bukan? Sulit bagiku untuk merangkai kata demi kata yang menggambarkan awal pertemuan kita. Tetapi, tanpa aku rasa, tiba-tiba saja kamu sudah memperjuangkannya. Ya, memperjuangkan apa yang pernah kita perjuangkan bersama. Melukis canda tawa, mendeskripsikan sketsa, berbagi sekian banyak cerita, hingga memupuk rasa nyaman yang tiba-tiba ada sembari menyusuri tepian kota. Berdua. Mengunjungi tempat-tempat wisata, dari perbatasan kota sampai ke ujung Jogja.
Sepertinya, aku akan sering mengulang kalimat 'bersamamu, semua terasa sangat menyenangkan'. Karena memang itu fakta yang aku rasakan. Biar kutebak, jaket abu-abu yang dulu kau kenakan, pasti sekarang sudah kekecilan. Begitupun dengan kemeja kotak-kotak biru yang sempat kulihat di awal pertemuan. Jika kamu bertanya, mengapa aku masih mengingatnya, mungkin sepatah dua patah kata yang aku punya tak akan mampu menguraikan segala kenangan yang dulu sempat kita abadikan.
Sudah kubilang, aku tak pandai merangkai kata. Aku saja bingung harus mulai menceritakannya dari mana. Karena setiap kali aku memulai interaksi denganmu, aku merasa aku bukanlah aku. Seketika saja, aku terlihat seperti anak kecil yang suka merengek pada orangtua nya. Acap kali aku merasa, bahwa bersamamu semua akan baik-baik saja. Karena, sepanjang aku bercerita, mengeluhkan asa, bahkan terkadang sampai meneteskan air mata, kamu selalu meyakinkanku bahwa semua memang akan baik-baik saja dan takdir tak akan melewatinya.
Ah, entahlah. Jika ditanya, ada banyak hal yang ingin aku sampaikan. Tetapi, semua terasa berat untuk diungkapkan. 3 tahun bukanlah waktu yang singkat, bukan? Namun, semuanya berlalu begitu cepat. Aku tak ingin mengelak, meskipun keadaan telah berubah, kita tetaplah sebuah pernah, yang bahagianya hanya singgah tapi membuncah.Â
Oiya, sepertinya, aku lupa menanyakan kabarmu. Sejauh mana pencapaian mu sekarang? Sesulit apa jalanan terjal yang berhasil kamu lalui tanpa ada titik yang kamu lewatkan? Aku berharap, semoga apapun yang sedang kamu usahakan selalu diberikan kelancaran. Aku mengenalmu dengan sangat baik. Dan kamu pun bertemu banyak orang baik pastinya, kan? Aku senang pernah terlibat dan mendampingi prosesmu dalam berjuang. Hanya saja, sekarang memang sudah bukan masanya. Tetapi, satu yang perlu kamu ingat, aku adalah salah satu orang yang selalu bangga atas segala pencapaian yang pernah kamu ceritakan.Â
Sejauh yang aku lihat, kamu adalah orang hebat. Pribadi mu yang sangat kuat, menggambarkan betapa hebatnya kamu melalui hujan dan badai yang datang tanpa permisi. Ramah dan rendahnya hatimu, membuat orang-orang di sekitarmu tak berhenti melantunkan do'a baiknya untukmu. Aku salut akan hal itu. Aku berani mengatakan, tukang parkir mana yang tidak dengan senang hati mengarahkan jalan ketika kamu akan menyeberang? Semua karena renyahnya obrolan yang kamu ciptakan dengan sedikit gurauan yang cukup mengesankan.
Pada episode ini, sepertinya aku lebih banyak mendeskripsikan tentangmu. Bukan tentang kita. Tapi tak apa, mereka mungkin tak paham mengapa sosok sepertimu sangat sulit aku lupakan dan pantas untuk aku abadikan. Sampai di titik ini, aku pun baru menyadari, bahwa skenario Tuhan akan hal ini, memberiku banyak sekali celah untuk bisa introspeksi diri. Kita berpisah dengan cara yang sangat ramah. Tak ingin menjadi munafik, seramah apapun kondisinya, perpisahan tetaplah perpisahan yang punya fase menyakitkan.Â
Bohong jika aku tak merindukan sosokmu. Bohong jika aku tak merindukan sapaan hangatmu tiap pagi. Bohong jika aku tak merindukan secuil kabarmu di sela aktivitas mu. Bohong jika aku tak merindukan perhatian-perhatian kecil yang kamu berikan. Bohong jika aku tak merindukan notifikasi panggilan di tengah larutnya malam usai segala kesibukan. Bohong juga jika aku tak merindukan segala perdebatan yang akhirnya menjadi hal yang bisa kita diskusikan. Aku mengaku belum terlalu pandai menyembunyikan perasaan. Naif sekali bukan?
Time flies so fast. Jika semua perihal 'bersamamu semua terasa sangat menyenangkan' harus aku tuangkan berbentuk sebuah tulisan, kurasa nantinya, episode ini akan sangat panjang. Dan aku merasa tak cukup mampu untuk memilih diksi yang tepat. Kepada siapapun yang membaca tulisan ini, aku harap kalian mengerti. Aku belum mampu menghilangkan perasaan ini. Aku masih ingin menikmati relapse yang berulang kali. Aku memang tak menunggunya untuk kembali, tapi sepanjang jalan Jogja mana yang belum pernah kita lewati? Ya, aku harap kalian mengerti. Terima kasih telah bersedia membaca kembali tulisan tak berarti ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H