Mohon tunggu...
Rois Amin
Rois Amin Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Saya sekarang sedang mengambil program pendidikan S1 di UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Apa Itu Post-Truth dan Sejak Kapan Ada?

8 Juni 2024   19:55 Diperbarui: 8 Juni 2024   20:00 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Posttruthdergi.com

Oleh: Syamsul Yakin

Pengasuh Pondok Pesantren Darul Akhyar Parung Bingung Kota Depok, dan Rois Amin

Post-Truth atau lebih mudahnya dapat di artikan dengan samar nya sebuah kebohongan seperti kebenaran. Sejatinya terjadi bukan baru-baru ini. Bukan ketika media online seperti media baru, media sosial, dan social network ada di genggaman kita. Post-truth bukan berawal dari jemari tangan, ranah digital, ruang virtual, atau apa saja yang serba online, tapi berawal dari hati manusia sejak dahulu kala. Kebohongan yang berasa layaknya fakta sudah terjadi sejak masa Nabi SAW. Jadi, post-truth itu perilaku lama dengan istilah baru. Tentang apa itu post-truth, dapat diresapi dari informasi Nabi SAW berikut ini.

Bersumber dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda, "Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. Ketika itu pendusta dibenarkan sedangkan orang yang jujur malah didustakan. Pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang amanah justru dianggap sebagai pengkhianat. Pada saat itu Ruwaibidhah berceloteh". Ada yang bertanya, "Apa yang dimaksud Ruwaibidhah?" Nabi SAW menjawab, "Orang bodoh yang turut campur dalam urusan publik" (HR. Ibnu Majah).

Ketika pendusta dibenarkan sedangkan orang yang jujur malah didustakan, ini jelas post-truth sudah terjadi sejak masa lampau. Orang tidak lagi bisa digiring oleh opini dari sumber berita valid. Mereka lebih percaya hoaks yang mempermainkan emosi dan akal sehat. 

Padahal Allah telah mewanti-wanti orang-orang muslim dalam surah Al-Hujurat ayat enam untuk mencari kebenaran dan kejelasan dahulu ketika mendapatkan sebuah berita,  apalagi kalau berita itu datang dari orang yang fasiq atau tidak benar. Jelas, sejak dulu post-truth mampu mengalahkan rasionalitas. Tentu jika dibiarkan akan mengancam dan memberikan banyak dampak negative.

Secara psikologis, post-truth muncul secara berkala dari rasa ketakutan akan kejujuran orang lain dan kekhawatiran akan kekalahan dalam persaingan, seperti kelemahan dalam tata-kelola kepribadian, ilmu, dan kerja keras. Post-truth adalah gambaran dari sifat orang-orang kalah yang memaksa untuk menang, meski dengan intrik, agitasi dan kampanye hitam, lalu mengajak antek-antek nya untuk mendukung pendapatnya yang sebenarnya sebuah post-truth. Maka jadilah pendusta dibenarkan sedangkan orang jujur didustakan. Tak bisa disangkal praktik politik modern telah diterpa post-truth.

Berikutnya, ketika para pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang amanah justru dianggap sebagai pengkhianat membuktikan bahwa watak dasar media sosial tidak anti-humanisme. Artinya, sejarah membuktikan bahwa hoaks, fake news, dan hate speech sudah lebih dulu meluas sebelum berkembangnya media konvergensi. Dengan kata lain, watak internet itu humanis, demokratis, dan pluralis. Namun sayang, di era disrupsi, banyak orang diserang tanpa tahu yang menyerang. Seseorang dikhianati tanpa kenal yang mengkhianati.

Kondisi seperti ini diperparah oleh munculnya Ruwaibidhah, representasi masyarakat online yang instan, hipokrit, anti-sosial, dan bandit. Ruwaibidhah adalah musuh bangsa-bangsa, bahkan musuh peradaban. Ruwaibidhah yang sebenarnya marginal dengan watak agresornya jadi berada di tengah. Tak hanya itu, dengan kemampuan retorikanya, ia malah berhasil mengontrol keadaan, baik ekonomi dan politik. Ruwaibidhah inilah yang sudah mencoreng citra dari media sosial, yang seharusnya digunakan secara arif dan bijaksana.

Untuk memenangi persaingan ini, tak pelak kita harus bermental progresif dan berwatak futurolog (memiliki watak memprediksi kejadian beberapa saat kemudian) dengan mengusung adagium "tomorrow is today". Bukan sebaliknya, jadi kaum romantis-konvensional yang memegang teguh tajuk "yesterday is today". Bila tidak, kita akan tergilas katalis perubahan yang liar dengan kecepatan nano-second. Ingat, ketika platform berubah kita harus melakukan shifting (pergeseran). Selain itu, kita juga jangan sampai hanya menjadi penumpang namun harus melakukan reposisi, dari "penumpang" era digital kepada "pengendali" sehingga kita dapat mengubah opini-opini yang mengandung post-truth menjadi real-truth

Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun