Saat kita berbincang dengan teman dan membicarakan seseorang, seringkali kita mendengar kata-kata "harga dirinya tinggi" atau "dia mah orangnya gengsian". Terkadang kita mengucapkan sesuatu yang bahan kita sendiri kurang paham dengan makna dibaliknya. Jadi, Â seberapa dalam pengetahuanmu tentang harga diri? Â Mari kita telaah lebih dalam jauh
Apa itu harga diri?
Menurut KBBI harga diri adalah kesadaran akan seberapa besar nilai yang di berikan kepada diri sendiri. Sementara gengsi adalah kehormatan, harga diri, atau martabat. Rosenberg (1965) menjelaskan bahwa harga diri adalah sikap positif atau negatif terhadap diri sendiri, hal ini dapat didefinisikan sebagai salah satu bentuk apresiasi dalam menghargai diri sendiri. Sementara Coopersmith (2002) menjelaskan bahwa harga diri sebagai evaluasi yang dibuat oleh individu sendiri dan dapat menjaga hal-hal yang berkenaan dengan dirinya sendiri, hal ini menunjukkan persetujuan atau ketidaksetujuan dan menunjukkan tingkat keyakinan individu tentang dirinya yang mampu, penting, berhasil, dan layak.
Harga diri global vs Harga diri situasional
Secara umum, kita mengetahui bahwa harga diri itu memiliki 2 kategori, rendah dan tinggi. Orang yang memiliki harga diri yang rendah bisa menjadi individu yang memiliki perasaan seperti hipersensitif, ketidakstabilan, kesadaran diri, kurang percaya diri, lebih memilih berada di zona aman daripada meraih berbagai kesempatan dan menikmati hidup, takut mengambil risiko, pesimisme, kesepian, atau keterasingan. Biasanya, mereka masih menunjukkan kebingungan akan  identitas dirinya dan kurang peka terhadap isyarat sosial (bentuk komunikasi tanpa menggunakan kata-kata) yang relevan dengan diri sendiri.
Pada harga diri yang tinggi, terdapat 2 karakteristik, ia bisa menunjukkan bentuk yang positif dan bentuk yang negatif. Memiliki harga diri yang tinggi dapat membantu menjaga diri dan membantu kita untuk mengaktualisasi diri, ini lah fungsi dari harga diri, yaitu fungsi pemeliharaan dan fungsi pertumbuhan.
Orang yang harga dirinya tinggi lebih memiliki pandangan yang baik terhadap diri, kehidupan, dan masa depannya dibandingkan dengan seseorang yang memiliki harga diri yang rendah. Selain itu, harga diri yang tinggi dapat membantu individu dalam mengatasi stres, kecemasan, hingga trauma.
Sementara itu, harga diri yang tinggi juga dapat memunculkan karakteristik yang negatif, seperti lebih mengutamakan kesuksesan daripada kesejahteraan dan lebih menujukkan tindakan favoritisme kelompok.
Secara global kita bisa melihat bahwa harga diri dapat dibagi menjadi tinggi dan rendah, tetapi secara situasional, tingkat harga diri dapat berubah. Jadi, seseorang bisa jadi memiliki tingkat harga diri dalam satu tempat atau tipe situasional dan akan memiliki tingkat yang berbeda di tempat lainnya. Bagi beberapa orang, harga diri relatif stabil tetapi untuk orang lain bisa saja  bervariasi dari waktu ke waktu atau dalam situasi yang berbeda, atau keduanya.
- Devos & Banaji (2003) menjelaskan bahwa Harga diri tinggi dan rendah dapat dimiliki oleh seseorang. Harga diri "explicit" merupakan tipe yang sadar akan hal tersebut dan tipe harga diri "implicit" tidak sadar akan hal tersebut. Misalnya, seseorang bisa memiliki tingkat harga diri yang tinggi baik explicit maupun implicit, sedangkan yang lainnya bisa tinggi  pada satu hal dan rendah pada satu pada hal lainnya. Level ini bisa berfluktuasi hanya dalam 25 detik dalam beberapa kondisi
- Menurut Kernis (2003) harga diri memiliki 2 kategori, "fragile" (rentan) atau "secure" (realtif satabil dan sehat). Kedua tipe ini dapat dilihat perbedaannya jika kita melihatnya sebagai 2 kutub yang berbeda. Seperti harga diri explicit/implicit yang tidak seimbang akan bertentangan dengan harga diri explicit/implicit yang yang tinggi. Seseorang yang memiliki harga diri yang tinggi dan defensif  adalah pasangan dari tipe harga diri yang fragile. Harga diri "optimal" dapat dilihat dari kualitas harga diri yang merupakan pasangan dari tipe harga diri "secure" baik secara explicit/implicit.
- Tafarodi, Tam, dan Milne (2001) berpendapat bahwa ketika harga diri didefinisikan dalam hal kompetensi pekerjaan (kompetensi diri dan menyukai diri sendiri), individu dapat memiliki satu komponen harga diri yang berbeda dibandingkan dengan yang lainnya.  Misalnya, beberapa orang mungkin merasa dirinya kompeten, tetapi ia merasa tidak berharga maupun sebaliknya, kondisi ini disebut harga diri  "paradoxical"
- Menanggapi hal tersebut, Murk (2006) menjelaskan, dalam hal kompetensi dan kelayakan kita bisa membagi harga diri dengan 2 jenis, yaitu "dark" yang terkait dengan hal-hal egoisme, narsisme, atau kesombongan dan yang lebih sehat "light"Â
Faktor yang mempengaruhi Harga diri
Mruk (2006) mengungkapkan beberapa faktor yang mempengaruhi self esteem, yaitu :
- Faktor orang tua
Orang tua atau pengasuh merupakan orang pertama yang menjadi tempat belajar seseorang. kehangatan dasar manusia, dorongan, rasa hormat, dan dukungan diperlukan untuk pengembangan atau pemeliharaan harga diri seseorang selama seumur hidup. Meskipun pada banyak penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara dukungan yang dirasakan dari orang-orang terdekat atau faktor keluarga dan sosial dengan harga diri tidak terlalu besar, tetapi faktor tersebut bisa dipahami sebagai faktor yang mempermudah terjadinya perilaku sesorang, seperti pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi. Hal tersebut merupakan salah satu kondisi yang dapat meningkatkan (atau dengan ketidakhadirannya dapat menurunkan) kemungkinan harga diri, tidak langsung membuat orang kehilangan harga diri seumur hidup.
- Faktor Nilai
Jika kita ingin memahami harga diri atau kaitannya dengan motivasi dan perilaku, kita tidak dapat menghindari hubungan antara harga diri dengan nilai. Misalnya, walaupun seseorang menunjukkan harga diri tinggi atau rendah akan berbeda dalam hal-hal tertentu, seperti seberapa besar peluang mereka dalam mendapatkan apa yang mereka hargai dengan perbedaan yang terletak pada apa yang diharapkan oleh masing masing dari mereka dalam mencapai peluang yang mereka hargai.
- Faktor Gender
Rosenberg meneliti kemungkinan interaksi antara gender dan harga diri sejak tahun 1965. Epstein (1979) menemukan bahwa ketika subyek perempuan diminta untuk melaporkan pengalaman yang berkaitan dengan harga diri, mereka lebih banyak melaporkan pengalaman yang melibatkan penerimaan dan penolakan, terutama penerimaan daripada laki-laki, sementara laki-laki lebih banyak melaporkan pengalaman yang melibatkan kesuksesan dan kegagalan daripada perempuan.
- Faktor Orientasi Budaya
Adanya perbedaan harga diri dalam lintas budaya sangat berkaitan dengan budaya individualistis (menekankan kemandirian dan peran seseorang dalam kehidupan sosial) dan budaya kolektivitas (berfokus pada saling ketergantungan dan memiliki struktur sosial komunal). Gnambs, et all. (2018) mengungkapkan bahwa adanya perbedaan harga diri dari negara seperti jerman dan AS yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara negara yang berasal dari masyarakat yang kurang individualistis seperti cina dan indonesia. Hal ini dapat terjadi karena teori perbedaan budaya, Individualisme lebih berfokus pada tingkat otonomi dan aktualisasi diri yang diperjuangkan orang dalam masyarakat tertentu daripada penekanan keterkaitan dan kohesi kelompok, sementara ekspresi pandangan diri yang terlalu positif (yaitu, peningkatan diri) biasanya dipandang kurang tepat di antara anggota masyarakat yang kurang individualistis.