PT Beejay Seafood merupakan salah satu anak perusahaan dari Beejay Group yang ada di Kota Probolinggo, Jawa Timur. Perusahaan ini memproduksi olahan dari berbagai ikan segar yang ada di laut, dengan produk utama berupa ikan fillet, dan produk VAP (Value Added Product) yang berjumlah 19 produk. Berdasarkan operasionalnya, kapasitas produksi dari PT Beejay Seafood setiap harinya memiliki rata-rata sejumlah 5 Ton. Proses produksi tersebut menghasilkan beberapa limbah, yakni kepala ikan sejumlah 350 kg, tulang ikan sejumlah 200
kg, jeroan ikan sejumlah 80 kg, kulit ikan sejumlah 100 kg, dan sisik ikan sejumlah 70 kg. Dari limbah yang dihasilkan, kepala ikan, tulang ikan, kulit ikan, dan sisik ikan sudah ada pihak ketiga yang bekerjasama untuk dibeli dan diolah limbahnya. Jeroan ikan merupakan satu-satunya limbah yang tidak dapat dijual lagi dan sebelumnya tidak ada pengolahan khusus hanya terbuang sia-sia. PT Beejay Seafood (BJS) memiliki unit pengolahan limbah sendiri yang tidak hanya mampu menangani limbah dari proses produksinya, tetapi juga dirancang untuk menerima dan mengolah limbah organik dari sumber eksternal, seperti Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Unit pengolahan ini menjadi salah satu langkah strategis dalam mengelola limbah organik di Kota Probolinggo yang terus meningkat. Limbah organik yang ada di kota Probolinggo sendiri selama 3 tahun terakhir memenuhi TPA. Pada bulan Juni 2023 mencapai rerata perhari sebesar 70 ton, mulai berasal dari limbah rumah tangga hingga limbah industri (Dinas Lingkungan Hidup, 2023). Dalam hal ini, keberadaan unit pengolahan limbah BJS tidak hanya mengurangi beban limbah di TPA, tetapi juga menciptakan peluang untuk memanfaatkan limbah sebagai sumber daya bernilai ekonomis.Â
Metode pengolahan limbah dengan Maggot Black Soldier Fly (BSF) menawarkan
sejumlah keunggulan. Maggot BSF mampu mengolah limbah organik dengan lebih cepat dan efisien dibandingkan metode lainnya. Maggot BSF dapat mereduksi limbah organik hingga 65,5% hingga 78,9% dalam waktu singkat, tergantung pada jenis limbah yang digunakan (Diener et al., 2021). Selain itu, maggot BSF menghasilkan biomassa bernutrisi tinggi yang kaya akan protein (41,8%) dan lemak, yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pakan ikan atau unggas (Kahar et al., 2020). Proses ini juga menghasilkan residu berupa pupuk
organik yang bermanfaat bagi kesuburan tanah (Roychoudhury et al., 2018). Budidaya maggot BSF juga membutuhkan biaya investasi yang lebih rendah dibandingkan pengomposan atau anaerobic digestion, menjadikannya solusi yang tidak hanya efektif dalam mengelola limbah
organik tetapi juga berpotensi memberikan nilai tambah secara ekonomi. Keunggulan lainnya adalah fleksibilitas maggot BSF dalam mengonsumsi berbagai jenis limbah organik, termasuk limbah pertanian dan limbah dari hewan, sehingga dapat digunakan untuk berbagai skala operasional (Ichwan et al., 2021). Dengan kemampuan ini, budidaya maggot BSF menjadi pilihan yang menarik bagi industri pengolahan limbah organik seperti PT Beejay Seafood, yang ingin memaksimalkan efisiensi sekaligus meminimalkan dampak lingkungan dari limbah organiknya. Untuk memastikan keberlanjutan dan dampak lingkungan dari metode ini, diperlukan kajian lebih mendalam terkait emisi yang dihasilkan sepanjang proses budidaya BSF. Perhitungan carbon footprint menjadi penting sebagai tolak ukur kuantifikasi emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh suatu aktivitas manusia atau terkumpulnya selama satu tahap siklus suatu produk (Sasmita et al., 2018). Dapat dikatakan bahwa analisis carbon footprint merupakan analisis emisi karbon yang ditimbulkan dari utilitas. Hal ini menunjukkan pentingnya integrasi antara aspek lingkungan dan ekonomi dalam menilai dampak suatu aktivitas industri. Carbon footprint (jejak karbon) merupakan suatu ukuran dari segala aktivitas manusia yang dapat menimbulkan dampak bagi lingkungan. Satuan jejak karbon dinyatakan dalam satuan ton karbondioksida ekuivalen atau ton karbon (Admaja et al., 2018). Jumlah karbon yang dihasilkan berbanding lurus dengan banyaknya aktivitas manusia terhadap energi, sehingga meningkatkan nilai emisi dan mempengaruhi kualitas udara di atmosfer (Wulandari, 2013)
Seiring dengan penggunaan listrik dan operasional alat lainnya dalam proses budidaya maggot BSF, maka perhitungan carbon footprint menjadi penting untuk menilai dampak lingkungan yang dihasilkan dari kegiatan tersebut. Perhitungan komponen dari carbon footprint erat kaitannya dengan utilitas. Oleh karena itu, perlu diperhitungkan dalam analisis teknoekonomi. Dalam hal ini, analisis tekno-ekonomi menjadi krusial untuk menilai kelayakan proyek ini dari sisi biaya, manfaat, serta dampaknya terhadap lingkungan. Analisis tekno-ekonomi sendiri terdiri dari aspek teknis dan aspek ekonomi. Pada aspek teknis, beberapa contoh kriteria yang menentukan kelayakan di antaranya adalah kapasitas produksi, bahan baku, utilitas, tenaga kerja, proses produksi, dan layout (Mutmainnah et al., 2017). Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu, aspek ekonomi mencakup kriteria seperti NPV, Net B/C Ratio, R/C Ratio, IRR, ROI, Break Even Point (BEP), dan Payback Period (PP). Dengan demikian, analisis tekno-ekonomi tidak hanya membantu dalam menilai kelayakan finansial, tetapi juga memperhitungkan dampak lingkungan dari suatu proyek. Analisis tekno- ekonomi juga digunakan untuk menghitung proyeksi pendapatan dan analisis kelayakan finansial (NPV, Net B/C Ratio, IRR, dan PP) seperti yang dilakukan dalam penelitian Setiawan et al. (2022). Penelitian Wicaksono et al. (2021) juga mengaplikasikan analisis tekno-ekonomi untuk menghitung aspek ekonomi seperti kapasitas produksi, biaya bahan baku, biaya utilitas, dan biaya investasi, serta analisis kelayakan finansial seperti IRR dan BEP.
Pada penelitian ini menggunakan dua analisis, yakni analisis carbon footprint, dan analisis tekno-ekonomi. Analisis carbon footprint diperlukan data perhitungan berupa penggunaan LPG, konsumsi bahan bakar minyak, konsumsi energi listrik, penggunaan barang elektronik, dan bekas maggot. Hasil analisa carbon footprint menunjukkan jumlah emisi CO2 primer sebesar 25.100,652 kg CO2, emisi CO2 sekunder sebesar 317,16 CO2. Dari dua jenis emisi tersebut dapat diperoleh total emisi CO2 sebesar 25.417,812 kg CO2.
Hasil analisis kelayakan teknis dapat disimpulkan layak dari beberapa aspek kriteria. Aspek- aspek tersebut meliputi penentuan lokasi, kapasitas produksi, bahan baku, utilitas, mesin dan peralatan , tata letak fasilitas, mass balance, dan energy balance. Berdasarkan penentuan lokasi dapat dikatakan layak karena dinilai sangat baik secara kriteria kedekatan bahan baku, ketersediaan sumber air, dan transportasi. Kapasitas produksi Maggot Kering sebesar 232,5 kg/bulan, sedangkan produksi Tepung Maggot sebesar 186 kg/bulan. Bahan baku yang digunakan terdiri dari telur maggot BSF, pakan ayam pedaging starter, dan limbah organik yang dibutuhkan sebagai pakan maggot (jeroan ikan, dan foodwaste). Pada utilitas diperoleh total kebutuhan listrik dalam setahun sebesar 302,1 kWh maka tarif yang dikeluarkan selama sebesar Rp436.444. Sedangkan pada kebutuhan air diperoleh total kebutuhan selama sebulan sebesar 4.976 L dan tarif yang dikeluarkan selama setahun Rp368.272. Mesin yang digunakan terdiri atas mesin pencacah, mesin pengaduk limbah, mesin sangrai maggot, dan Disk Mill. Dari empat mesin tersebut dikatakan layak dikarenakan masing-masing mesin memiliki efisiensi diatas 85%.
Analisis kelayakan ekonomi membutuhkan data mengenai total biaya produksi (biaya tetap, biaya variabel, dan biaya overhead), kemudian dianalisis kelayakannya berdasarkan beberapa kriteria, yaitu Harga Pokok Produksi (HPP), Break Even Point (BEP), B/C Ratio, Net Present Value (NPV), Payback Period (PP), dan Internal Rate of Return (IRR). Pada produksi Maggot Kering memiliki total biaya sebesar Rp146.700.971, dengan jumlah produksi 27.900 unit/tahun menghasilkan HPP sebesar Rp5.258, ditetapkan harga jual sebesar Rp8.000 diperoleh BEP (unit) sejumlah 5.482/tahun dan BEP (rupiah) sebesar Rp43.858.064/tahun, B/C ratio diperoleh nilai 1,35 yang terhitung layak karena nilai B/C 1, NPV diperoleh Rp127.806.939 dengan PP selama 11 bulan yang dikatakan layak karena NPV 0 dan PP kurang dari umur proyek, serta nilai IRR didapatkan 23,41% yang dinilai layak karena IRR nilai MARR. Pada produksi Tepung Maggot memiliki total biaya sebesar Rp144.620.997, dengan jumlah produksi 22.320 unit/tahun menghasilkan HPP sebe.sarRp6.479, ditetapkan harga jual sebesar Rp10.000 diperoleh BEP (unit) sejumlah 4.414/tahun dan BEP (rupiah) sebesar Rp 44.143.697/tahun, B/C ratio diperoleh nilai 1,36 yang terhitung layak karena nilai B/C 1, NPV diperoleh Rp120.270.005 dengan PP selama 11 bulan yang dikatakan layak karena NPV 0 dan PP kurang dari umur proyek, serta nilai IRR didapatkan 22,37% yang dinilai layak karena IRR nilai MARR.
Adapun saran terkait pemanfaatan limbah organik berbasis budidaya maggot BSF di PT BJBR dan PT BJS sebagai berikut:
1. Penelitian selanjutnya dapat difokuskan pada analisis Life-Cycle Assessment (LCA) yang lebih mendalam dengan tujuan mengevaluasi siklus hidup produk dalam konteks dampak lingkungan.
2. Perusahaan lebih memperhatikan lagi terkait aspek teknis agar tidak berpengaruh kepada aspek ekonomi
3. Perlu dilakukannya penelitian mengenai analisis ekonomi lebih lanjut terkait aspek pemasaran, dan marketing.