Sebagai negara kepulauan, wilayah laut Indonesia memiliki fungsi, makna, serta peranan yang sangat penting dalam kaitan dengan bagaimana wilayah laut berserta sumber daya yang terkandung di dalamnya dapat dikelola secara baik dan efisien serta berkelanjutan sejalan dengan tujuan pembangunan nasional. Sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan salah satu sumberdaya yang penting bagi hajat hidup masyarakat dan dapat dijadikan sebagai penggerak utama perekonomian nasional.
Hal ini didasari pada kenyataan bahwa pertama, Indonesia memiliki potensi sumberdaya pesisir dan pulau- pulau kecil yang tinggi dengan karakteristik wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang beraneka ragam. Kedua, sebagian besar kegiatan industri pada kabupaten/kota berada di wilayah pesisir. Ketiga, kegiatan industri di wilayah pesisir memiliki keterkaitan (backward and forward linkage) yang kuat dengan industri-industri lainnya. Keempat, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan basis sumberdaya lokal bagi industri perikanan atau dikenal dengan istilah resources-based industries dan Kelima, wilayah pesisir di Indonesia memiliki keunggulan (comparative advantage) yang tinggi sebagaimana dicerminkan dari potensi sumberdaya perikanannya.
Kesadaran akan tanggung jawab pengelolaan wilayah laut di dasarkan pada kenyataan bahwa potensi sumber daya laut dan pesisir merupakan aset bangsa yang potensial bagi pengembangan wilayah dan juga menyimpan berbagai permasalahan yang signifikan. Dilain pihak, pemanfaatan potensi pesisir dan pulau-pulau kecil masih belum optimal akibat perhatian dan kebijakan Pemerintah selama ini yang lebih berorientasi ke darat (mainland).Kegiatan pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil menghadapi berbagai ancaman baik dari aspek ekologi yaitu terjadinya penurunan kualitas lingkungan, seperti pencemaran, perusakan ekosistem dan penangkapan ikan yang berlebihan (overfishing) maupun dari aspek sosial yaitu rendahnya aksesibilitas dan kurangnya penerimaan masyarakat lokal.
Besarnya potensi pesisir dan pulau-pulau kecil seringkali tidak berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang ada di dalamnya. Nelayan seringkali dipandang sebagai salah satu kelompok masyarakat yang identik dengan kemiskinan. Anggapan ini patut direnungkan bersama. Pada tahun 2008, tercatat keberadaan masyarakat pesisir di Indonesia, tersebar di 10.639 desa pesisir, dimana masyarakat miskinnya berjumlah kurang lebih 10 juta jiwa, terdiri dari 7,8 juta penduduk miskin dan 2,2 juta penduduk sangat miskin. Tahun 2011, masyarakat miskinnya bertambah menjadi 14,7 juta penduduk. Hal tersebut menimbulkan sebuah ironi bagi kita semua karena bagaimana bisa, sebuah negeri dengan kekayaan laut yang begitu melimpah malah tidak memberikan kesejahteraan bagi para nelayan dan masyarakat pesisir? Apa sebenarnya yang menjadi masalah?
Kemiskinan di wilayah pesisir sering pula memicu sebuah lingkaran setan karena penduduk yang miskin sering menjadi sebab rusaknya lingkungan pesisir, namun mereka pula yang akan menanggung dampak dari kerusakan lingkungan. Dengan kondisi tersebut, tidak mengherankan jika praktek perikanan yang merusak masih sering terjadi di wilayah pesisir. Mengingat kenyataan bahwa struktur usaha perikanan tangkap sejauh ini memang masih didominasi oleh usaha skala kecil. Sebagian besar nelayan yang tergolong miskin merupakan nelayan tradisional yang memiliki keterbatasan kapasitas penangkapan baik penguasaan teknologi, metode penangkapan, maupun permodalan.Kategorisasi nelayan tradisional dan modern ini luput dari pertimbangan pemerintah dalam memformulasikan kebijakan yang mengatur masyarakat nelayan. Pada era Kementerian Kelautan dan Perikanan yang baru pada Pemerintah Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 2/Permen-KP/2015 tentang larangan penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela dan pukat tarik yang kemudian direspon oleh nelayan dalam bentuk protes. Masalahnya, Peraturan Menteri itu bukan hanya membatasi penggunaan pukat, namun juga berpotensi terhadap hilangnya mata pencaharian nelayan tradisional yang sangat bergantung pada penggunaan peralatan penangkapan ikan. Pendapatan mereka dari kegiatan pengeboman dan penangkapan ikan karang dengan pukat masih jauh lebih besar dari pendapatan mereka sebagai nelayan. Dengan besarnya perbedaan pendapatan tersebut di atas, sulit untuk mengatasi masalah kerusakan ekosistem pesisir tanpa memecahkan masalah kemiskinan yang terjadi di wilayah pesisir itu sendiri.
Secara umum, kemiskinan masyarakat pesisir disebabkan oleh tidak terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat, antara lain kebutuhan akan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, inftastruktur. Di samping itu, kurangnya kesempatan berusaha, kurangnya akses terhadap informasi, teknologi dan permodalan, budaya dan gaya hidup yang cenderung boros, menyebabkan posisi masyarakat miskin semakin lemah. Pada saat yang sama, kebijakan Pemerintah selama ini kurang berpihak pada masyarakat pesisir sebagat salah satu pemangku kepentingan di wilayah pesisir.
Untuk mengatasi permasalahan kemiskinan masyarakat pesisir di Indonesia, paling tidak sudah terdapat lima pendekatan pemberdayaan masyarakat pesisir yang baru saja diimplementasikan. Â Kelima pendekatan tersebut adalah: (1) penciptaan lapangan kerja alternatif sebagai sumber pendapatan lain bagi keluarga, (2) mendekatkan masyarakat dengan sumber modal dengan penekanan pada penciptaan mekanisme mendanai diri sendiri (self financing mechanism), (3) mendekatkan masyarakat dengan sumber teknologi baru yang lebih berhasil dan berdaya guna, (4) mendekatkan masyarakat dengan pasar, serta (5) membangun solidaritas serta aksi kolektif di tengah masyarakat. Kelima pendekatan ini dilaksanakan dengan memperhatikan secara sungguh-sungguh aspirasi, keinginan, kebutuhan, pendapatan, dan potensi sumberdaya yang dimiliki masyarakat.
Menurut saya kebutuhan lain yang selama ini tidak dipenuhi yaitu kurang dilibatkannya masyarakat pesisir dalam pembangunan. Keterlibatan yang dimaksudkan di sini adalah keterlibatan secara total dalam semua aspek program pembangunan yang menyangkut diri mereka, yaitu sejak perencanaan program, pelaksanaan, serta evaluasi. Dengan kata lain, kekurangan yang dimiliki selama ini yaitu tidak atau kurang partisipasi masyarakat dalam pembangunan diri mereka sendiri. Padahal partisipasi itu begitu perlu karena bagaimanapun juga, dan dengan dengan segala jenis upaya, tidak ada seorang miskinpun yang bisa keluar dari kemiskinannya dengan bantuan orang lain, bila dia tidak membantu dirinya sendiri. Di Sri Lanka, misalnya, pembangunan untuk mengatasi kemiskinan nelayan begitu signifikan hasilnya karena prinsip program pembangunan yang dianut adalah helping the poor to help themselves (BOBP, 1990).
Referensi :