Mohon tunggu...
Rohmatul Ummah
Rohmatul Ummah Mohon Tunggu... Guru - Guru

Hiduplah seperti garam, secukupnya saja

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kami Rindu Saat Itu

9 Juli 2020   13:37 Diperbarui: 9 Juli 2020   13:34 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berawal dari sebuah sekolah yang MEWAH (mepet sawah) di sebuah pedesaan kami bertemu. Sekolah tempat kami menyalurkan kemampuan kami sebagai seorang pendidik. Kami  berjuang bersama tanpa memperdulikan jumlah finansial yang kami terima. Mempunyai murid pandai tanda sukses kami dan ketemu wajah - wajah teman sungguh sudah merupakan hal yang terbahagia bagi kami. Kala itu satu ruangan terbagi menjadi beberapa bagian dengan sekat berupa lemari. Ada ruang TU, ruang guru tempat kami beristirahat dan sekedar berceloteh dengan teman, dan ruang kepala sekolah.  Ruang guru hanya terdiri dari sebuah meja panjang ukurang kurang lebih 1,5 m x 1 m dan dua buah bangku kayu panjang ukuran 1,5 m x 30 cm. Kondisi ini sama sekali bukanlah kendala bagi kami untuk berjuang, apalagi saat itu kami semua masih darah muda. Saya baru saja lulus SMA, beberapa teman sudah sarjana, namun sebagian besar dari kami masih  belum menikah, termasuk Bapak Kepala Sekolah.

Canda tawa kami tercurah setiap hari, serasa dunia ini isinya hanya kami saja. Camilan seadanya, sekedar opak, pisang goreng, weci, tahu isi dan segelas teh cukup untuk mengganjal perut sampai siang. Berangkat ke Sekolah dengan sepeda pancal adalah hal yang biasa. Debu jalanan desa di musim kemarau sudah jadi makanan sehari-hari, apalagi jika ada kendaraan yang lewat,debunya sampai menghalangi pandangan.   Setiap Idul Fitri kami akan selalu berkeliling ke rumah masing - masing dengan berombongan.    

Tahun demi tahun berlalu, ada hal yang harus diperjuangkan untuk hidup masing - masing. Ada kepentingan yang harus didahulukan. mungkin keluarga, mungkin karier atau lainnya. Kami pun mulai terpisah. Ada yang karena tuntutan ekonomi sampai harus ke negeri jiran. Ada yang karena sibuk dengan urusan yang lain dipaksa untuk  meninggalkan sekolah. Saya salah satu yang harus pergi dari sekolah itu.  Namun kepergian kami dari sekolah itu sama sekali  tidak mengurangi rasa cinta kami kepada lembaga. Kami bisa mengajar berawal dari tempat itu, mana mungkin kami lupakan.

 Setahun, dua tahun, tiga tahun dan bertahun - tahun kami terpisah. Asyik bergelut dengan kehidupan kehidupan masing - masing. Ada yang menjadi Kepala Sekolah, Kepala Desa, guru di sekolah lain dan ada pula yang masih tetap jadi guru di sekolah itu. Saya sendiri mengabdi di sekolah  itu 15 tahun.

Hari itu kami bertemu...sungguh kebahigiaan yang tiada terhingga. Meskipun reuni sederhana, tapi kami menganggapnya luar biasa. Takdir mempertemukan kami kembali. Serasa berada di masa-masa itu lagi. Mencarger darah muda kami, yang kini mulai menua. 

Terpisah dengan teman - teman 12 tahun, hari itu kami berinisiatif untuk bertemu. Sekedar mengulang kebersamaan yang dulu pernah kami alami. Terharu ketika membaca status facebook teman kami dalam tulisannya :  "Seandainya waktu mampu diputar kembali 20 tahun yang lalu, kebersamaan, keikhlasan, kharismatik dan kesederhanaan tetap terlihat. Meskipun sekarang tidak bersama dalam menggapai asa, namun pemikiran serta angan - angan tetap terjalin. Semoga beliau - beliau pejuang, jago kapuk terus berkibar dan sehat selalu. Aamiin".

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun