Mohon tunggu...
Rohmat Sulistya
Rohmat Sulistya Mohon Tunggu... Dosen - menulis, karena ingin.

Kesuksesan terbesar adalah mendapat hidayah.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Poros Tengah, Perlukah?

21 April 2014   21:22 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:23 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada erupsi Merapi pada tahun 2010 terjadi banjir lahar dingin disertai batu-batu besar seukuran mobil yang menyapu permukiman disekitar Kali Putih, sebuah sungai di perbatasan Jogjakarta dan Magelang. Anehnya aliran pasir dan batu tersebut tidak mengikuti alur sungai yang terlihat saat ini, tetapi justru menabrak sawah dan permukiman  penduduk. Padahal pada jaman Belanda, erupsi merapi yang mengakibatkan banjir lahar dingin besar tidak sampai merusak persawahan maupun permukiman penduduk. Mengapa hal itu bisa terjadi? Ternyata manusia menentang apa yang telah dikehendaki alam dengan menyatukan dua alir sungai (Kali Putih dan Kali Druju) dan membelokkan serta merekayasanya menjadi alur sungai buatan pada masa orde baru pasca 1968. Dan akibatnya material pasir dan batu yang meluncur dari puncak Merapi tetap mencari jalurnya sendiri.

Pada sidang istimewa MPR tahun 1999 setelah pemilu pertama pascareformasi, terjadi rekayasa politik atau manuver politik untuk mengganjal Megawati sebagai ketua partai pemenang pemilu (lebih dari 30% perolehan suara nasional) agar tidak menjadi presiden. Pada saat itu sangat dimungkinkan hal itu terjadi karena presiden belum dipilih langsung dan MPR lah yang memilih presiden melalui wakil-wakil rakyat di MPR dalam sidang istimewa. Poros Tengah adalah kekuatan politik sangat penting di MPR yang dipelopori oleh Amien Rais sehingga mampu memunculkan Gus Dur sebagai presiden dengan serangkaian drama politik yang unik dan menarik, sekaligus menenggelamkan Megawati sebagai calon presiden dari partai pemenang pemilu dan juga menolak Habibie sebagai calon presiden petahana.

Dan sejarah mencatat Poros Tengah juga yang akhirnya memakzulkan Gus Dur sebagai presiden setelah kurang dari 2 tahun memimpin dan akhirnya mentahtakan  Megawati sebagai  presiden ke-2 di era pascagerakan reformasi. Aliran sungai akhirnya menemukan jalurnya kembali.

Jikalau kita berasumsi bahwa hasil pemilu 2014 adalah pencerminan kehendak rakyat, maka sejatinya rakyat menghendaki pemimpin dari partai pemenang pemilu. Bukankah lebih baik jika mendukung Jokowi saja, presiden dari Golkar, atau Prabowo saja. Argumen ini mungkin saja dapat dipatahkan dengan berbagai pemikiran yang bisa jadi masuk akal. Misalnya 20% rakyat mendukung Jokowi maka 80% mendukung ‘bukan Jokowi’. Atau 12% mendukung Prabowo maka 88% mendukung ‘bukan Prabowo’. Tetapi etika politik mesti dikedepankan. Bagaimana seandainya calon presiden yang diusung berasal dari partai dengan perolehan kecil atau bahkan dari luar partai yang tiba-tiba dimunculkan. Apakah itu tidak sangat membingungkan rakyat dan memaksa rakyat untuk berpikir keras terhadap sesuatu yang tidak harus rakyat pikirkan?

Hasil pemilu legislatif sangat bisa ditafsirkan secara kompleks maupun sederhana. Bagi rakyat awam yang berpikir simple mereka memilih partai karena memilih figur atau bahkan sudah militan dengan partai itu, masa bodoh dengan capres yang akan diusung. Bagi elit politik, hasil pemilu legislatif bisa diolah dan dijungkirbalikkan, sehingga memunculkan opini yang mencengangkan.

Fenomena Poros tengah pascapemilu 2014 ini, seperti tahun 1999 berisi partai-partai Islam atau berbasis massa Islam. Tepatkah pengkategorian semacam ini? Di tahun 50-an dikala orang-orang partai merupakan orang-orang militan dan sejalan ideologi partai tempat mereka bernaung mungkin kategori partai Islam atau partai berbasis massa Islam bisa saja tepat. Tetapi lihatlah fenomena partai saat ini. Partai hanyalah semacam angkot dimana orang bebas keluar masuk asal membayar ongkos. Caleg-caleg hanya menumpang kendaraan untuk mencapai tujuannya dan belum tentu dia seideologi dengan partai. Bahkan mungkin partai juga tidak peduli lagi dengan ideologinya sendiri. Karena tujuan utama mereka –tidak berbeda dengan perusahaan saat ini- berjualan dan mencari untung. Jadi sangatlah tidak etis apabila poros tengah seakan-akan mengatasnamakan aspirasi dari umat Islam.

Jika benar poros tengah berjuang untuk memperjuangkan kepentingan ummat tentulah koalisi mereka tidak hanya bersifat responsif dan seakan-akan bermuatan syahwat kekuasaan semata. Koalisi mereka pasti terbentuk sebelum pemilu bahkan pada pilkada-pilkada dan berjalan sepanjang tahun. Umat Islam Indonesia tentunya juga tidak menginginkan gerakan-gerakan sesaat yang terkadang menafikan kehendak rakyat sebenarnya.

Kalaupun banyak wacana berkembang bahwa Jokowi kurang matang secara politik, nasionalismenya dipertanyakan, hanya akan jadi presiden boneka terus kita maunya apa. Sementara realitas politik, partai pengusung Jokowi menang? Kalau tidak setuju, kenapa tidak menggalang kekuatan untuk menyadarkan rakyat jauh sebelum pemilu? Kalau Prabowo tidak bersih dari unsur orde baru atau cacat dalam penegakan HAM terus kita juga mau ngapain? Apakah kalau Poros Tengah memunculkan figur lain, mereka dapat menjamin bahwa calon presiden mereka nasionalis sejati, tidak distir Amerika, bersih, jujur, visioner, menyejahterakan,dan tidak boneka? Kalau mereka dapat menjamin, saya pun setuju manuver itu. Sejarah mencatat sosok yang diperjuangkan poros tengah yang lalu; merupakan sosok yang tidak lebih baik dari sosok yang mereka ganjal. Buktinya Megawati bisa juga jadi presiden dengan prestasi ‘wajar’. Lalu apakah yang diperlukan bangsa ini terhadap sosok calon presiden agar Indonesia maju?

Saya tidak anti figur diluar capres mainstream bahkan kalau memungkinkan malah bagus dimunculkan sebanyak-banyaknya. Tetapi sistem politik kita belum mengijinkan calon presiden independen. Jika suatu saat terwujud maka manuver-manuver ini menjadi gerakan yang biasa-biasa saja, bahkan mungkin tidak menarik. Apakah tidak lebih elegan, kubu-kubu diluar kutub-kutub PDIP, Gerindra, atau Golkar menjadi oposisi saja seperti PDIP pada pemerintahan lalu? Jika merunut pada kekhawatiran beberapa tokoh pada capres Jokowi atau Prabowo; maka pemerintahan di masa mendatang harus diimbangi kekuatan yang cukup kuat. Kekuatan ini tidak diperlukan untuk terus menerus merecoki kelangsungan pemerintahan, tetapi mengontrol apabila kebijakan mereka lebih pro-asing, menjual asset  bangsa, dan menyengsarakan rakyat.

Saya mengagumi Amien Rais sebagai seorang yang berperan penting dalam membuka kebebasan setelah sekian lama berada dalam keterkungkungan orde baru tetapi untuk agenda poros tengah yang hanya sesaat apalagi untuk mengingkari kehendak rakyat lewat hasil pemilu saya kurang sependapat. Apabila komunikasi politik partai-partai menengah bawah tersebut menjadi agenda besar untuk menyelamatkan kepentingan bangsa secara kontinyu maka hal ini patut didukung. Tapi, mungkinkah?  Sebagai akhir tulisan, saya mensinyalir Indonesia tetap akan berada pada kondisi saat ini sampai didapatkan sosok yang berani mati memberantas korupsi. Karena masalah bangsa ini cuma satu: korupsi. Ya, korupsi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun