Betapa teknologi telah merubah sistem dan tatanan sosial manusia secara masif. Lihat saja, yang tampak di depan mata kita saat ini yakni media-media sosial, media-media chating dengan fitur andalannya masing-masing telah memberikan efek domino positif dan negatif. Saya menulis bagian negatif.
Hubungan vertikal (manusia satu dengan manusia lain) mulai dari keluarga, sahabat dan teman sejatinya ya di dunia nyata. Kita tidak bisa begitu saja menafikkan hal itu. Dalam sebuah status di sebuah sosial media, saya pernah menulis kalau Social Media = Drama Queen. Sosial media (termasuk media chatting) adalah sedau gurau belaka. Orgasme tertinggi mainan sosial media adalah: Menemukan teman-teman lama, menambah jejaring serta berbagi informasi-informasi positif.
Kemudian kalau kebetulan saya menemukan hal-hal yang sensitif, yang konteksnya menyinggung dan melecehkan SARA (Suku, Agama dan Ras), buat saya itu adalah tai kucing. Karena menghargai orang lain, apapun latar belakang mereka, atau keyakinan apapun yang mereka anut, adalah naluri.
Bawaan lahir. Tidak perlu dimasukkan secara heboh dalam kurikulum-kurikulum pendidikan. (Atau perlu? Kalau di negara semacam Indonesia yang secara sistem belum kuat menopang masalah moral dan amoral ini, saya akan melunak dengan mengatakan kalau sepertinya perlu. Dengan catatan yang dibahas jangan cuma hal-hal semacam “menyeberangkan orang tua di jalan”). Masih ingat Pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) kan? Istilah kekiniannya: Pendidikan Kewarganegaraan alias PKn.
Tidak semua hal layak dibagikan, apalagi di sosial media, karena bisa jadi hal itu hanya akan merendahkan harga diri si pemilik akun. Banyak etika tidak tertulis yang berlaku di masyarakat, salah satunya ya ini. Pantas atau tidak pantas memang tidak punya definisi khusus, tapi saya pikir kalian cukup waras untuk memilih mana yang layak dibagikan dan mana yang tidak.
Titik terlucu kedua, saya sering menemukan teman yang bilang begini di group chatting: “Sepi amat grup ini?” Hahahaha. Rasa-rasanya saya pengen mencet emoticon tertawa terbahak-bahak dan emoticon nangis sekaligus. Kenapa? Miris. Ayolah kawan, hidup sesungguhnya itu di dunia nyata. Teman-teman kalian adalah sosok-sosok yang punya nama asli, yang berbalut tulang dan daging, bukan sosok-sosok yang senantiasa cemas kalau kuota di smartphone-nya habis dan memelototi smartphone dimanapun dia berada.
Kehilangan teman gara-gara kurang bijak memanfaatkan smartphone dan sosial media, buat saya adalah kekalahan moral manusia. Kerusakan tatanan sosial. Kekalahan pada teknologi. Seolah-olah saya pengen kembali ke masa kecil, tahun 90-an, dimana main gundu, atau ramai-ramai main ke sungai dan nyolong pepaya adalah hal yang paling membahagiakan di dunia.
Saya mutlak lebih memilih halaman sosial media saya bersih dari orang-orang yang terlihat lemah atau penuh kebencian. Saya memilih halaman sosial media saya penuh dengan teman-teman saya gojek kere apa adanya, lucu-lucuan, elegan menyimpan sisi religiusnya, tidak menggurui, tidak reaksioner, tidak fanatik dengan orientasi politiknya, tidak kopi-paste membagikan broadcast-broadcast nggak jelas, dan tidak jadi ustad dadakan.
Depok, 4 Mei 2017