Menjalankan tugas negara sebagai pengawas Ujian NAsional (UN) bagi siswa-siswi SMA/MA/SMK sebenarnya terasa biasa, seperti tahun-tahun lalu. Hanya, tempat tugas tahun ini berpindah, yaitu di SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta. Dengan lokasi yang khas Yogya, karena berada di jantung daerah Kotagedhe, sekolah ini terasa istimewa. Meskipun Kotagedhe bukan kota yang asing bagi saya, tetapi setiap kali memasuki gang-gangnya, saya selalu menemukan sensasi tersendiri.
Pada hari pertama mengawas, saya langsung mendengar kisah pengawas yang telah berjaga di kelas inklusi, yaitu kelas yang diisi oleh siswa istimewa. Ada 3 orang tuna netra dan seorang dengan sebutan khusus yaitu low vision. Saya sudah lama mendengar sekolah ini menerima siswa inklusi. Saya sempat berpikir bahwa sekolah ini bukan sekolah biasa, karena menerima siswa inklusi. Pikir saya, pasti managemen sekolah harus agak sedikit ‘repot’ melayani siswa-siswa berkebutuhan khusus ini.
Tidak hanya itu, sekolah ini juga sibuk menerima tamu-tamu istimewa. Yang saya maksud dengan tamu-tamu istimewa adalah wartawan, fotografer, cameramen plus pejabat-pejabat yang terkait dengan penyelenggara UN. Kepala Dinas dari Kota Yogyakarta hingga Propinsi, Rektor UNY, bahkan pejabat dari Jakarta-pun hadir. Rupanya para wartawan juga tahu bahwa dengan meliput sekolah ini, mereka akan mendapat berita.
Sampai akhirnya saya sendiri mendapat giliran mengawas di ruang S-29, ruang ujian yang hanya diisi oleh 4 siswa inklusi. Pada ujian mata pelajaran bahasa Inggris, pagi tadi saya mendengar suara rekan guru membacakan soal kepada peserta ujian yang kasus low vision. Wah, saya tidak bisa membayangkan repotnya membacakan soal-soal teks bahasa Inggris yang cukup panjang. Belum lagi teks non-linier yang biasanya disertai latar gambar, misalnya iklan hotel, perumahan, lembaga pendidikan dan lain-lain. Dan ada juga sesi listening yang juga ada gambar-gambarnya. Pasti lumayan repot bagi rekan saya untuk member deskripsi gambar bagi siswa low vision ini. Alhasil, sayapun menyiapkan diri dan mental saya memasuki ruang S-29. Mata pelajaran yang diujikan terakhir bagi siswa program Ilmu Sosial adalah Ekonomi. Pikir saya, lumayan juga nih karena ujian ekonomi pasti akan ketemu banyak angka, table, jurnal dan hitungan-hitungan yang lumayan rumit.
Menerima amplop dari panitia, saya sudah merasa ‘aneh’ karena ada dua amplop berbeda. Satu amplop cukup tebal setebal amplop buat ruang ujian dengan jumlah 20 siswa. Pikir saya, ini kan hanya buat 3 siswa, kok amplopnya tebal.Memang yang satu lagi tidak terlalu tebal. Lalu, masuklah saya dengan partner pengawas memasuki ruangan S-29.
Di dalam ruang S-29, terdapat 3 bangku yang berjajar diduduki oleh 3 siswa tuna netra. Di pojok sebelah kanan agak ke belakang ada 1 siswa low vision. Saya berusaha menenangkan hati saya melihat suasana kelas ini. Saya tahu bahwa mereka belum beristirahat dari mengerjakan ujian bahasa Inggris sebelumnya. Saya perkirakan bahwa mereka paling hanya berhenti sekitar 10 menit paling lama. Tetapi mereka menyambut kedatangan pengawas ujian berikutnya dengan wajah yang tidak tampak lelah. Mereka berdiri menyambut kami datang dan memberi salam. Dada saya tiba-tiba sesak hingga hampir tidak mampu menyambut salam mereka. Sikap mereka menunjukkan motivasi yang tinggi untuk segera mengerjakan ujian berikutnya. Mereka sama sekali tidak menampakkan bahwa ada yang aneh dengan mereka. Mereka seperti pejuang yang siap bertempur, bukan prajurit yang mesti dikasihani.
Saya baru tahu bahwa soal untuk siswa tuna netra cukup tebal sehingga meski hanya buat 3 orang saja, amplopnya tebal. Sedangkan buat siswa low vision yang istimewa adalah huruf-huruf ditulis dengan font yang besar dan seharusnya tebal. Di ruang itu ada seorang guru pendamping yang mendampingi secara tetap  disamping para pengawas yang berjaga secara bergiliran. Guru pendamping ini diperlukan karena guru pengawas tidak memahami kebutuhan khusus mereka.
Akhirnya saya mengerti bahwa ternyata lebih mudah mengawasi siswa tuna netra dibanding dengan siswa low vision. Siswa tuna netra lebih mandiri dalam membaca soal ujian karena mereka mendapatkan soal dengan huruf Braile. Secara teknis, mereka juga mandiri menjawab soal dan hampir tidak ditemui kesulitan dalam menjawab soal.
Sementara, siswa low vision justru yang cukup mengalami kesulitan secara teknis. Low vision didefinisakan sebagai kemampuan mata untuk melihat sebagian dan merupakan salah satu bentuk gangguan penglihatan yang tidak dapat dibantu dengan menggunakan kacamata. WHO sendiri menyatakan bahwa low vision berbeda dengan buta. Karena low vision adalah keadaan tidak melihat sebagian. Justru keadaan inilah yang menjadikan suasana UN di ruang S-29 mengharu-birukan hati saya. Saya akhirnya membawa soal yang bertuliskan font yang cukup besar buat siswa low vision. Tetapi di dalam amplop itu ternyata tidak hanya berisi satu soal, tetapi ada satu lagi dengan ukuran biasa. Kata guru pendamping, soal yang satu lagi yang dengan ukuran biasa untuk guru pengawas yang akan mendampingi siswa low vision dengan membantu membacakan. Oh ini rupanya sistem kerjanya, siswa low vision akan membaca dengan soal dengan font besar dengan didampingi guru  pengawas.
Saya mendekat, memberi salam dan menanyakan apakah sudah siap mengerjakan soal. Dia menjawab dengan ramah bahwa dia sudah siap. Saya segera mencoba menguasai situasi dengan beramah tamah sebentar sambil saya katakana ke guru pendamping untuk mengajari saya apa dan bagaimana saya harus membantu siswa ini. Guru pendamping akhirnya memberikan instruksi kepada saya untuk membacakan soal. Beberapa kali saya harus mengulang urutan ketika membacakan soal. Saya pikir saya akan membacakan pertanyaan soal dulu sebelum membacakan pernyataan dalam soal karena cara ini akan membantu dia lebih mudah memahami soal. Itupun saya pikir juga tidak akan terlalu mudah bagi siapa saja untuk langsung menjawabnya.
Disinilah pikiran saya berkecamuk luar biasa ketika menyadari betapa siswa low vision ini harus melalui sebuah proses yang luar biasa. Untuk menjawab sebuah soal, dia tidak mungkin hanya cukup mendengarkan suara saya. Dia perlu melakukan konfirmasi atas pilihan-pilihan jawabannya dengan membaca ulang pernyataan dalam soal hingga beberapa kali baru seseorang bisa menemukan jawaban yang diyakini benar. Ada sekali dua kali dia meminta saya mengulang pilihan jawaban yang mendekati, namun dia akhirnya ada saat perlu merasa harus membaca sendiri. apalagi jika soalnya berupa hitungan angka-angka yang kompleks. Saya harus terdiam lama dengan dada sesak menyaksikan pemandangan itu. Kertas soal dengan font yang besar itu rupanya kurang ideal buat siswa ini. Dia perlu font yang lebih besar dan hitam (bold). Saya perkirakan dia harus mendekatkan tulisan pada kertas itu ke dekat matanya sekitar 5 cm sehingga wajahnya menyentuh kertas soal. Sambil dia menggerakkan kertas ke kanan dan kiri.
Meskipun tidak terlalu sempurna, panitia UN sudah maksimal menyiapkan instrument yang dibutuhkan sesuai dengan kebutuhan setiap siswa, baik yang normal maupun yang berkebutuhan khusus. Meskipun media mengkritik pelaksanaan UN di sana-sini, saya pribadi merasa bahwa usaha seperti ini luar biasa.
Pengalaman hari itu sungguh luar biasa bagi saya. Saya merasa Tuhan sangat lihai memperlihatkan dirinya lewat anak ini. Jika kita dengan kondisi normal saja, kita masih perlu langkah, cara, dan strategi buat menguasai dan mengerjakan soal-soal ujian ini, anak dengan kebutuhan khusus ini harus dua kali lipat usahanya dari kita. Maka, Â nikmat Tuhan yang manakah yang hendak kita dustakan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H