Sepakat dengan aturan dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) yang dimuat Jawa Pos pada tanggal 9 Desember 2013 yang menyatakan bahwa para PNS tidak boleh berpolitik praktis atau dengan kata lain bersikap netral. Memang PNS adalah pelayan publik, sehingga akan menjadi dualisme loyalitas antara harus menjadi pengusung kepentingan publik atau menjadi pengusung kepentingan parpol. Tidak etis jikalau kepentingan rakyatlah yang dikorbankan demi kepentingan segelintir orang.
Setiap pelayan publik adalah bagian dari masyarakat dan sudah menjadi haknya untuk turut berpartisipasi dalam dunia politik atau pemerintahan, sebagaimana telah diatur oleh UUD 1945 pada pasal 27 ayat 1 dan pasal 28. Mereka juga berhak menentukan siapa yang menjadi pemimpin terbaik untuk dirinya dan masyarakat. Mereka juga boleh memilih parpol dan calon pejabat mana yang sesuai dengan prinsipnya. Namun bukan berarti hak itu membuat mereka bebas untuk berpolitik praktis, menjadi pengurus parpol, bahkan turut kampanye politik di institusi tempatnya mengabdi. Bahkan sangat tidak tepat ketika mereka menggunakan kewenangannya sebagai pelayan publik untuk memuluskan kepentingan parpolnya. Karena kembali lagi pada fungsi dan tugas mereka sebagai pelayan publik.
Namun yang perlu digarisbawahi di sini adalah, mereka, para pelayan publik tidak hanya para PNS yang memiliki jabatan yang stratanya sedang-sedang saja, atau tidak memegang jabatan yang stategis saja yang harus bersikap netral. Mereka para pelayan publik, yang memiliki jabatan yang cukup penting dan cukup kuat kewenangannya, meskipun non-PNS, sudah seharusnya juga bersikap netral.
Mereka yang mungkin pada awalnya merupakan kader suatu parpol sudah semestinya mengganti paradigma berpikirnya saat sudah menjadi pejabat publik (presiden, gubernur, bupati, dan sebagainya) dari awalnya mengusung kepentingan dan visi misi parpol menjadi niat yang tulus hanya untuk mengabdi kepada publik (masyarakat). Segala apa yang mereka usahakan selama menjadi pelayan publik hanya lah untuk kesejahteraan masyarakat yang dilayaninya. Bukan sebagai pembawa kepentingan parpol dengan menggunakan fasilitas layanan publik.
Terinspirasi dari teladan yang diberikan oleh beberapa pemimpin Negara lain seperti Presiden Korea Selatan, Park Geun-hye, yang segera melepaskan jabatannya di partai Saenuri setelah resmi dinyatakan sah sebagai presiden, dan yang tidak kalah mengagumkan adalah presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, yang melepaskan jabatan sebagai pimpinan partai Adalet ve Kalkınma Partisi (AKP) setelah sah menjadi presiden dan saat mulai menjadi walikota. Mereka memilih fokus untuk mengabdi pada rakyatnya setelah sah menjadi pejabat publik. Semestinya tak perlu ada studi banding lagi untuk meneladani mereka.
Kami para rakyat kecil yakin parpol-parpol yang ada di Indonesia memiliki sistem pengkaderan yang terstruktur dan baik, sehingga memiliki banyak stok kader yang berkualitas, sehingga kader mereka yang menjadi pejabat publik tak perlu merangkap menjadi pejabat parpol. Harapan kami sebagai bagian dari masyarakat, kelak tak ada lagi pejabat publik yang semestinya menjadi pelayan publik namun justru menduakan kepentingan publik dengan kepentingan parpolnya. Yang pasti masyarakat juga mengharapkan kelak tak ada lagi pejabat publik yang menjadi pengurus parpol, apalagi yang menjadi ketua parpol. Dan tidak ada lagi pejabat publik yang melepas jabatan yang belum semestinya dilepas hanya karena instruksi dari partai.
Pasca Pemilu 2014 ini, hasil sudah mulai nampak. Satu per satu nama-nama Caleg sudah dinyatakan lolos sebagai anggota legislatif yang "semestinya" menjadi wakil rakyat dalam menyampaikan aspirasinya dan menelurkan peraturan-peraturan baru yang menyejahterakan rakyat, bukan malah menyerap uang rakyat. Pekerjaan para Aleg tersebut sudah menumpuk. Banyak undang-undang yang belum dibahas dan belum disahkan. Ada permasalahan rakyat yang belum menemukan solusinya hingga sekarang.
Tingginya angka golput memang tidak dapat dipungkiri, namun masih banyaknya warga masyarakat yang masih mau memilih menunjukkan bahwa rakyat masih percaya bahwa mereka-mereka yang mencalonkan diri itu masih ada yang layak menjadi wakil mereka dalam mengawasi dan mengendalikan jalannya pemerintahan. Sehingga tidak layak jika kepercayaan rakyat ini diselewengkan (lagi) untuk kesekian kalinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H