Indonesia. Lagi-lagi nama FIFA dicatut untuk melegitimasi kebijakan dan keputusan yang akan dilakukan pemerintah terkait renovasi yang akan dilakukan terhadap JIS. Semua atas nama FIFA.Tentu saja hal ini dapat diterima secara logika, pasalnya memang FIFA-lah yang punya gawe tersebut. Sebagai pemilik hajat maka FIFA berhak menentukan persyaratan dan standar yang diinginkan. Sayangnya pernyataan-pernyataan tersebut tak muncul dari FIFA secara resmi. Hanya pernyataan-pernyataan dari PSSI yang mengatasnamakan FIFA.
Terkait polemik renovasi Jakarta International Stadium (JIS) yang semakin panjang dan kusut, Ketua PSSI Erick Thohir memastikan secara tegas, jika FIFA dihadirkan saat ini, maka pasti JIS dicoret dari daftar venue penyelenggaraan Piala Dunia U-17 yang digelar diSementara itu, pihak-pihak yang meyakini bahwa JIS sudah memenuhi bahkan jauh di atas standar FIFA juga tak tinggal diam. Postingan-postingan yang menguatkan keyakinan mereka tersebut terus disuarakan melalui bombarbir di beragam platform sosial media. Mulai dari komentar dan testimoni dari orang dalam negeri hingga luar negeri, pengungkapan data-data konsultan pembangunan JIS, data-data spesifikasi yang ada di JIS, dan perbandingan dengan stadion-stadion sepakbola dunia yang sudah kerap menggelar turnamen-turnamen FIFA.
Sayangnya lagi-lagi ini merupakan review, analisis dan pernyataan sepihak semata. Bukan review atau pernyataan resmi dari FIFA sendiri. Semua berpegang pada kebenaran dan keyakinan masing-masing yang sebenarnya sama-sama zonk. Toh yang akan menilai dan berhak menyatakan layak atau enggak akan kembali kepada FIFA sendiri.
Jadi, solusi atau penyelesaian dari polemik berkepanjangan mengenai layak tidaknya JIS dijadikan venue Piala Dunia Sepakbola U-17 adalah menghadirkan perwakilan FIFA itu sendiri untuk secara resmi memberikan review atas kualitas JIS yang sebenarnya. Dari sini FIFA bisa memberikan rekomendasi secara resmi mengenai apakah JIS layak untuk hajat yang diinginkan, ditolak mentah-mentah atau masih bisa diterima asal direnovasi sesuai standar yang dibutuhkan. Kalau FIFA yang menyatakan secara resmi, semua pihak bisa berkata apa. Mau tidak mau semua harus bisa menerimanya dengan lapang dada.
Apalagi selama ini FIFA dikenal sangat tegas terhadap permasalahan politik. Berulangkali FIFA menunjukkan sikap alergi mereka terhadap adanya intervensi politik dalam kegiatan sepakbola. Menurut FIFA sepakbola seharusnya dijadikan sebagai alat diplomasi untuk persatuan dan kesatuan, bukan dalam kaitannya dengan politik. Ketegasan ini bahkan sudah menjadi jargon FIFA itu sendiri.
Komitmen anti intervensi politik FIFA ini salah satunya bisa dilihat pada Law of the Game FIFA, pasal 5 ayat 4 yang menyatakan bahwa dalam pertandingan sepak bola tidak boleh ada pesan-pesan politik, jargon politik, provokasi politik yang ada di dalamnya, termasuk tidak boleh menyampaikan pesan-pesan politik di kaos pemain maupun dengan cara verbal. Semua sudah diatur dan kalau dilakukan akan ada hukuman yang sangat berat menanti.
Bahkan pengalaman pahit terkait ketegasan FIFA tersebut belum lama dirasakan Indonesia sendiri. Dimana lobi habis-habisan dan luar biasa yang dilakukan Indonesia melalui Ketua PSSI, Menpora bahkan Presiden Jokowi terkait pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia Sepakbola U-20 kemarin gagal total. Padahal Menpora dan ketua PSSI sudah datang dan melobi langsung ke Qatar. Namun semua itu tetap sia-sia.
Tentu saja pengalaman pahit tersebut tak hanya pernah dirasakan Indonesia sendiri. Tercatat telah ada beberapa negara yang juga telah merasakan sanksi FIFA akibat faktor politik atau lainnya. Sebut saja diantaranya: Rusia, Kenya dan Zimbabwe, Afrika Selatan, Yugoslavia, Chile, Kuwait, Meksiko, dan Nyanmar. Â
Sepakbola Rusia disanksi FIFA karena peperangan negara tersebut dengan Ukraina. Kenya dan Zimbabwe dihukum FIFA akibat campur tangan pemerintah atau adanya gangguan dari federasi sepak bola negaranya. Afrika Selatan pernah kena sanksi FIFA pada saat mereka masih menerapkan politik rasial. Dimana saat itu mereka masih melarang tim olahraga memiliki pemain dengan ras campuran dan mewajibkan negara asing yang berkompetisi di Afrika Selatan untuk mengirimkan tim serba putih saja. Yugoslavia pernah dilarang bermain pada turnamen Eropa 1992 dan piala dunia 1994, akibat sanksi PBB. Tekanan tersebut diberikan akibat agresi pemerintah yang didominasi Serbia di Balkan terhadap Republik Bosnia Herzegovina. Kuwait dihukum larangan bertanding melawan Myanmar untuk kualifikasi piala dunia 2018 akibat adanya intervensi pemerintah dalam asosiasi sepak bola Kuwait. Bahkan larangan bertanding Kuwait berlangsung dua tahun lebih.
Setidaknya contoh-contoh di atas mampu meyakinkan kita pada kenetralan FIFA terhadap intervensi politik pada pertandingan sepakbola. Melibatkan FIFA sendiri merupakan pilihan terbaik. Pasalnya penunjukkan Indonesia sebagai tuan rumah piala dunia sepakbola U-17 kali ini memang tidak pada waktu yang tepat. Penyelenggaraan Pemilu 2024 yang akan segera digelar pada Februari 2024 mendatang, mau tak mau akan menyebabkan banyak hal bisa jadi berbau politik. Jadi pelibatan FIFA sebagai pemegang legitimasi tertinggi terkait sepakbola ini bisa dijadikan solusi akhir yang mau tidak mau harus diterima oleh para pihak yang berseberangan pendapat.
Yakinlah bahwa FIFA memang bisa bersih dari intervensi politik, meskipun mereka (FIFA) menyadari bahwa hal itu tidaklah mudah. Seperti yang termaktub pada Surat FIFA kepada 32 peserta Piala Dunia di Qatar pada tahun 2022 kemarin.