Entahlah, sebagian orang menilai ini kabar baik sedangkan sebagian lainnya menilai ini sebagai sebuah kabar buruk. Setelah beberapa waktu lalu Presiden Joko Widodo (Jokowi) menghimbau bahwa masyarakat harus mulai bersiap untuk berdamai dengan Covid-19, maka selanjutnya pemerintah bersiap untuk memulai diberlakukannya aktivitas baru dibawah payung gerakan #NewNormal atau Kenormalan Baru.
Rencana pemberlakukan protokol #NewNormal atau kenormalan baru yang akan mulai diterapkan oleh pemerintah tersebut segera menimbulkan sikap pro dan kontra di kalangan masyarakat. Masyarakat kembali terfragmentasi dalam dua golongan yang mendukung maupun yang menolak pemberlakukan protokol #NewNormal tersebut.
Mereka yang mendukung berdasarkan alasan bahwa pandemi Covid-19 ini akan berlangsung lama. Pasalnya kecepatan virus corona Covid-19 dalam bermutasi menyebabkan pembuatan vaksin dan obat yang tepat sulit untuk bisa didapatkan dalam waktu yang relatif cepat. Ada prediksi upaya laboratorium untuk membuat vaksin Covid-19 tersebut paling cepat bisa memakan waktu 2 tahunan. Karena itu muncul pertanyaan apakah selama kurang lebih dua tahun tersebut kita, masyarakat maupun negara akan mampu bertahan menghadapi tuntutan dan kebutuhan hidup yang semakin berat.
Selain dampak kesehatan, pandemi Covid-19 ini juga menyebabkan dampak krisis perekonomian. Dan krisis perekonomian ini dipandang jauh lebih menakutkan daya hancurnya dibandingkan dengan Covid-19 itu sendiri. Jika krisis perekonomian sampai kepada taraf kritis maka situasi chaos tak bisa dihindarkan lagi. Karena itu solusi pemerintah untuk segera menerapkan protokol #NewNormal atau Kenormalan Baru perlu didukung dan diapresiasi. Bila masyarakat mulai berani beraktivitas kembali maka roda perekonomian akan mulai bergerak kembali. Berjalan beriringan dengan upaya medik dalam menemukan vaksin dan obat yang paling tepat untuk virus corona Covid-19 sekarang.
Ancaman kembali meningkatnya korban terjangkit Covid-19 mungkin saja akan mencuat kembali. Namun hal itu akan lebih baik daripada kita semakin tak berkutik karena belum lepas dari Covid-19 tetapi ditambah dihajar dengan krisis ekonomi. Istilahnya sudah jatuh tertimpa tangga lagi.
Ada teori lain yang menyatakan bahwa pemberlakuan #NewNormal juga akan menjadi salah satu solusi akan munculnya herd immunity (kekebalan komunitas). Karena makin banyak orang yang pernah terjangkit virus corona Covid-19, maka akan banyak orang juga yang memiliki imunitas atau kekebalan terhadap virus ini. Dengan pemberlakuaan #NewNormal maka jumlah mereka yang terinfeksi mungkin akan semakin tinggi. Hal ini juga memunculkan semakin tingginya masyarakat yang memiliki imunitas alami terhadap virus ini.
Nah jika mereka yang memiliki imunitas alami semakin banyak maka akan terbentuk kekebalan komunitas (herd immunity) yang berpeluang untuk melumpuhkan virus corona itu sendiri karena tak ada lagi atau makin sedikit yang bisa terinfeksi.Hanya saja teori herd immunity (kekebalan komunitas) tersebut memerlukan pengorbanan yang cukup berat. Pasalnya tidak semua orang memiliki kemampuan untuk bisa menciptakan kekebalan tubuh terhadap virus corona dengan cepat.
Akibatnya bukannya berhasil membentuk kekebalan tubuh tetapi harus jatuh tewas karena kalah terhadap kecepatan infeksi virus itu sendiri. Karena itu herd immunity juga membutuhkan kesiapan sarana dan prasarana fasilitas medis yang mumpuni agar siap membantu jatuhnya korban-korban terinfeksi yang lebih banyak dari sebelumnya.
Alasan Penolakan
Jika mereka yang mendukung pemberlakuan #NewNormal mengamini pentingnya penyelamatan perekonomian dan permisivitas untuk melakukan strategi herd immunity, maka mereka yang menolak pun juga memiliki alasan yang cukup kuat dan layak dipertimbangkan.
Golongan yang menolak pemberlakukan #NewNormal ini juga mengerti bahwa alasan pelaksanaan #NewNormal tersebut adalah strategi penyelamatan perekonomian serta upaya terbentuknya herd immunity. Yang jadi alasan penolakan adalah masalah momentun (timing) yang kurang tepat, budaya (kultur) yang belum disiplin, edukasi pengetahuan yang kurang maksimal dan faktor kemanusiaan yang kurang jadi pertimbangan.