Hilal telah tampak dengan jelas, jadi tak perlu ada perbedaan pendapat lagi. Para ulama dari segala semua golongan pun sepakat dengan keputusan besok adalah 1 Syawal 1441 H. Itu artinya Idul Fitri telah tiba. Hari kemenangan bagi umat muslim telah tiba. Perayaan lebaran boleh dilaksanakan.Â
Terserah bagaimana caranya, yang penting tak boleh melanggar aturan dan protokoler kesehatan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.Karena daerah tempat tinggalku termasuk dalam status merah, otomatis tak ada yang bisa dilakukan di luar rumah.Â
Sholat id berjamaah di lapangan maupun di masjid tidak diselenggarakan. Silaturahmi dari rumah ke rumah juga dicegah. Pemerintah menghimbau semua warga untuk melakukan gerakan tutup pintu agar tak ada orang yang nekat bertamu. Salam-salaman untuk bermaaf-maafan cukup dilakukan melalui gawai saja.
Duuuh tak terbayangkan lebaran kali ini akan kulewati dengan cara seperti ini. Tapi apa boleh buat. Konon memang harus begitulah caranya untu menyelamatkan sesama manusia. Kita harus ikhlas dan menerima semua dengan lapang dada. Sampai virus corona ini bisa kita kalahkan dan wabah bisa kita redakan.
Aku harus bersyukur karena aku hanya terkurung di rumahku sendiri. Memang ada yang bilang kehidupan ini seperti burung. Dikurung, disemprot, dijemur dan dikurung lagi.Â
Namun itu harus disyukuri. Semuanya kita jalani di rumah sendiri. Kita harus belajar menjiwai pepatah-pepatah seperti rumahku istanaku, home sweet home, no place like home, dan banyak kata-kata mutiara tentang rumah lainnya, yang mungkin bisa membuat kita berlapang dada.
...
Usai Adzan Maghrib yang terdengar merdu dari masjid, aku mendengar takbir terus-terusan digemakan oleh sang muadzin. Sayup kudengar suaranya penuh haru. Kali ini ia begitu mendominasi. Tidak seperti lebaran yang lalu-lalu. Dimana biasanya banyak suara-suara jamaah lain yang mengganggu.Â
Ada suara anak-anak yang cempreng melengking, ada suara bapak-bapak yang fals dan parau. Kali ini sang muadzin ibarat merilis album solo. Tak koor, tak ada orkestra, tak ada penonton yang memberikan support dan applaus-nya. Hasilnya tentu lebih merdu, namun terasa sendu. Kegembiraan dan kebahagiaan yang biasanya tersampir pada suara takbiran, hanya diwarnai suasana haru.
Sembari mendengarkan suara takbiran, tiba-tiba aku teringat akan Si Mbak. Yaitu si inem yang telah tiga tahun tahun lebih menjadi asisten rumah tangga di rumahku ini. Terbayang di mataku wajahnya yang lugu namun selalu gembira, kali ini harus kehilangan tawa. Dari pesan whatsapp yang kuterima tadi siang, dia benar-benar merasa tak berdaya akan ujian yang diterimanya. Nampaknya virus corona benar-benar telah meluluh lantakkan harapannya.
"Wah mbak, lebaran besok berarti si mbak tetap berlebaran di sini bersama kita dong mbak," ujarku padanya beberapa waktu lalu. Hal ini kukatakan padanya sebelum puasa Ramadan tiba. Saat itu berita di TV memberitakan tentang larangan mudik bagi warga DKI Jakarta untuk menghentikan penyebaran virus corona.