Mohon tunggu...
Rohmadin
Rohmadin Mohon Tunggu... Seniman - Bocah Ndeso Seneng Sinau

Amung lare ndeso remen sinau

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Fenomena "Quiet Quitting", Antara Menjaga Kesehatan Mental atau Ketidakprofesionalan?

7 Februari 2024   10:23 Diperbarui: 7 Februari 2024   10:33 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Dok. pribadi, 7/02/2024)

Di era digital ini, muncul tren baru di dunia kerja yang disebut "quiet quitting". Berbeda dengan resign yang berarti berhenti bekerja secara resmi, quiet quitting adalah fenomena di mana karyawan tetap bekerja, tetapi tidak lagi berusaha keras atau melampaui ekspektasi. Mereka tidak lagi ambisius, hanya melakukan tugas seperlunya, dan tidak menunjukkan inisiatif.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: Apakah quiet quitting merupakan cara untuk menjaga kesehatan mental di tengah tuntutan kerja yang tinggi, atau menunjukkan ketidakprofesionalan karyawan? Mari kita telusuri dari sudut pandang peserta didik/mahasiswa dan perusahaan.

Sudut Pandang Peserta Didik/Mahasiswa

Bagi generasi muda, terutama fresh graduate, quiet quitting bisa menjadi solusi untuk menghindari burnout dan menjaga kesehatan mental. Tuntutan kerja yang tinggi, budaya kerja lembur, dan ekspektasi yang tidak realistis dapat menyebabkan stres dan kecemasan. Quiet quitting memungkinkan mereka untuk fokus pada keseimbangan kehidupan kerja (work-life balance) dan kesehatan mental.

Namun, quiet quitting juga dapat berdampak negatif pada pengembangan karir. Kurangnya inisiatif dan usaha dapat menghambat kemajuan dan peluang promosi. Dalam jangka panjang, hal ini dapat membuat karyawan tertinggal dibandingkan rekan-rekan mereka yang lebih ambisius.

Sudut Pandang Perusahaan

Dari sudut pandang perusahaan, quiet quitting dapat diartikan sebagai kurangnya engagement dan loyalitas karyawan. Hal ini dapat menurunkan produktivitas dan kinerja tim, serta menimbulkan beban kerja tambahan bagi karyawan lain.

Perusahaan perlu memahami alasan di balik quiet quitting dan mencari solusi yang tepat. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan komunikasi dan membangun budaya kerja yang lebih positif dan suportif. Perusahaan juga perlu memberikan penghargaan dan kesempatan pengembangan karir yang adil dan transparan.

Fenomena quiet quitting merupakan isu kompleks yang perlu dikaji dari berbagai sudut pandang. Berikut beberapa saran untuk mengatasi fenomena ini:

  • Perusahaan:
  • Meningkatkan komunikasi dan membangun budaya kerja yang terbuka dan suportif.
  • Memberikan penghargaan dan kesempatan pengembangan karir yang adil dan transparan.
  • Menciptakan lingkungan kerja yang fleksibel dan mendukung keseimbangan kehidupan kerja.
  • Peserta Didik/Mahasiswa:
  • Meningkatkan komunikasi dengan atasan dan kolega tentang workload dan ekspektasi pekerjaan.
  • Menetapkan batasan yang jelas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.
  • Mencari bantuan profesional jika mengalami stres dan kecemasan

Fenomena quiet quitting bukan hanya masalah individu, tetapi juga masalah kolektif. Diperlukan kerjasama dari perusahaan dan karyawan untuk menciptakan lingkungan kerja yang kondusif dan mendukung kesehatan mental, tanpa menghambat kemajuan karir dan kinerja perusahaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun