Mohon tunggu...
Rohmad Ari Wibowo
Rohmad Ari Wibowo Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru pembelajar

Seorang ayah dan guru yang suka main badminton

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Asal Muasal Suku Gayo

5 September 2022   13:05 Diperbarui: 5 September 2022   13:16 1582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                                                                                               Masyarakat Gayo yang sedang Bersaman (Sumber: Google)

SUKU GAYO

Tahun 2011 menjadi awal perkenalan saya dengan Gayo. Saat itu, saya menjalani kontrak selama kurang lebih 1 tahun untuk mengajar di Bumi Seribu Bukit dan kini, saya pun masih tinggal di tempat ini. Banyak pengalaman seru yang saya peroleh. Lantas, seprti apa Suku Gayo ini? Berikut hasil penelusuran saya mengenai asal muasal Suku Gayo.

 Suku gayo adalah sebuah suku yang tinggal di Aceh bagian tengah, di kawasan kaki gunung Leuser. Selain itu, suku ini terkenal dengan kebudayaannya, tari saman. UNESCO menobatkan Taman Nasional Gunung Leuser sebagai salah satu warisan dunia pada 2004. Tak hanya itu, pada 2011 badan dunia yang mengurusi kebudayaan itu kembali menobatkan Tari Saman sebagai warisan budaya dunia tak benda (Rismawati, 2018: 2). Sungguh suatu kebanggaan bagi masyarakat Gayo khususnya dan Indonesia pada umumnya.

Berdasarkan beberapa referensi tertulis, ada beberapa asal mula nama suku Gayo. Imam Tantawi dan Buniyamin dalam bukunya (2015) menyebutkan bahwa ada tiga pendapat yang menyatakan asal nama gayo.

Pendapat pertama menyatakan bahwa kata gayo berarti gunung. Kata ini berasal dari bahasa Sansekerta. Dalam buku  disebutkan bahwa kemungkinan asal muasal suku Gayo bermula dari daerah Gaya lebih tepatnya Gihar, India. Tantawi dan Buniyamin menambahkan jika masyarakat Gaya saat itu pindah ke Birma lalu menyeberang ke Pulau Sumatera bagian utara dan akhirnya mengembara hingga ke Aceh bagian tengah yaitu dataran tinggi Gayo.

Pendapat kedua menyebutkan jika kata "gayo" berasal dari bahasa Karo yang artinya kepiting. Menurut mereka, hal ini terjadi saat masyarakat Karo melakukan pengembaraan hingga ke daerah Aceh bagian tengah. Pada saat itulah, para pengembara itu melihat kepiting dan serta merta berteriak 'gayo, gayo, gayo'. Dan sejak itulah wilayah ini disebut dengan daerah Gayo.

Selanjutnya, Tantawi dan Buniyamin menambahkan jika kata Gayo disebutkan dalam buku The Travel of Marcopolo. Penjelajah asal Italia itu menyebut kata 'drang-gayo' saat menceritakan sebuah dataran tinggi di tengah Aceh. Orang-orang lalu menyebut wilayah tersebut dengan nama Gayo. 

Definisi yang hampir sama disebutkan bahwa kata Gayo berasal dari  'pegayon' yang artinya tempat mata air jernih yang terdapat ikan suci (bersih) dan kepiting (www.adatnusantara.id). Cerita ini bermula dari serombongan pendatang dari Batak Karo yang melintasi dataran tinggi. Rombongan ini berhenti di daerah yang di sebut Porang. Dalam perjalanannya, mereka menemukan seekor kepiting besar yang berada di sumber mata air yang sangat bersih. Karena kaget, rombongan itu berteriak gayo, gayo. Inilah awal mula penamaan daerah dataran tinggi Gayo.

Jika dikaitkan dengan persebaran masyarakat Gayo, tentu tidak lepas dari asal usul nenek moyang bangsa Indonesia pada sekitar 2000 tahun sebelum masehi. Saat itu, menurut Imam Tantawi dan Buniyamin (2015, 2) penduduk pulau Sumatera adalah orang Kubu yang memiliki ciri-ciri fisik seperti masyarakat Semang di Semenanjung Malaya, masyarakat Wedda di Sailan, dan masyarakat Negrita di Filipina, berambut keriting, berkulit hitam, dan berbadan kecil.

Masyarakat Kubu ini datang pada era proto melayu (melayu awal). Sebagai suku yang dikategorikan dalam kelompok proto melayu, suku Gayo mula-mula mendiami pantai timur dan utara Aceh, terutama di wilayah kerajaan Samudera Pasai dan Peurlak. Mereka lalu mencari daerah pemukiman baru untuk area pertanian, sebagian pindah ke pedalaman di sepanjang aliran sungai Peusangan, Jambo Aer, Penarun, Simpang Kiri, Simpang Kanan, hingga ke daerah yang sekarang ini disebut Gayo Kalul, Serbejadi, dan Gayo Lues. Imam Tantawi dan Buniyamin (2015, 3) juga mengutip keterangan Ina Gah yang menyebutkan bahwa akibat adanya serangan dari kerajaan Sriwijaya pada 1271 ke kerajaan Peurlak dan serangan kerajaan Majapahit ke kerajaan Samudera Pasai mengakibatkan kelompok masyarakat ini semakin terdesak ke pedalaman dan akhirnya mendirikan kerajaan sendiri yang disebut kerajaan Linge. Inilah yang diangggap oleh sebagian besar masyarakat sebagai nenek moyang suku Gayo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun