Masyarakat Indonesia dan khususnya masyarakat yang berada di Sulawesi Utara digemparkan oleh sebagian oknum atas tindakan intoleran yang terjadi pada hari rabu 29 januari 2020 pukul 17.45 wita. Â Melalui video yang beredar di media masa, massa datang dan berbuat onar membuat rusak mushala Al-hidayah tempat beribadah umat muslim yang berada di perum agape, Minahasa Utara, Sulawesi Utara.Â
Selain menggemparkan tindakan tersebut membuat masyarakat menjadi resah dan tentunya kejadian ini menjadi antithesis dari moto filosofis masyarakat Sulawesi Utara "Torang Samua Basudara"
Bukan sekedar itu fenomena ini menunjukan ancaman bagi kebebasan beragama dan berkeyakinan di ruang public. Sulawesi utara yang dikenal dengan salah satu daerah yang paling toleran dan pengelolaan kerukunan beragama yang baik, bisa gagal menjadi roll model bagi daerah yang lain.Â
Namun yang terpenting adalah tindakan pengrusakan mushala ini mengebiri kemanusiaan atas haknya untuk beragama dan berkeyakinan.
Masalah ini dengan cepat tanggap langsung diatasi dan dilarai oleh aparat ,tokoh agama, serta tokoh masyarakat. Setelah kejadian tersebut berhasil diatasi para tokoh masyarakat, tokoh agama, akademisi dan aktivis berkumpul untuk melakukan dialog terbuka di masjid raya Ahmad Yani Manado.Â
Kegiatan ini dilakukan untuk mencari akar permasalahan, dan melakukan dialog terbuka untuk mencegah potensi konflik yang akan terjadi serta mencari solusi atas pengrusakan yang terjadi, beberapa jam kemudian para oknum ditangkap oleh aparat, 6 orang berhasil diringkus oleh aparat. 3 orang dimankan Polres Minahasa utara, 3 orang lainnya dibawah ke Polda Sulut. (Detik.com, 2020)
Menambah daftar panjang Intoleransi
Meskipun langsung diatasi tindakan destruktif ini menambah daftar panjang intoleransi yang terjadi di Indonesia. Mayoritas selalu benar dengan mentalnya berjamaah, sehingga minoritas yang berada dipusarannya menjadi korban. Logika inilah yang sering dipakai oleh massa yang bertindak main hakim sendiri. Mental berjamaah ini lalu didefiniskan lewat praktiknya yang mengancam kebebasan beragama dan berkeyakinan. Lantas hal apa yang membuktikannya ?Â
Lihat saja kekerasan yang terjadi pada Tajul Muluk dan para penganut Syiah yang berada di Sampang pada tahun 2011. Di usir hingga hinga pembakaran terhadap madrasah maupun masjid (Cherian George, 2017), karena mereka dianggap sesat dan sebagai penista agama yang mengancam pada lingkaran mayoritas. mereka menjadi korban atas kebiadaban dari tindakan intoleran dan kekerasan.
Hal kemudian juga terjadi pada Ahmadiyah yang berada di Cikeusik, Banten. Tiga pengikut mereka diserang bahkan dibunuh oleh massa yang berkisar 1.000 sampai 1.500 orang . Karena mereka minoritas yang berada dilingkaran yang dominan maka masa bertindak atas dasar mereka sesat dan lain sebagainya padahal hal ini adalah tindakan dehumanisasi yang paling parah terjadi di Indonesia.