Mohon tunggu...
Rohim Ghazali
Rohim Ghazali Mohon Tunggu... lainnya -

Muslim minimalis. Bergiat di Yayasan Paramadina, The Indonesian Institute, dan MAARIF Institute; Moderator Menara 62; Solusi Bangsa; dan PRIDE-Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Membangun Perpajakan yang Adil*

19 November 2013   16:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:56 478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pajak, sebagaimana tertera dalam Undang Undang tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (UU KUP), adalah “kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”

Dalam perspektif politik, pajak merupakan salah satu implementasi konsep hubungan antara rakyat dan negara yang saling menguntungkan (simbiosis mutualistis). Dalam kewajiban pajak, rakyat membayar uang dalam jumlah tertentu kepada negara, dan negara memperoleh kontribusi yang besar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Selama lima tahun terakhir, kontribusi pajak selalu di atas 70 persen dari total pendapatan negara. Dalam APBN-Perubahan 2013 misalnya, penerimaan perpajakan (termasuk bea dan cukai) ditargetkan sebesar 1.148 triliun rupiah atau 76,5 persen dari total pendapatan negara.

Pertanyaannya kemudian, apakah kontribusi yang sangat besar itu seimbang dengan keuntungan yang diperoleh rakyat sebagai pembayar pajak (wajib pajak)? Untuk menjawab pertanyaan ini bukan perkara gampang, ada hitungan-hitungan yang rumit dan kompleks yang hanya bisa dipahami oleh ahlinya.

Namun, di luar soal hitungan-hitungan itu, harus pula dipahami bahwa yang lebih penting bagi rakyat adalah adanya kejelasan untuk apa uang pajak yang telah mereka bayarkan. Betulkah untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat?

Di era sekarang ini, tidak relevan lagi kita bicara tentang patriotisme yang diartikan semata-mata sebagai bentuk pengorbanan rakyat kepada negara. Di samping pemaknaan konsep patriotisme harus disesuaikan dengan perkembangan jaman, terdapat fakta-fakta historis yang tak bisa dimungkiri bahwa negara seringkali hanya dijadikan jubah oleh penguasa untuk merampas hak-hak rakyat. Rakyat hanya dituntut kewajiban untuk berkorban namun hak-haknya lebih sering ditelantarkan.

Pajak yang Adil

Agar bisa sesuai harapan rakyat, pajak atau perpajakan harus dikelola dengan prinsip keadilan. Adil dalam pengertian yang umum adalah fairness, jujur, wajar, dan proporsional. Maka, menurut Guru Besar Filsafat Politik Universitas Harvard, AS, John Rawls, keadilan tidak membiarkan pengorbanan yang dipaksakan pada segelintir orang diperberat oleh sebagian besar keuntungan yang dinikmati banyak orang. Karena itu, dalam masyarakat yang adil, hak-hak yang dijamin oleh keadilan tidak tunduk pada tawar menawar politik atau kalkulasi kepentingan sosial.

Dengan demikian, yang dimaksud pajak yang adil adalah kontribusi wajib kepada negara yang dilakukan secara jujur, wajar, dan proporsional. Tidak boleh terjadi ada pungutan pajak yang memberatkan hanya pada sekelompok orang dengan alasan untuk kepentingan kelompok yang lebih besar. Seseorang atau sekelompok orang tidak boleh dibebani pajak yang lebih berat disebabkan karena daya tawar politiknya yang rendah. Pajak harus diwajibkan kepada rakyat secara wajar dan proporsional, dengan timbal balik keuntungan (hak) yang diperoleh dari negara juga harus secara wajar dan proporsional.

Bagaimana Caranya?

Bagaimana agar perpajakan bisa dijalankan dengan berpegang teguh pada prinsip keadilan? Setidaknya ada tujuh aspek yang harus kita perhatikan. Pertama, yang paling pokok adalah berkaitan dengan fungsinya. Harus dijelaskan sedetil-detilnya fungsi-fungsi pajak sehingga benar-benar bisa dipahami dan mampu mendorong rakyat sebagai wajib pajak tergerak untuk menunaikan kewajibannya. Kewajiban hanya bisa dijalankan berdasarkan keyakinan.

Kedua, berkaitan dengan objeknya. Jenis harta kekayaan apa saja yangdikenakan pajak seyogianya didasarkan pada alasan-alasan yang tepat. Misalnya, mengapa bumi, bangunan, dan kendaraan bermotor harus dikenakan pajak? Mengapa pada saat kita berbelanja atau makan di restoran harus dikenai pajak? Semua harus dijelaskan secara jelas dan objektif.

Ketiga, berkaitan dengan volumenya. Penetapan besar kecilnya persentase pajak yang secara absolut harus dibayarkan dari harga atau nilai objek pajak seyogianya ditetapkan dengan prinsip-prinsip keadilan. Dalam hal ini, manfaat dan fungsi objek pajak harus menjadi pertimbangan.

Keempat, menyangkut kadar relativitasnya. Selain volume, mengapa masih diperlukan adanya kadar relativitas, karena pada faktanya, tidak menutup kemungkinan ada objek pajak yang jenis dan volumenya sama namun diperoleh secara berbeda. Untuk objek pajak yang diperoleh secara lebih mudah ditetapkan persentase pajak yang relatif lebih tinggi dari objek pajak yang harus diperoleh dengan susah payah.

Kelima, waktu pembayarannya. Kapan pajak harus dibayarkan seyogianya memperhatikan kondisi dan suasana yang tepat sehingga tidak mengganggu, memberatkan, atau menyebabkan kerugian yang lebih besar bagi wajib pajak.

Keenam, sistemnya. Pajak harus dikelola dengan sistem yang berasaskan profesionalisme, transparansi, dan akuntabilitas. Dengan sistem yang ada, para wajib pajak harus yakin bahwa pajak yang telah dibayarkan telah dikelola secara baik, dan diperuntukkan untuk fungsi-fungsi sesuai yang diharapkan

Ketujuh, pengelolanya. Selain sistemnya, siapa yang mengelola pajak juga harus bisa menumbuhkan keyakinan pada wajib pajak bahwa yang bersangkutan bisa menjalankan tugas-tugasnya secara baik dan benar. Syarat profesionalisme dan integritas moral mutlak bagi setiap personel pengelola pajak.

Dengan memperhatikan ketujuh aspek ini, jika semuanya sudah bisa diimplementasikan dengan menekan tingkat kesalahan dan deviasi seminimal mungkin, ada harapan besar akan terbangunnya sistem perpajakan yang adil yang pada akhirnya bermuara pada tujuan diwajibkannya pajak, yakni “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Semoga...

*Prasaran untuk acara Pemimpin Bangsa Bicara Tentang Pajak dan Indonesia Mandiri, dengan tema “Komitmen Membangun Pajak yang Lebih Baik”, diselenggarakan oleh Perkumpulan Aliansi Mahasiswa SeHatiNusantara (Furum Aktivis Lintas Kampus), Rabu, 13 November 2013 di Auditorium Syahida Inn (Kampus II UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), Ciputat, Tangerang Selatan

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun