Mohon tunggu...
Rohim Ghazali
Rohim Ghazali Mohon Tunggu... lainnya -

Muslim minimalis. Bergiat di Yayasan Paramadina, The Indonesian Institute, dan MAARIF Institute; Moderator Menara 62; Solusi Bangsa; dan PRIDE-Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jokowi Atau Prabowo

9 Mei 2014   23:19 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:40 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hasil hitung cepat (quick count) Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) 2014 yang dialukan lembaga survai seolah merevisi hasil survainya sendiri yang banyak dirilis menjelang Pileg. Tak ada satu pun, terutama dari partai-partai tengah, yang berhasil diprediksi secara tepat. Ini sekali lagi membuktikan bahwa popularitas dan elektabilitas partai tidak selalu paralel dengan popularitas dan elektabilitas calon, termasuk calon anggota legislatif (caleg).

Hasil Pileg secara garis besar menggambarkan kinerja caleg yang berjuang mati-matian untuk meraih suara terbanyak di daerah pemilihan (dapil) masing-masing. Faktor inilah yang menghasilkan perolehan suara Pileg tak mudah diprediksi lembaga survei. Begitu pun, popularitas calon presiden (capres) tak begitu banyak mempengaruhi perolehan Pileg karena yang dipilih bukan capres melainkan caleg.

Jadi, sejatinya tak begitu relevan untuk menilai, apakah efek capres, termasuk Joko Widodo (Jokowi) berpengaruh besar atau tidak bagi perolehan suara partai yang mengusungnya. Karena sebagian besar rakyat sudah bisa membedakan antara Pileg dan pemilihan presiden (Pilpres). Dalam Pileg, caleg mana yang banyak mendekati dan merayu –apalagi ditambah dengan politik uang—itulah yang akan dipilih. Untuk Pilpres, urusannya lain lagi. Inilah fakta yang banyak kita temukan di lapangan.

Oleh karena itu, meskipun menurut hitung cepat suara Partai Golkar melebihi suara Partai Gerindra, sama sekali bukan berarti elektabilitas Aburizal Bakrie (ARB) sebagai capres Golkar akan menyodok capres Gerindra Prabowo Subianto.

Pada Pilpres nanti, tingkat elektabilitas tetap akan mengerucut pada dua nama: Jokowi dan Prabowo. Karena hasil lobi-lobi dan kalkulasi koalisi, sangat mungkin ARB juga maju sebagai Capres, tapi itu tak banyak mempengaruhi elektabilitasnya. Maka, sangat realistis jika pada saat bertemu Jokowi, ARB sudah ancang-ancang akan bergabung, meskipun di putaran awal Pilpres dia akan tetap maju.

Lantas, antara Jokowi dan Prabowo, siapa yang akan memenangkan pertarungan? Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan ini. Pada saat Jokowi diumumkan (dideklarasikan) sebagai Capres oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), ada sejumlah pengamat berpendapat, Pilpres sudah “selesai” karena sudah diketahui siapa pemenangnya. Pendapat ini bisa dipahami karena dalam berbagai survai, elektabilitas Jokowi melesat jauh meninggalkan capres-capres lainnya. Jokowi bahkan sudah menjadi capres yang banyak ditimang –terutama oleh mudia-- sebelum dicalonkan secara resmi oleh PDIP.

Tapi jangan lupa, menurut Harold Dwight Lasswell (1902 -1978) politik adalah seni dari (berbagai) kemungkinan (the art of the possible). Timangan yang sudah begitu kuat terhadap Jokowi bisa saja berubah pada hari-hari menjelang Pilpres. Lihat saja, sekarang ini sudah mulai banyak media yang memberitakan kelemahan-kelemahan Jokowi.Keunggulan Jokowi sebagai timangan media (media darling) pun mulai berkurang. Bisa jadi, ini efek dari kampanye negatif yang terus menerus dilakukan oleh lawan-lawan politiknya, terutama kubu Prabowo dan Partai Gerindra yang menjadikan pengkhianatan “perjanjian Batu Tulis” sebagai salah satu amunisi untuk menyerang Jokowi.

Selain itu, kampanye negatif juga dilakukan oleh “poros Islam”, terutama yang berada di luar struktur partai politik. Jokowi dianggap sebagai capres yang tidak bersahabat dengan umat Islam. Setelah “menyerahkan” Solo kepada Walikota non-Muslim, kini giliran Ibukota Jakarta. Untuk meredam serangan ini, Jokowi pun blusukan ke jantung-jantung gearakan Islam, terutama Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Di Muhammadiyah, Jokowi bahkan didaulat menjadi imam shalat dengan makmum antara lain Din Syamsuddin, Ketua Umum Muhammadiyah.

Selasai Pilpres, Jokowi juga dihantam isu perpecahan dengan pewaris utama PDIP, Puan Maharani yang dikabarkan mengusir Jokowi dari rumah Megawati. Meskipun sudah dibantah, isu ini terus bergulir dan juga dijadikan amunisi oleh lawan-lawan politiknya untuk mendiskreditkan Jokowi.

Hantaman yang bertubi-tubi terhadap Jokowi membuat banyak kalangan mulai menimbang Prabowo. Mantan menantu Soeharto ini dianggap sebagai pemimpin yang tegas dan berkarakter kuat, antitesis dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang meskipun jenderal tapi melankolis.

Kekuatan karakter Prabowo dibangun melalui iklan yang lugas, dengan mengidentikkannya dengan garuda yang terbang, dan macan yang mengaum. Gaya pidato Prabowo di depan publik juga mulai dimirip-miripkan dengan gaya pidato Soekarno.

Dengan berbagai upaya itu, apakah Prabowo bisa mengungguli Jokowi? Jawabannya belum tentu. Untuk menangkis berbagai hantaman kubu Prabowo, para pendukung Jokowi di lapangan merilis sepuluh kelebihan Jokowi dibandingkan Prabowo. Isinya cukup menohok, termasuk menyinggung masalah yang sangat sensitif, penculikan dan tidak adanya calon ibu negara.

Pertarungan antara kedua kubu akan terus berlangsung hingga pilpres digelar. Masing-masing kubu tentu akan mengunggulkan dirinya seraya merendahkan lawan. Cara yang sebenarnya sudah lazim dilakukan di tengah iklim demokrasi liberal. Di Amerika misalnya, antar kandidat saling menjatuhkan dianggap biasa.

Tapi, untuk masyarakat Indonesia yang masih anggah ungguh dan ewuh pakewuh, cara-cara untuk menjatuhkan lawan secara vulgar bisa jadi kontraproduktif. Itulah sebab, mengapa kandidat yang tampak terlalu ambisius biasanya tidak terpilih. Ini pula sebab, mengapa belanja iklan partai tidak paralel dengan perolehan suaranya. Terlalu banyak menonjolkan diri (melalui iklan) justru bisa menumbuhkan efek resistensi. Jika kubu Prabowo mengahantam terus-menerus Jokowi, bukan tidak mungkin malah Jokowi yang akan menuai semakin banyak simpati.

Kekuarangan dan kelemahan masing-masing sudah banyak disajikan. Apakah mempengaruhi keterpilihan, rakyat di bilik suara yang akan memberikan jawaban. Jika rakyat menghendaki, rekayasa apa pun tidak akan bisa merintangi, itulah sebab mengapa dalam demokrasi suara rakyat disebut suara Tuhan. (Tulisan ini sudah dimuat di The GeoTIMES Magazine, 21-27 April 2014)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun