Golongan putih atau sering disebut dengan kata golput adalah istilah politik ketika seorang peserta dalam proses pemungutan suara tidak memberikan suara atau tidak memilih satupun calon pemimpin, atau bisa juga peserta yang datang ke bilik suara tetapi tidak ikut memberikan suara hingga prosesi pemungutan suara berakhir. Kemunculannya berawal dari gerakan protes para mahasiswa dan pemuda untuk memprotes pelaksanaan Pemilu tahun 1971 yang merupakan Pemilu pertama pada era Orde Baru. Pesertanya adalah 10 parta politik, jauh lebih sedikit daripada Permilu tahun 1955 yang diikuti 172 partai politik.
Tokoh yang terkenal dalam memimpin gerakan ini adalah Arief Budiman. Namun, pencetus istilah “Golput” ini sendiri adalah Imam Waluyo. Dipakai istilah “putih” karena gerakan ini menganjurkan agar mencoblos bagian putih pada kertas atau surat suara di luar gambar parpol peserta Pemilu bagi yang datang ke bilik suara. Namun, kala itu, jarang ada yang berani untuk tidak datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) karena akan ditandai. Istilah lain dari golongan putih adalah "suara putih", "suara rusak", "suara protes", dan "suara kosong".
Di Indonesia, golput sering dianggap sebagai bentuk protes terhadap ketidakpuasan terhadap calon-calon yang ada dalam pemilu. Contohnya dalam Pilkada Serentak kemarin (2024), banyak yang memutuskan untuk tidak menggunakan hak suaranya. Meskipun dalam demokrasi golput merupakan hak individu, Islam lebih menekankan pentingnya partisipasi aktif dalam kehidupan sosial-politik, khususnya dalam memilih pemimpin yang adil dan bijaksana. Dalam banyak hadis, Nabi Muhammad SAW mengajarkan umatnya untuk tidak hanya terlibat dalam urusan masyarakat saja, tetapi turut berperan serta dalam mencari kebaikan dan menegakkan keadilan yaitu dengan ikut serta dalam pemilihan pemimpin.
Dalam Hadis tentang Kewajiban Memilih Pemimpin yang Adil, Rasulullah SAW bersabda: "Barang siapa yang mengangkat seorang pemimpin untuk umatnya, kemudian dia melihat adanya kekeliruan atau ketidakadilan pada pemimpin tersebut, maka hendaklah dia menegur pemimpin itu dengan cara yang baik dan bijak." (HR. Bukhari)
Hadis tersebut menjelaskan bahwa pentingnya memilih pemimpin yang adil dan bijaksana. Golput, dalam pandangan ini, bukanlah solusi yang baik, karena Islam mengajarkan untuk memilih pemimpin yang dapat menegakkan keadilan dan memperhatikan kepentingan umat. Jika ada ketidakpuasan terhadap calon yang ada, umat Islam tetap diharapkan untuk memilih dengan bijak, bukan dengan mengabaikan hak pilih mereka.
Seorang pemimpin adalah pelayan bagi umatnya. Oleh karena itu, umat Islam dianjurkan untuk berpartisipasi aktif dalam pemilu, dengan memilih calon yang dapat menjadi pemimpin yang adil dan mampu memberikan pelayanan terbaik bagi rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H