Kita sepakat,
“Manusia adalah mahluk sosial”,
Kita juga sepakat,
“Informasi adalah penting, semua orang butuh itu”.
Berlandaskan dua hal tersebut, opini penulis merujuk pada hal kenapa banyak dibuatnya grup – grup pada akun sosial media, seperti Facebook, Whts’Up,Line dan sosial sejenisnya. Kecuali pada media sosial twitter, sampai sekarang belum ada bentuk realisasi dari dari team cook twitter atas kebutuhan akan kepentingan bersama di media sosial tersebut.
Maka wajar, jika ada orang yang mempunyai banyak grup di media sosial yang dia miliki. Hasil pemikiran bodoh penulis menemukan teori bodoh baru jika banyaknya grup tersebut berbanding lurus dengan banyaknya grup sosial yang ada di lingkungannya. Penulis mengambil contoh seorang aktivis mahasiswa. Seorang aktivis mahasiswa biasanya mempunyai banyak organisasi atau kelompok studi atau gerakan yang ia ikuti. Kebutuhan dasar dari seorang aktivis tersebut adalah tentang hubungan dengan semua kelompok studi yang ia miliki. Jadi, seorang aktivis mahasiswa tersebut tidak salah jika ia mempunyai lebih dari satu grup di media sosial di getgatnya . penulis sendiri memiliki hampir sepuluh grup di WA, dan banyak grup di Facebook.
***Lantas apa ?***
Kita sepakat, Internet mempunyai dampai positif dan negatif.
Bukan hanya internet, tapi semua hal di dunia ini pasti punya sisi negatif dan postif. Okeh.... sekarang kita hubungkan internet , grup , dan aktivis mahasiswa tersebut. Akan ada effek yang sangat luar .
***Hubungan Sebab – Akibat***
Sebab satu orang tidak hanya mempunyai satu buah grup, dan ada trand baru di dunia Grup tersebut tentang Penyebaran Informasi . apapun informasinya, entah itu positif entah itu negatif tapi ada metode baru dari penyebarannya, yaitu melalui sebuah grup, biasanya grup WA, metode yang lama adalah dengan BBM melalui fasilitas brodcase.
Akibatnya, banyak pesan – pesan di grup kita yang berisi informasi (entah itu positif atau negatif) yang bersumber dari “grup sebelah” . sumber dari grup sebelah telh menjdi trand baru.
“Sisi positifnya , kita lebih cepat menerima informasi (apapun itu)”
“Sisi negetifnya, validasi dari informasi yang diragukan”.
Tarnd baru di era gedjat lebih murah dari pakaian, membuat kita menjadi panik terhadap sesuatu yang dibuat oleh kita sendiri.
***Studi kasus***
Di Jogja, ada sebuah isu yang ramai diperbincangkan di oleh sebagian besar mahasiswa. Isunya tentang kasus pembacokan yang terjadi oleh oknum preman. Tidak ada alibi dari pembacokan tersebut. Setidaknya itulah isu yang beredar di tengah masyarakat netizen.
Akibatnya, seluruh masyarakat netizen tersebut menjadi panik, banyak isu yang menyebar setelah isu pertama tentang pembacokan yang tak beralibi tersebut muncul di grup. Isu yang menyusul adalah tentang sebuah genk yang mengatas namakan Raden, kemudian muncul informasi lagi di grup yang isinya tentang target incaran para oknum genk tersebut.
Bahkan isu yang lebih parah lagi adalah,
“Akan ada duel maut genk tersebut dengan genk tuan rumah”
Akhirnya ada rillis dari pihak yang lebih berwenang , bahwa berita tersebut HOAX. Si penyebar berita di amnkan oleh pihak berwenang dan masyarakat kembali tenang.
***Penutup***
Menarik bukan ?
Satu , dua , tiga grup dapat membuat hidup kita menjadi mencekam akibat berita yang tidak valid yang kita sebarkan sendiri. Bukan hanya kita yang menjadi takut , tapi semua penghuni grup juga takut dan imbasnya semua masyarakat netizen menjadi takut.
Memang tidak ada salahnya menyebarkan informasi melalui grup yang kita punya, apalagi jika berita tersebut adalah berita positif. Tapi, cobalah kita berfikir “cerdas” dengan menanyakan validasi berita tersebut.
[caption id="attachment_386849" align="aligncenter" width="538" caption="Grup WA - dokumentasi pribadi penulis"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H