Perbedaan pendapat mengemuka di tengah masyarakat mengenai naiknya harga BBM bersubsidi, pro-kontra terjadi hingga sebagian pihak mengeluarkan nada sentimen kepada pemerintahan Jokowi-JK seusai Presiden Jokowi mengumumkan kenaikan harga BBM pada Senin malam (17 November 2014). Demo pun pecah di tengah masyarakat yang banyak berujung dengan tindakan anarkis dari para mahasiswa yang menolak kenaikan harga BBM, sehingga memaksa kepolisian Republik Indonesia untuk melakukan “Siaga 1”. Pro-kontra pun terjadi di tengah masyarakat, berbagai sudut pandang dikemukakan baik di media televisi maupun di dunia maya. Namun berbagai pertanyaan muncul di dalam benak saya untuk melihat persoalan ini dari dua sisi. Apakah dengan kenaikan harga BBM,itu menandakan Jokowi tidak pro pada wong cilik? Apakah media sudah menyampaikan informasi yang real kepada masyarakat atau malah makin memperkeruh? Apakah harga BBM perlu dinaikkan disaat harga minyak dunia turun? Apakah mereka yang menolak kenaikan harga BBM yang mengatasnamakan sebagai pembela masyarakat wong cilik, memang benar sedang memperjuangkan masyarakat wong cilik? Siapa sebenarnya dalang yang menimbulkan derita pada masyarakat wong cilik?
Sebelum memulai, saya ingin mengclearkan sesuatu dahulu. Harga BBM sebenarnya tidak naik! Kenapa harga BBM bersubsidi itu naik? Itu karena subsidinya dikurangi oleh Pemerintah. Coba kita mengasumsikan harga ekonomi BBM adalah Rp 10.000. Jadi, jika pemerintah menaikkan harga jual dari Rp 6.500 menjadi Rp 8.500, itu namanya subsidinya dikurangi. Karena rentang harga Rp 6.500 ke Rp 10.000, berarti Pemerintah mensubsidi BBM tersebut 50% dari harga yg dilempar ke pasar. Namun, jika pemerintah menentukan harga jual BBM menjadi Rp 12.000, itu baru namanya kenaikan harga! Kenapa itu berupa kenaikan harga? Karena tidak ada komponen subsidi dalam harga yang ditentukan tersebut, terlebih lagi setelah pemerintah mencabut subsidi, pemerintah mencoba mengambil profit sebesar Rp 2.000 dari harga BBM tersebut. Jadi, yang kita alami saat ini, kenaikan harga Rp 2000/liter, itu adalah pengurangan subsidi. Nah, jika di negeri tetangga terdapat pengurangan harga BBM, yang harus dipertanyakan adalah apakah Pemerintah mereka mensubsidi harga BBM kepada rakyatnya??? Kembali ke topik, lalu kenapa subsidi BBM di Indonesia perlu dikurangi? Karena beban subsidi BBM kita pada APBN hampir menyentuh angka 25% (kisaran 20% - 25% per tahun) dari APBN. Bayangkan saja alokasi dana yang begitu besar hanya tersita pada subsidi BBM, bisa melebihi anggaran pendidikan yang memakan porsi 20% dari APBN yang dicanangkan dari pemerintahan SBY dan masih ditetapkan sampai dengan hari ini. Gila banget! Padahal dengan beban sebegitu besar dapat dialihkan ke sektor yang lebih produktif untuk pembangunan bangsa ini, bukan hanya sektor konsumtif seperti subsidi bbm, negara ini akan lebih maju dan makmur. Apalagi memang APBN adalah salah satu instrumen negara untuk melaksanakan fungsi utama sebagai welfare provider. Dengan beban subsidi yang begitu besar pada APBN kita sebenarnya masih bisa ditolerir jika subsidi itu tepat sasaran. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Subsidi tersebut tidak tepat sasaran! Dengan pengurangan subsidi ini, pemerintah dapat bergerak bebas dalam menentukan rencana pembangunan baik itu jangka menengah maupun jangka panjang. Salah satu hal yang paling saya inginkan dari pengurangan subsidi BBM ini adalah Pemerintah harus segera mempercepat pembangunan infrastruktur konversi BBM ke BBG.
Mencanangkan kebijakan non-populis memang berat. Kepopuleran pun merosot tajam. Sehingga jargon kampanye Jokowi-JK dibuat bahan lelucon, dari “salam dua jari” menjadi “salam dua ribu” dan “salam gigit jari”, dan jargon kampanye yang diplesetkan tersebut menjadi trending topic di twitter. Tidak hanya dari masyarakat yang menentang, namun dari pihak yang berada di atap partai yang sama dengan Jokowi pun menentang. Seakan Partai cuci tangan pada kebijakan yang diambil oleh Presiden yang notabene adalah kader mereka. Hal inilah yang membuat saya salut pada Presiden Joko Widodo. Beliau berani mengambil keputusan dan tidak memperdulikan popularitasnya, berbeda dengan Presiden terdahulu yang cenderung peragu dan lebih suka mengumandangkan kata “saya prihatin”. Masyarakat kita terlalu banyak menolak. Menolak sih boleh-boleh saja, asal jangan merusuh. Menolak ya menolak, tapi kasih solusi juga dong. Kalo cuma menolak, tapi miskin solusi, ya sama aja bohong! Apalagi kalo menjawabnya dengan solusi yang mustahil untuk dilakukan, ya sama aja bohong dong!
Apakah Jokowi tidak pro pada wong cilik dengan menaikkan harga BBM? Saya rasa tidak. Jokowi tetap pro pada wong cilik. Namun, problem yang dihadapi Beliau memang sangat sulit. Rupiah kita makin hari makin melemah. Rupiah kita semakin tertekan karena perekonomian Amerika yang makin hari cenderung makin membaik. Hari ini, saya melihat nilai tukar kita tembus ke Rp 12.200. Karena pelemahan nilai tukar inilah yang membuat current account deficit kita semakin membengkak. Fluktuasi nilai tukar kita sangat sensitif terhadap current account deficit kita. Bayangkan saja, current account deficit kita sudah menyentuh 4,06% dari PDB, ini sebenarnya sudah menjadi warning bagi Pemerintah. Belum lagi, beban subsidi bbm ini jika tidak dinaikkan begitu memberatkan anggaran Pemerintah. Lalu, bagaimana dengan harga minyak yang turun? Harga minyak dunia sedang turun karena menurut saya disebabkan oleh kelesuan ekonomi dunia, sedangkan jumlah produksi mengalami peningkatan. Lalu, dampaknya ke Indonesia bagaimana? Nah, harga minyak dunia memang sedang turun (dari 105US$/barel menjadi 80US$/barel), namun itu menandakan pendapatan kita dari minyak mentah turun juga. Ya sama aja dong! Ya kan? Jadi, mau tidak mau Pemerintah harus menaikkan harga BBM. Sebenarnya ini adalah warisan Pemerintah yang lalu. Nah, sekarang kebetulan Pak Jokowi yang mengemban amanah mengisi kursi RI-1, maka Beliau yang jadi menanggung beban warisan ini. Padahal jika Wowo jadi Presiden, Wowo juga bakal ngelakuin hal yang sama.
Kenaikan harga ini memancing media untuk memperkeruh situasi untuk “memuaskan” pemiliknya. Mereka mengatakan bahwa dengan kenaikan premium menjadi Rp 8.500/liter, BBM kita menjadi termahal se-ASEAN. Bagaimana ceritanye? Di negara tetangga, gak ada yang memakai oktan 88 (premium), gimana bilang lebih mahal wong yang dibandingin harganya dengan kelas yang berbeda. Jadi yang dibandingkan adalah harga pertamax plus kita yang beroktan 95 dengan harga minyak mereka yang beroktan 95, lalu membandingkan harga minyak solar kita dengan harga minyak diesel mereka. Mari kita hitung! Saya akan mengambil sampel 4 negara dan mengurutkan mereka berdasarkan nilai tukar mata uang mereka terhadap rupiah dari yang termurah hingga yang termahal. Keempat sampel tersebut adalah Filipina, Thailand, Malaysia dan Singapura. Harga di Indonesia, Premium dengan oktan 88 seharga Rp 8.500, solar dengan harga Rp 7.500 dan Pertamax plus dengan oktan 95 dengan harga Rp 11.700. Nilai kurs saya gunakan dari koran MedanBisnis. Mari kita hitung perbandingannya. A) Filipina (1 peso = Rp 271). Ron 95 = 45,45 peso, jika dikonversi ke rupiah maka harganya menjadi Rp 12.317 (pembulatan). Diesel = 35,81 peso, jika dikonversi ke rupiah maka harganya menjadi Rp 9.705. Maka, harga di Indonesia tergolong lebih murah dari Filipina,karena minyak beroktan 95 mereka lebih mahal dari harga Pertamax Plus kita (Rp 12.317 > Rp 11.700) dan solar mereka lebih mahal (Rp 9.705 > Rp 7.500). B)Thailand (1 Baht = Rp 373). Ron 95 = 41,66 Baht, jika dikonversi ke rupiah maka harganya menjadi Rp 15.539. Diesel = 29,39 Baht, jika dikonversi ke rupiah maka harganya menjadi Rp 10.962. Maka harga di Indonesia tergolong lebih murah karena minyak beroktan 95 mereka lebih mahal dari harga pertamax plus kita (Rp 15.539 > Rp 11.700) dan solar mereka lebih mahal dari solar kita (Rp 10.962 > Rp 7.500). C) Malaysia (1 Ringgit = Rp 3.623). Ron 95 = RM 2,3, jika dikonversi ke rupiahmaka harganya menjadi Rp 8.333 (pembulatan) dan diesel RM 2,2, jika dikonversi ke rupiah maka harganya Rp 7.970. Maka kesimpulan yang dapat ditarik adalah minyak beroktan 95 Malaysia lebih murah dari minyak kita yang beroktan 95 (Pertamax Plus) karena Rp 8.333 < Rp 11.700. Bahkan minyak mereka dengan oktan yang lebih tinggi lebih murah dari minyak kita yang beroktan 88 (premium) karena Rp 8.333 < Rp 8.500. Sedangkan solar mereka menunjukkan hasil yang terbalik. Solar mereka lebih mahal dari solar kita karena Rp 7.970 > Rp 7.500. D) Singapura (1 dollar Singapura = Rp 9.368). Ron 95 = S$2,05,jika dikonversi ke mata uang rupiah maka harganya menjadi Rp 19.204. Diesel = S$1,5, jika dikonversi ke mata uang rupiah maka harganya menjadi Rp 14.052. Maka kesimpulan yang dapat ditarik adalah harga minyak mereka yang beroktan 95 dan Diesel masih lebih mahal dari Pertamax plus dan Solar kita yaitu dengan perbandingan Rp 19.204 > Rp 11.700 dan Rp 14.052 > Rp 7.500. Maka dari keempat negara ini, hanya Malaysia yang memiliki minyak beroktan 95 lebih murah daripada kita. Jadi, tidak adil juga jika media televisi memberitakan bahwa harga minyak di Indonesia termahal di ASEAN. Perhitungannya darimana???
Jika membandingkan dengan 2 negara tersebut (Malaysia & Singapura) rasanya kurang adil. Harga minyak mereka memang sedang turun (walau lebih mahal dari minyak kita), namun kita tidak mengetahui besaran subsidi yang dianggarkan pemerintah mereka, dan dengan tingkat kemakmuran yang berbeda dan luas teritori yang berbeda, rasanya tidak equal untuk membandingkan Indonesia dengan Malaysia dan Singapura. Dengan luas teritori seperti ini dan jumlah masyarakat menengah ke bawah yg membludak, maka beban anggaran subsidi pemerintah akan lebih besar daripada beban anggaran pemerintah Singapura dan Malaysia. Jadi, saya rasa rada kurang fair membandingkan negara ini 1 on 1 dengan mereka.
Kalau dengan beban seperti ini dan perbandingan harga minyak dengan negara tetangga, apa kita masih ngotot dengan kenaikan harga BBM? Apa tidak lebih bagus kalau subsidi dialihkan tepat sasaran misalnya untuk memperbaiki infrastruktur, irigasi, pinjaman usaha kecil menengah,dll? Daripada dinikmati oleh segelintir orang yang mampu secara ekonomi.
Dengan melihat subsidi BBM yang tidak tepat sasaran, itulah mengapa saya membuat judul artikel ini “Kita lah yang “membunuh” wong cilik!”. Ya memang hal tersebut benar adanya. Mereka yang mengatasnamakan peduli terhadap wong cilik, mereka juga yang kebanyakan “membunuh” wong cilik. Mereka setor muka dimana demonstrasi berada, dan dunia maya pun dijadikan ajang setor muka untuk kontes yang bermuka dua. Sekilas, mereka seperti pejuang rakyat, rupanya mereka jauh dari hal tersebut. Uang tak kunjung di dapat, popularisme pun jadi. Mengapa saya mengatakan hal tersebut? Saya tentunya memiliki alasan. Begini, saya sudah melihat kebanyakan mereka yang protes dengan kenaikan harga BBM di dunia maya, bukanlah dari kalangan orang yang tidak mampu. Mereka adalah orang yang mampu yang mengatasnamakan wong cilik untuk pembenaran statement mereka. Bagaimana tidak? Dengan memiliki sepeda motor dengan cc yang besar yang tergolong lux, mereka mengisi tangki sepeda motor mereka dengan bbm subsidi. Mereka merampas hak rakyat miskin (wong cilik). Padahal BBM subsidi tersebut diperuntukkan untuk kalangan menengah ke bawah (terutama ke rakyat miskin). Lalu, mereka yang memiliki mobil diatas harga Rp 250 juta yang menyatakan posisi ekonominya berada di kalangan menengah ke atas, mereka juga lah yang mengisi bbm bersubsidi. Layaknya pada tanggal 17 November 2014, pada malam tersebut usai Presiden Joko Widodo mengumumkan kenaikan harga BBM sebesar Rp 2000/liter, saya melihat di SPBU dekat rumah saya, ada orang dengan mobil Fortuner mengisi premiun full-tank! Kampret banget! Trus, kalo orang seperti ini teriak – teriak menolak kenaikan harga BBM, apa akan membuat kita bersimpati? Lalu, jika orang seperti ini mengatasnamakan wongcilik (seakan menjadi pembela wong cilik), apa kita harus bersimpati? Padahal dia juga yang “membunuh” wong cilik. Karena perilaku egoisnya lah, harga BBM menjadi dinaikkan dan wong cilik yang menelan pil pahit atas kejadian ini.
Lalu saya juga melihat pola hidup masyarakat yang mengkritik kebijakan Presiden dalam menaikkan harga BBM, sebagian dari mereka adalah orang – orang yang sering menegaskan status ekonominya dengan kendaraan yang dibawa, merek pakaian yang dipakai, dll yang menunjukkan perilaku mereka yang hedonisme. Di dunia maya, mereka berpenampilan bak seorang aktor/aktris yang berpose di depan motor ataupun mobil mewah milik mereka. Lalu pertanyaannya, kenapa orang seperti ini “mengemis” pada pemerintah agar subsidi jangan dikurangi? Trus, kenapa orang seperti ini yang teriak – teriak atas kenaikan harga BBM seakan – akan mereka yang paling terkena imbasnya? Mereka yang “membunuh” wong cilik, mereka juga yang teriak mengatasnamakan wong cilik. Piye toh? Saya juga gak tau apa mereka hanya ingin tampak seperti pejuang atau aktivis, atau mereka berteriak sebagai fansnya Wowo? Bagi saya, ukuran dengan membawa kendaraan pribadi yang tergolong lux, TIDAK LAYAK berteriak dan mengatasnamakan wong cilik untuk menolak harga BBM! Harusnya orang seperti ini gak usah celoteh terlalu merdu di tengah masyarakat ataupun di dunia maya, karena mereka juga yang “membunuh” masyarakat wong cilik. Karena mereka lah,, sekarang masyarakat wong cilik akan semakin sulit memenuhi kebutuhannya. Kenaikan harga ini pun memukul masyarakat kecil yang terpinggirkan. Seharusnya, kita bukan meluapkan emosi kita pada Pak Jokowi sebagai Presiden yang mengambil keputusan untuk menaikkan harga BBM, seharusnya kita marah pada mereka – mereka yang menimbulkan BBM subsidi tidak tepat sasaran!
Kita lah yang “membunuh” wong cilik, namun kita juga yang protes terlalu lantang. Padahal kita mengambil jatah mereka yang telah disediakan pemerintah. Layakkah kita yang mengambil hak rakyat miskin, bertindak pahlawan bagi wong cilik? Layakkah? Ya kita yang memakai sepeda motor dengan cc yang besar yang tergolong lux, kita yang memiliki mobil diatas harga Rp 250juta, kita yang menegaskan status ekonomi kita dari merek pakaian dan jumlah handphone yang kita miliki, ya kita, kita yg dengan gaya hidup seperti itu tp memakai bbm bersubsidi, kita lah yang “membunuh” perekonomian wong cilik, kawan! Alasan saya mengacu pada survei yang dilakukan oleh Frost Sullivan. Saya lupa pernah membacanya dimana. Namun, saya mengingat isi surveinya.Menurut survei tersebut, Indonesia adalah bangsa yang paling konsumtif nomor 2 di seluruh dunia setelah Singapura. Survei tersebut menyatakan bahwa “orang Indonesia rata – rata berganti ponsel tiap tahun”. Perilaku konsumtif ini tidak hanya pada barang elektronik, tapi juga pada otomotif dan pakaian. Masyarakat kita menurut saya pribadi, banyak sekali yang terlalu konsumtif yang membeli sesuatu bukan atas dasar kebutuhan atau investasi jangka panjang, namun hanya berdasarkan gengsi, emosi dan yang memalukan ada yang hanya sekedar “ikut-ikutan” saja. Saya rasa sih sah – sah saja sikap seperti ini, itu urusan orang pribadi, namun yang saya sayangkan, banyak orang yang berlaku konsumtif yang mapan secara ekonomi tapi masih mengambil hak rakyat miskin (bbm subsidi). Sehingga, bbm subsidi tersebut memanjakan masyarakat kita yang konsumtif seperti ini, namun tidak membiasakan diri untuk membeli bensin yang merupakan haknya yaitu bbm non subsidi.
Bagaimana tidak seperti ini, hal ini pun dibenarkan dari statistik rasio Gini negara ini, yang membuktikan semakin timpangnya tiap kelas masyarakat kita semakin hari (seperti yang saya jelaskan dalam artikel saya sebelumnya (http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2014/11/13/kemelut-harga-bbm-703020.html). Rasio Gini digunakan untuk mengukur ketimpangan dalam suatu Negara. Dari data yang saya dapatkan, pada tahun 2004, rasio Gini 0,32. Dan pada tahun 2013, dibawah pemerintahan Pak SBY, koefisien Gini tembus 0,413. Makin tinggi koefisiennya, berarti semakin timpang. Jika menyentuh angka 0,5 dan mendekati 1,0, maka sebaran masyarakat kita sangat timpang dalam hal pendapatan per kelas masyarakatnya. Hal tersebut membuktikan, bahwa semakin bertambahnya tahun, kelas masyarakat kita semakin timpang. Hal tersebut bisa dua alasan. Pertama, si kaya memperlebar jarak dengan mengkonsumsi bbm subsidi, sehingga pada saat harga dinaikkan, wong cilik yang terkena imbasnya yang dapat menyengsarakan mereka makin hari. Yang kedua adalah si kaya sewenang – wenang dalam hal penentuan upah. Sehingga si kaya memperlebar jarak dengan memperkaya diri sendiri, namun pelit dalam memberikan gaji pada pegawainya. Sehingga lebih sukanya menggunakan tenaga outsourcing (karena lebih murah) dan menolak kenaikan upah masyarakat bawah, menjadikan mereka sangat nyaman, apalagi jika mereka memakai bbm subsidi. Dan, masih banyak argumen ilmiah yang menyebabkan semakin timpangnya distribusi pendapatan tiap kelas masyarakat di negara ini yang dinyatakan dalam rasio gini tersebut.
Setelah bbm dinaikkan, harga bbm tersebut langsung menghantam sendi perekonomian rakyat miskin (wong cilik). Wong cilik layak untuk teriak karena kebutuhan pokok mereka naik. Mereka pun menjadi korban dari semua ini. Mereka menanggung beban lebih banyak, sementara penghasilan tidak ikut naik. Wong cilik bertambah sengsara dan buruh – buruh tambah menderita. Mereka yang menggunakan sepeda motor atas dasar kebutuhan usaha kecil mereka, akan semakin tergilas dengan kenaikan harga ini. Memang ini berat bagi mereka, tapi mau gimana lagi, subsidi bbm juga tidak tepat sasaran. Karena itu, Pemerintah mau gak mau harus mengalihkan ke sektor produktif dan sektor yang dapat membantu masyarakat wong cilik dari fasilitas kesehatan, pendidikan, pertanian, dan lain sebagainya.
Menurut saya pribadi, BBM bersubsidi akan tidak tepat sasaran sampai kapanpun jika Pemerintah tidak membuat sistem yang memaksa orang yang mapan secara ekonomi untuk menggunakan bbm non subsidi. Seperti yang saya ungkapkan dalam artikel saya terdahulu (http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2014/11/13/kemelut-harga-bbm-703020.html) bahwa pemerintah harus menjalin kerja sama dengan pihak industri mobil yang mau memasarkan mobilnya ke negeri ini, untuk menspesifikasi ulang lubang pengisian bensin mobil yang hanya dapat dimasuki oleh nozzle bbm non subsidi. Begitu juga dengan sepeda motor dengan cc yang cukup besar, diberlakukan hal yang sama. Sehingga peraturan tersebut akan bersifat memaksa, dan saya jamin akan efektif!
Subsidi yang tidak tepat sasaran menjadi alasan utama pemerintah dalam menaikkan harga BBM sehingga subsidi tersebut dikurangi dan dialokasikan ke sektor yang lebih produktif, terlebih lagi current account deficit kita yang makin membengkak yang sudah menginjak angka 4% dari PDB sudah menjadi warning bagi pemerintah, sehingga hal ini harus dimaklumi oleh rakyat Indonesia walau memang ini sangat berat bagi wong cilik. Saya mengerti akan hal itu.
Namun sebelum mengkritik kinerja Jokowi sebagai Presiden, ada baiknya kita bercermin. Siapa yang patut dipersalahkan sehingga subsidi dikurangi? Lalu,kenapa kita berteriak ketika subsidi dikurangi padahal banyak dari kita yang berteriak adalah golongan dengan kelas ekonomi menengah ke atas, kenapa berteriak? Lalu siapa yang membuat wong cilik menderita? Ya,kita! Kita! Dan kita! Kita lah yang sepatutnya dipersalahkan karena kita mampu secara ekonomi namun mengkonsumsi bbm bersubsidi. Kita lah yang membuat wong cilik menderita! Kitalah yang berteriak di dunia maya yg bersuara lantang namun di lain sisi kita dengan bangganya mengunggah foto kita di depan mobil dan sepeda motor pribadi yang lux namun menggunakan bbm bersubsidi! Ya, kita lah yang “membunuh” wong cilik! Ya, kita! Kita yang “membunuh” sendi perekonomian wong cilik!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H