“Menulis adalah suatu cara untuk bicara, suatu cara untuk berkata, suatu cara untuk menyapa—suatu cara untuk menyentuh seseorang yang lain entah di mana. Cara itulah yang bermacam-macam dan di sanalah harga kreativitas ditimbang-timbang.” (Seno Gumira Ajidarma, Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara)
Menulis merupakan salah satu dari empat keterampilan berbahasa yang wajib dikuasai oleh siswa-siswi disekolah namun lebih wajib lagi dikuasai oleh guru-gurunya. Keaktifan menulis bagi guru yang profesional merupakan ikhtiar untuk dapat Meninggalkan Jejak Ilmu, Ide/Gagasan, Pengalaman, dan kritisisme yang bersumber dari hati dan pikiran bagi kemaslahatan banyak orang terkhususnya anak didik disekolah.
Menulis (writing), sebagaimana berbicara (speaking), mendengar (listening), dan membaca (reading), merupakan keterampilan berbahasa yang menjadi pokok-pokok utama dalam berbahasa. Mulyati (2002) menyatakan bahwa, menulis pada hakikatnya menyampaikan ide atau gagasan dan pesan dengan menggunakan lambang grafis (tulisan) kepada orang lain.
Namun sayangnya, jika kita berkaca pada realitas di lapangan, masih banyak ditemukan guru-guru yang enggan mengembangkan kemampuan menulisnya. Sebagian Mungkin saja enggan karena banyaknya kesibukan pekerjaan ataupun hal-hal lainnya. Sebagian lainnya menulis hanya karena terpaksa untuk mengikuti aturan dan bukan menulis dengan hati.
Kondisi-kondisi tersebut, sebenarnya bukanlah alasan. Aktivitas Menulis sejatinya merupakan ikhtiar dan menjadi sarana bagi guru untuk meningkatkan kualitas literasi (keberaksaraan) sang guru yang juga akan berdampak pada kualitas literasi anak didiknya disekolah. Melalui berbagai tulisan, seorang guru sebenarnya dapat menuangkan, mengembangkan dan membagikan beragam ide, kritisisme, pengalaman dan pemikiran mengenai berbagai hal kepada siswa.
Maka Pertanyaan pentingnya, Bagaimana seorang guru akan mampu mengajarkan siswa-siswinya di kelas untuk materi pembelajaran menulis (puisi, esai, cerpen, karya ilmiah dan tulisan lainnya), sedangkan sang guru/pendidik tersebut pun enggan menggali dan mengasah kemampuan menulisnya? Tentu saja, hasil belajar yang diharapkan dari peserta didik itu-pun dapat dipastikan menjadi kurang maksimal dan hanya sebatas teori tanpa memberi manfaat seperti yang diharapkan.
Maka dari itu, disinilah pentingnya sang guru untuk berani dan aktif dalam menulis. Tujuan dan manfaatnya tentu sangat banyak, baik untuk jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang. Pertama, untuk tujuan dan manfaat jangka pendek, Aktifitas menulis tentu dapat mempertahankan kemampuan ingatan manusia seperti yang diungkapkan oleh Psikolog Hermann Ebbinghaus (1885) melalui penelitiannya, selain itu juga dapat memotivasi dan menginspirasi banyak orang terkhususnya siswa-siswi disekolah.
Contohnya ketika saya menulis baik itu artikel opini, cerpen dan puisi lalu mejadikannya contoh nyata kepada siswa maka siswa akan lebih tertarik dan merasa pembelajaran itu nyata dan ada hasilnya. Selain itu, tulisan-tulisan tersebut akan memotivasi mereka, apalagi ketika menceritakannya kepada siswa bahwa tulisan gurunya pernah dimuat di media cetak seperti Koran tentu akan semakin memacu semangat mereka. Itulah juga yang saya lakukan, dengan menceritakan bahwa menulis selain untuk berbagi ide dan gagasan dapat juga memberi kritik sosial bagi kebijakan pemerintah.
Membagikan pengalaman seperti itu merupakan hal yang penting dan bermanfaat. Cara seperti ini sering saya lakukan dengan menceritakan kepada siswa bahwa tulisan-tulisan saya yang adalah gurunya sudah pernah dimuat dimedia cetak beberapa kali yang diantaranya di Harian Kompas edisi 5 Juni 2014 dan Koran Jakarta Edisi 3 November 2014. Melalui tulisan-tulisan tersebut, selain memacu semangat mereka dalam menulis, guru (saya) juga dapat mengajarkan isi tulisan itu kepada siswanya.
Selain itu, hal lain yg juga sering juga saya lakukan ketika saya mengajar dikelas yaitu menambahkan pembelajaran tentang tema-tema "Pendidikan Antikorupsi". Melalui tulisan saya yang juga pernah dimuat dimedia cetak Banjarmasinpost 6 Oktober 2014 tersebut saya berusaha mengajarkan pendidikan antikorupsi sebagai sebuah tindakan pencegahan (preventif). Lewat kesempatan-kesempatan seperti itu dan Disela-sela proses belajar-mengajar tersebut guru (dalam hal ini saya) merasa perlu menyisipkan pelajaran tentang Antikorupsi. Hal ini diharapkan memberi motivasi berlimpah bagi para siswa dan mendapat pelajaran-pelajaran baru yang berguna sebagai pelajaran moral.
Kemudian Manfaat lainnya, menulis merupakan medium untuk mengembangkan kemampuan guru dalam memecahkan masalah-masalah tertentu. Tulisan yang dibuat oleh guru juga mencerminkan sejauh mana guru memiliki penguasaan kompetensi terhadap bahan ajar/pengetahuan terkait dengan bidang/ruang lingkup pengetahuannya. Bahkan, Menulis dimedia akan memberi manfaat lebih dengan menerima honor yang cukup lumayan, dan juga dapat menunjang karir kepangkatan. Namun jangan jadikan menulis untuk mengejar honor semata karena hal itu malah akan menggiring kita pada kejenuhan menulis akibat seolah mengejar setoran. Maka nikmatilah menulis yang disertai gagasan-gagasan segar nan bermanfaat.
Selanjutnya yang kedua, untuk jangka menengah, guru dapat menjadikan tulisan-tulisannya menjadi sebuah kumpulan artikel yang dapat dijadikan buku kecil maupun bahan penelitian yang mungkin saja berguna dalam penelitian serta memberi kritik bagi kebijakan pemerintah. Hal ini penting dan bermanfaat untuk dipublikasikan, sehingga beberapa tahun ke depan jejak ilmu tersebut akan tetap ada. Hal ini senada dengan ucapan Helvy Tiana Rosa (Penulis, Dosen, dan Pendiri FLP) bahwa “Tingkat peradaban suatu bangsa diantaranya diukur dari berapa banyak orang yang membaca dan menulis di negeri itu.”