Aku tengah duduk di pingiran pantai sembari menunggu gelap, dikau yang kupuja kini telah tiada bersama hilangnya mentari tenggalam di ujunga jauh laut memberikan kiasan rona terkahir dari wajahmu yang rupawan,
Andai tuhan mengizinkanku bertemu denganmu lagi, sembari kupanjatkan doa disetiap detiknya didekat ranjang tempat dikau terbaring lemah sembAri berharap aku dapat menjumpai senyum manismu unutk yang terkahir kalinya,
tapi semesta tidak berkehendak demikian, semesta menjauhkanku darimu dengan segala coba yang mulanya untuk kita berdua dan anak kita nanti, tapi sewaktu diriku semestinya pulang justru cobaan itu datang tak terkira,Â
cobaan yang tiada kira itu sudah menghancurkanku sedemikian rupa tanpa menyisakan ruang harap pada relung hati
apakah Tuhan membenciku? apakah Tuhan tengah mempermainkaku? apakah Tuhan tak memahami apa yang sedang aku rasa?
tapi waktu adalah waktu, sekencang apapun aku menangis, sekeras apapaun aku memaki yang tiada tetaplah tiada,
 tiada ruang bagi harapan selain penyesalan yang abadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H