Mohon tunggu...
Rofiudin
Rofiudin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Penulisan artikel populer, volly

Selanjutnya

Tutup

Nature

Indonesia Darurat Sampah 2045: Langkah Menuju Indonesia Emas yang Bebas dari Sampah

7 September 2024   20:42 Diperbarui: 7 September 2024   22:42 1126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.freepik.com

Menyongsong Indonesia emas 2045, permasalahan sampah masih menjadi isu utama di negeri ini. Indonesia saat ini menghadapi tantangan krisis sampah yang semakin parah. Jika tidak segera ditangani, dampaknya bisa menghambat pencapaian visi Indonesia Emas 2045. Sampah yang semakin meningkat dapat merusak biota dan ekosistem alam, mencemari kualitas lingkungan, memperburuk estetika, dan menimbulkan masalah kesehatan. Hal ini tentu akan menimbulkan dampak negatif untuk berbagai dampak ekonomi dan biaya eksternalitas yang ditimbulkan. Sehingga, tidak berlebihan jika pengelolaan sampah disebut sebagai pintu masuk pembangunan berkelanjutan.

Berdasarkan data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), timbulan sampah nasional pada tahun 2023 mencapai 38,398 juta ton. Angka ini menurun tipis dari tahun 2022 yakni 38,633 juta ton. Berdasarkan komposisinya, mayoritas sampah didominasi oleh sampah sisa makanan sebesar 40,38 persen dan sampah plastik sebesar 19,19 persen. Hal ini sejalan dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai pengeluaran konsumsi makanan masyarakat Indonesia yang menghabiskan Rp 711.282,- per kapita sebulan di wilayah perdesaan dan Rp 740.588,- per kapita sebulan di wilayah perkotaan atau secara umum memiliki andil 48,99 persen dari rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di tahun 2023. Dari sisi sampah anorganik, disebutkan dalam penelitian Dr Jenna Jambeck, University of Georgia bahwa Indonesia menempati peringkat ke-2 dari 192 negara penyumbang sampah plastik di lautan. Permasalahan sampah di Indonesia menjadi semakin kompleks dengan maraknya fenomena limbah industri, sampah B3, dam mikroplastik yang turut mencemari laut Indonesia.

Menurut publikasi Statistik Lingkungan Hidup Indonesia 2023 oleh BPS, Jakarta menjadi kota dengan produksi sampah harian tertinggi, yakni sebesar 8,52 ribu ton per hari. Pertumbuhan penduduk yang meningkat (0,38 persen di tahun 2023) dan perilaku konsumsi masyarakat yang dinamis menjadi penyebab utama tingginya volume sampah di Jakarta. Kota-kota lain seperti Semarang dan Pontianak juga menghadapi masalah serupa, dengan produksi sampah harian masing-masing mencapai 5,61 ribu ton dan 1,85 ribu ton. Hal ini menjadi fenomena menarik, dimana besar sampah yang diproduksi suatu wilayah berbanding lurus dengan geliat perekonomiannya. Diwilayah itu pula seringkali ditemukan daerah kumuh, terutama di sekitar Tempat Pembuangan Akhir sampah (TPA). TPA yang overload tanpa pengelolaan sampah yang jelas, bau yang tidak sedap, serta sumber air yang tercemar sampah merupakan pemandangan yang biasa ditemui di sekitar TPA. Tentu saja warga sekitar tempat pembuangan menjadi yang paling dirugikan. Maka dari itu, dipandang perlu solusi nyata pengurangan sampah sejak mulai dari akarnya, tempat dimana sampah tersebut diproduksi.

Faktor-Faktor Penyebab Timbulnya Sampah

 Sampah dikenal sebagai dampak negatif dari pembangunan. Dari sisi produsen, para pelaku ekonomi memilih bahan baku yang paling murah untuk menekan biaya tanpa memedulikan efek jangka panjangnya. Misalnya: pabrik makanan menggunakan plastik kemasan yang tidak mudah terurai, besi baja sisa bangunan konstruksi, limbah medis rumah sakit, dan lain sebagainya. Dari sisi konsumen, masih kurangnya kesadaran lingkungan, pertumbuhan penduduk yang pesat, buang sampah sembarangan, dan perilaku konsumsi yang tidak terkontrol. Dari sisi pemerintah, masih terbatasnya infrastruktur pengelolaan sampah, edukasi tentang pentingnya menjaga kebersihan lingkungan masih kurang, serta regulasi seputar sampah yang kurang jelas .

Solusi untuk Mengatasi Krisis Sampah

Indonesia memiliki target yang cukup ambisius yaitu sebesar 30% pengurangan sampah dan 70% penanganan sampah di tahun 2025. Hal ini tertuang dalam Peraturan Presiden RI No. 97 Tahun 2017 mengenai Kebijakan dan Strategi Nasional (Jaktranas) KLHK Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Saat ini pemerintah telah memiliki platform Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) yang memonitor data timbunan sampah, untuk mencapai target pengelolaan sampah. Tentu pada pelaksanaanya perlu pedoman yang jelas dan terintegrasi, serta keterlibatan kementrian/Lembaga baik di tingkat pusat hingga pemerintah daerah, asosiasi komunitas masyarakat, serta dunia usaha.

Untuk mengatasi krisis sampah, diperlukan langkah-langkah konkret dan kolaboratif dari berbagai pihak. Pertama, dengan meningkatkan edukasi dan kesadaran masyarakat melalui kampanye lingkungan atau promosi di berbagai media sosial dan program pendidikan lingkungan sejak dini, terutama di kawasan rawan pembuangan sampah seperti daerah pesisir, bantaran sungai, dan sekitar TPA. Kedua, penggunaan teknologi canggih dan tepat guna dalam pengelolaan sampah bisa menjadi solusi efektif, seperti teknologi daur ulang plastik menjadi bahan bangunan, bakteri pengurai sampah, dan lainnya. Ketiga, kolaborasi antara pemerintah, swasta, pendidikan tinggi, dan masyarakat perlu diperkuat untuk menciptakan solusi inovatif dalam pengelolaan sampah misalnya melalui optimalisasi bank sampah. Kegiatan bank sampah sangat penting agar sampah khususnya anorganik tidak berakhir di TPA, tetapi memiliki nilai ekonomi yang baru. Perguruan tinggi dalam hal ini memainkan peranan penting dalam hal edukasi masyarakat melalui KKN ataupun penelitian tentang pengurangan sampah. Selain itu, dipandang perlu untuk memperbaiki infrastruktur pengelolaan sampah dengan membangun fasilitas yang lebih modern dan efisien. Misalnya melalui adopsi sistem tata kelola sampah yang sudah diterapkan di negara-negara maju dan kerjasama internasional. Kebijakan dan regulasi yang lebih ketat juga perlu diterapkan, penerapan ekonomi sirkular, termasuk sanksi bagi pelanggar yang membuang sampah sembarangan serta insentif bagi mereka yang terlibat dalam program pengelolaan sampah berkelanjutan. Terakhir, pengembangan program daur ulang yang lebih efektif harus didorong, baik di tingkat industri hulu maupun masyarakat sebagai hilirnya.

Perubahan besar, dimulai dari diri sendiri. Prisip zero waste atau gerakan tidak menghasilkan sampah bukan sekedar gaya hidup semata, melainkan bentuk kontribusi nyata untuk menggunakan sumberdaya secara bertanggung jawab dan berkelanjutan. Eliminasi sampah bisa kita mulai dari lingkungan terkecil diri kita sendiri, diantaranya: 3R (reuse-reduce-recycle), membawa botol minum atau kotak bekal, membawa tas dari rumah saat membeli barang, mengurangi sedotan plastik, tidak membuang makanan, tidak membeli barang berlebihan, mendukung produk lokal berkelanjutan, mendukung pertanian organik yang ramah lingkungan, memanfaatkan kerajinan dari bahan bekas, dan lain sebagainya.

Harapan untuk Masa Depan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun