Mohon tunggu...
Rofita Fadilatin Naila
Rofita Fadilatin Naila Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa Sejarah dan Peradaban Islam Adab Faculty, IAIN Sunan Ampel _you can change the world with your words_

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Grebeg Jogja Sarat Simbol Islam

28 April 2012   08:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:00 3367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1335600938923338585

Asyiknya menonton upacara Grebeg Jogja membuatku lupa akan segalanya. Upacara ini sangat unik dan pastinya bukan serapan dari negara lain, apalagi sampai di akui oleh negara lain. Kayaknya gak mungkin deh kalau upacara grebeg yang syarat makna dan simbol dari Islam. Selain itu tradisi ini sudah menjadi tradisi turun temurun dan selalu dilakukan untuk menjaga tradisi yang lekat dengan Kota Jogja. Yuk, kita lihat sejarah upacara Grebeg Jogja.

Chekidoott… :)

Dalam buku Upacara Tradisional Sekaten Daerah Istimewa Yogyakarta yang ditulis Soepanto dkk, dijelaskan bahwa Upacara Sekaten pada awalnya adalah suatu upacara yang diselenggarakan tiap tahun oleh raja-raja di Tanah Hindu, berwujud selamatan atau sesaji untuk arwah para leluhur dan dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama disebut Aswameda . Sesaji itu diselenggarakan selama enam hari, yang dilakukan dengan doa-doa dan nyanyian-nyanyian pujian disertai dengan tatabuhan yang mengandung arti memuja arwah leluhur, untuk memohon berkat dan perlindungan. Kemudian tahap kedua disebut Asmaradana , yang diselenggarakan pada hari ketujuh, merupakan penutup tahap yang pertama. Dalam tahap ini diselenggarakan pembakaran dupa besar, disertai dengan mengheningkan cipta atau semedi. Dengan masuknya agama Hindu ke Jawa, maka upacara Asmaweda dan Asmaradana masuk pula ke dalam budaya Jawa. Dan pada jaman Hindu Jawa, raja-raja Jawa juga melestarikan upacara yang diwarisi tersebut.

Hal itu ternyata berlanjut pada abad ke-14 ketika agama Islam mulai berkembang di tanah Jawa. Pada saat itu para pemuka agama Islam disebut wali. Wali yang terkenal pada masa itu berjumlah sembilan dan karena itu disebut Wali Songo. Oleh Wali Songo, upacara Asmaweda dan Asmaradana itu digunakan sebagai sarana menyebarkan agama Islam dan dilakukan dengan cara-cara yang Islami. Grebeg merupakan salah satu metode penyebaran agama islam pada waktu itudengan pendekatan budaya. Metode ini dipakai karena pada saat itu budaya dan seni bekembang dengan baik.

Melalui metode ini, islam disebarkan dengan memasukan berbagai ajaran islam dengan asimilasi dan akulturasi. salah satu wali yang sangat berpengaruh saat itu yaitu Sunan Kalijaga. Wali ini menyebarkan islam dengan cara mengumpulkan masyarakat dan membunyikan gamelan yang ditaruh di halaman Masjid Besar. Setelah masyarakat berduyun-duyun menontonnya, Sunan Kalijaga berdakwah untuk mengemukakan keutamaan ajaran agama Islam. Di sinilah lantas muncul istilah sekaten.

Sekaten berasal dari bahasa Arab Syahadatain yang mengandung makna dua kalimat syahadat. Pertama, bersaksi bahwa tak ada Tuhan yang wajib disembah kecuali Allah. Kedua, bersaksi bahwa Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah. Karena susah mengucapkan, akhirnya kata itu menjadi sekaten. Tradisi penyelenggaraan perayaan sekaten itu lantas berlanjut pada masa Kerajaan Mataram pertama di bawah pemerintahan Panembahan Senopati.

Walaupun dalam pelaksanannya dari tahun ke tahun mengalami sedikit banyak perubahan, namun inti dari tahap-tahap jalannya upacara itu tetap sama. Tahap upacara ini secara singkat adalah sebagai berikut:

•  Tahap gamelan dibunyikan pertama kali sebagai penanda dimulainya upacara sekaten. Dalam tahap ini diselenggarakan upacara udhik-udhik

•  Tahap gamelan dipindahkan ke halaman Masjid Besar

•  Tahap Sri Sultan dan pengiringnya hadir di masjid besar untuk mendengarkan pembacaan riwayat maulid Nabi SAW. Dalam tahap ini diselenggarakan juga upacara udhik-udhik.

•  Tahap dikembalikannya gamelan dari halaman Masjid besar ke dalam kraton untuk menandai ditutupnya upacara sekaten.

Kini sekaten menjadi suatu tradisi di Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Hal tersebut sesuai dengan salah satu kewajiban seorang Sultan yaitu Sayidin Panata Gama, yaitu pemimpin agama yang berkewajiban menyebarkan agama islam.

Dalam upacara sekaten banyak mengandung simbol-simbol yang mempunyai makna untuk dakwah islam. Simbol – simbol yang disajikan mengandung pola-pola berpikir, dan nilai-nilai yang ingin diwujudkan. Simbol-simbol yang disajikan di dalamnya terkandung ajaran-ajaran Islam itu sendiri.

Simbol-simbol itu antara lain terdapat dalam seperangkat gamalen yang digunakan dalam upacara sekaten. Perangkat gamelan itu terdiri dari 14 alat, masing-masing alat mempunyai arti simbol sendiri yang berkaitan dengan ajaran Islam.

Sebelum diadakan sekaten biasanya diadakan malam sekaten yang di mulai dengan pengambilan tanah dan air dari 7 sumber mata air diantaranya Pengging, Cokrotulung, Masjid Demak, Ki Ageng Selo, Ki Ageng Tarub guna pembuatan tungku yang akan digunakan untuk ritual Hajaddalem Adhang Nasi dengan menggunakan dandang Kyai Dudo. Malam sekaten biasanya diadakan di Pagelaran dan Alun – alun Utara Karaton.

Setelah proses persiapan acara grebeg Yogya selesai. Keesokan harinya adalah dimulainya arak-arakan. Prosesi rebutan gunungan atau yang dikenal sebagai grebeg ini diawali dengan arak-arakan prajurit kraton mengelilingi Kraton Yogyakarta. Setelah itu, barulah gunungan dikeluarkan untuk dibawa ke Masjid Gede yang terletak di alun-alun utara. Prosesi iring-iringan ini didahului oleh prajurit Bugis yang lantas disusul para abdi dalem sipat bupati, dan baru Kagungan Dalem Pareden (gunungan) yang terdiri dari enam gunungan. Keenam gunungan itu meliputi 2 buah gunungan lanang, 1 gunungan wadon, 1 gunungan gepak, 1 gunungan darat, serta 1 gunungan pawuhan. Semua gunungan itu dipenuhi oleh hasil pertanian seperti kacang panjang dan jagung. Dalam prosesi arak-arakan, salah satu gunungan lanang dibawa menuju Paku Alaman dan kemudian dibawa ke lapangan Sewandanan untuk diperebutkan pula. Ketika dibawa ke Paku Alaman, gunungan lanang ini dikawal lima ekor gajah.

Rebutan gunungan atau upacara grebeg diartikan merupakan simbol komunikasi kultural antara raja dan rakyatnya. Bahwa raja bisa sangat dekat dan memperhatikan rakyatnya (kawulo-nya). Ini ditandai dengan sang raja memberikan sejumlah hasil pertanian untuk rakyatnya. Sebetulnya, dalam tradisi perayaan sekaten ini tak hanya gunungan dan udhik-udhik yang sarat dengan berkah. Namun muncul pula ndok abang (telur yang diwarnai merah) serta kinang. Telur merah ini dipercaya sebagai penolak bala, sedangkan kinang jika dikunyah pas ketika gamelan berbunyi, dipercaya mampu membuat orang awet muda.

Dalam satu tahun, Grebeg di Kraton Yogyakarta dilaksanakan dalam tiga kali, yaitu Grebeg Mulud pada 12 Mulud bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, Grebeg Syawal yang diselenggarakan pada tanggal 1 bulan Syawal sebagai ungkapan terima kasih masyarakat kepada Tuhan, dengan telah berhasil diselesaikannya ibadah puasa selama satu bulan penuh dibulan Suci Ramadhan, dan Grebeg Besar yang diselenggarakan pada tanggal 10 bulan Besar, berkaitan dengan peringatan Hari Raya Qurban - Idhul Adha.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun