Mohon tunggu...
Rofiqi Putra Pertama
Rofiqi Putra Pertama Mohon Tunggu... -

Manusia takkan bisa hidup tanpa mimpi. mimpilah yang akan memabawa pemuda ini menggapai cita-citanya. sambil menari dan terus tertawa, pemuda ini terus melangkahkan kakinya demi amanat Tuhan Menjadi Pemimpin Bangsa dan Pemimpin umat. Pengalaman yang telah diperolehnya ia jadikan seberkas hikmah yang tak padam oleh saburan angin.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Partai Koalisi, Profesionalisme Politik dan Reshuffle Kabinet Oleh: Rofiqi*

3 Maret 2011   19:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:05 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pentas politik di Indonesia kembali bergoyang pasca sidang paripurna penentuan pemberlakuan atau tidaknya hak angket pajak. Hal tersebut dikarenakan pecahnya suara dari partai koalisi pemerintah yang tergabung dalam sekretaris gabungan (sekgab).

Golkar dan PKS yang selama ini masuk dalam partai koalisi pemerintah, mengambil sikap yang berbeda dengan Partai Demokrat yang notabene partai pendukung utama pemerintah. Keduanya bergabung dengan PDIP, mengambil sikap oposisi dengan tujuan memberlakukan hak angket pajak.

Hal tersebut kemudian menimbulkan dinamika politik yang sangat ketat dalam sidang paripurna. Terlihat pada hasil voting yang menolak hak angket pajak dengan hanya selisih 2 suara (166-164). Partai pendukung pemerintah bersorak gembira dengan kemenangan yang diraihnya. Akan tetapi, tidak ada api politik sebelum ada asap politik. Meskipun kepentingannya tercapai, pihak Partai Demokrat meminta SBY untuk mengevaluasi partai yang selama ini tergabung dalam koalisi, namun dalam berbagai keputusan, seringkali mengambil sikap yang berbeda.

Api liar politik semakin memanas karena dampak dari pengambilan keputusan yang berbeda tersebut, mengarah pada isu reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu jlilid ke II. Selain itu, juga berpengaruh pada pecahnya koalisi partai yang telah mengantarkan SBY pada RI I dan kemudian dibangun dalam sekretaris gabungan (sekgab).

Keberadaan Sekgab (sekretaris gabungan) yang di dalamnya terdapat seluruh partai koalisi pemerintah, janganlah dimaknai sebagai alat untuk menyeregamkan pendapat politik yang kemudian berakhir pada penyeragaman pengambilan keputusan politik. Sekgab harus dimaknai sebagai forum non formal yang hanya menjadi alat komunikasi politik. Penyeragaman pendapat dan penyeragaman sikap, hanyalah menjadikan dinamika politik menjadi senyap, sepi, dan tak ada keseimbangan antara penguasa dan oposi-si. Lebih jauh lagi, tak ada kontrol politik terhadap pemerintah. Sehingga, bisa jadi, kemudian yang muncul adalah kepemerintahan yang koruptif dan manipulatif.

Perbedaan pendapat dan perbedaan sikap yang terjadi ditubuh sekgab merupakan sebuah pilihan politik yang dijamin kebebasannya. Namun, kebebasan berpendapat dan kebebasan mengambil keputusan politik kadangkala memang dirampas oleh kepentingan-kepentingan politik pragmatis. Sehingga elite atau partai politik yang terancam struktur kekuasaannya, bisa saja mengambil langkah aman dengan bersikap oportunis. Jika tidak, maka posisi struktur jabatannya akan terancam.

Memang sejatinya, isureshuffle kabinet sudah bermula dari pengeluaran rapor merah kinerja para menteri beberapa waktu yang lalu. Pada waktu itu ada beberapa menteri yang diisukan akan di reshuffle, diantaranya adalah Tifatul Sembiring, Muhaimin Iskandar, Suryadharma Ali, dan beberapa menteri lainnya. Akan tetapi, hingga saat ini reshuffle kabinet tak kunjung terjadi. Mereka yang kinerjanya tak kunjung memberikan harapan kepada public, dan juga mendapatkan rapor merah, tetap aman berada di posisi menteri.

Perbedaan sikap dalam sidang paripurna hak angket pajak yang disinyalir akan mengarah pada reshuffle cabinet, tentunya masih dipertanyakan bakal terjadi. Hal ini dikarenakan merombak kabinet tak semudah seperti membalikkan tangan. Apalagi, upaya tersebut didasarkan pada kepentingan politis. Bukan, terhadap bagus tidaknya kinerja para menteri dalam menjalankan tugasnya.

Sebenarnya sangat naïf sekali jika upayareshuffle benar-benar terjadi berdasarkan kepentingan politik. Hal ini tentunya akan mengarah pada stabilitas kepemerintahan yang akan lebih banyak bernuansa politis. Jika kemudian terjadi pergantian kader partai yang berada di kabinet, pertanyaan yang muncul adalah, apakah partai yang masuk dari oposisi ke koalisi ada jaminan tidak akan pernah mengambil sikap yang berbeda dengan pertai pendukung utama pemerintah?

Jika juga mengambil sikap yang berbeda, apakah kader partai yang menjadi menteri juga akan mengalami nasib yang sama dengan menteri yang didepak karena partainya tidak menyeragamkan pendapat dan sikap politik?

Hemat penulis, meskipun di Kabinet Indonesia Bersatu jilid I, SBY beberapa kali mengganti menterinya, dalam hal ini SBY bersikap hati-hati untuk membuat keputusan. Hal ini dikarenakan para aktor politik memainkan intrik politk saling sandera. Akibatnya, bisa jadi isu reshuffle kabinet akan mengalami nasib yang sama dengan sebelumnya, yang hanya menjadi gertakan politik saja.

Terlepas dari konflik politik saling sandera yang saat ini terjadi, sebaiknya jika benar akan terjadireshuffle kabinet. Maka pertimbangan yang diprioritaskan harusnya pertimbangan kinerja. Sebab, masyarakat sudah jenuh dengan permainan politik. Oleh karenanya, pemerintah sebaiknya lebih menggunakan waktu dan tenaganya untuk melayani kepentingan publik, daripada melayani kepentingan dirinya dan kelompoknya. (*)

*Peneliti Muda di Lembaga Persemaian Kepemimpinan dan Pemikiran, Nusantara Centre Jakarta

http://www.nusantaracentre.co.id/

(Opini Radar Surabaya, Kamis 03 Maret 2011)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun