Mohon tunggu...
Rofiqi Putra Pertama
Rofiqi Putra Pertama Mohon Tunggu... -

Manusia takkan bisa hidup tanpa mimpi. mimpilah yang akan memabawa pemuda ini menggapai cita-citanya. sambil menari dan terus tertawa, pemuda ini terus melangkahkan kakinya demi amanat Tuhan Menjadi Pemimpin Bangsa dan Pemimpin umat. Pengalaman yang telah diperolehnya ia jadikan seberkas hikmah yang tak padam oleh saburan angin.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dilema Pembangunan Gedung DPR

4 April 2011   16:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:07 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setelah rencana pembangunan gedung baru DPR sempat senyap akibat permasalahan seperti mafia pajak dan kekerasan atas nama agama, kini rencana itu mencuat lagi dan terus menuai kontroversi. Sebagian elit politik mendukung, tapi sebagian lagi menolak.

Menurut Ketua DPR Marzuki Alie, gedung baru DPR berada di tingkat paling murah di antara gedung lain seperti gedung MK dan Kementerian Perdagangan. Gedung baru DPR memakan biaya Rp 7,2 juta per meter persegi. Sedangkan gedung MK Rp 9 juta dan Kementerian perdagangan Rp 8,6juta. “Jangan asal ngomong mahal, mewah. Mewahnya di mana? Kolam renang nggak ada, spa nggak ada, kita buat sesederhana mungkin,” kata Marzuki (Radar Surabaya, 31 Maret).

Sejatinya, usulan pembangunan gedung baru tersebut semakin merusak citra anggota dewan di mata masyarakat. Hal ini dikarenakan biaya yang digunakan untuk pembangunan cukup besar. Rusaknya citra anggota dewan bisa jadi akan membuat masyarakat semakin apatis terhadap anggota dewan maupun pemerintah.

Karena itulah, kendati usulan pembangunan gedung paripurna sudah mendapatkan persetujuan dalam sidang paripurna, ada baiknya jika sebelum gedung tersebut benar-benar dibangun, perlu dipikirkan ulang terlebih dahulu. Bukankah gedung yang lama masih bisa difungsikan?

Pembangunan gedung baru memakan banyak biaya serta sangat mewah. Pernyataan Marzuki Ali yang menyatakan ‘mewahnya di mana’ sangatlah naif. Pernyataan tersebut dilandaskan pada perbandingan pembangunan gedung yang lain. Apakah ini mengindikasikan para elit politik berorientasi pada hidup mewah dan glaumor?

Bukankah gedung yang lama masih layak dipakai dan tidak akan ambruk untuk beberapa tahun ke depan? Hanya saja, jika memang ada fasilitas yang tidak layak dan kurang, lebih baik direnovasi dan ditambah, sehingga bisa menekan angka biaya. Tentunya memperbaiki dan menambah fasilitas adalah solusi yang lebih bijaksana daripada membagun gedung baru.

Tidak etis jika wakil rakyat bermegah-megahan di tengah kondisi rakyat yang hidupnya sengsara. Masih banyak rakyat bertempat tinggal di kolong jembatan. Banyak anak putus sekolah. Kemudian, pengangguran dan kemiskinan kian merajalela. Jika para anggota DPR bisa menahan nafsu glamornya , bukankah anggaran tersebutbisa dialokasikan untuk pemberantasan kemiskinan, membiayai anak putus sekolah, serta mengatasi keterpurukan rakyat di segala bidang. Jika ada alasan lain untuk meningkatkan kinerja anggota dewan, apakah pembangunan gedung baru merupakan solusi? Tidak ada jaminan yang jelas dan konkret dengan dibangunnya gedung baru, kinerja anggota DPR semakin baik. Justru sebaliknya, fasilitas yang mewah seperti kolam renang dan spa justru akan membuat anggota dewan semakin melupakan tugas mulianya sebagai pejuang rakyat.

Terlepas dari semua itu, DPR adalah lembaga legislatif yang berfungsi sebagai pengawas kinerja eksekutif. Jika anggota dewan sibuk mengurus kesejahteraan dan kenyamanan dirinya, maka pengawasan terhadap eksekutif dan program untukkesejahteraan rakyat tidak akan berjalan maksimal.

Hal ini bukan berarti anggota dewan tidak berhak mendapatkan fasilitas yang nyaman. Akan tetapi, permintaan tersebut harus benar-benar dipertimbangkan dengan matang, sehingga tidak memunculkan kekecewaan di ranah grass root. Alangkah lebih baiknya jika anggota dewan terlebih dahulu memprioritaskan kesejahteraan rakyat. Artinya, menjalankan kewajibannya sebagai anggota dewan.

Jika kewajiban anggota dewan sudah dijalankan, tentunya rakyat akan mendukung anggota dewan mendapatkan haknnya. Sebaliknya, jika pelaksanaan kewajiban anggota dewan belum dikerjakan semaksimal mungkin, sudah tentu rakyat akan memprotes. Di sinilah ketika terjadi keseimbangan antara hak dan kewajiban, kehidupan bersama yang sejahtera akan tercapai. Tidak seperti apa yang sudah terjadi selama ini. Ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban menimbulkan kesenjangan yang begitu lebar di tengah-tengah masyarakat. Yang kaya semakin kaya, yang miskin bukankah semakin miskin? (*)

*Peneliti Muda di Lembaga Nusantara Centre Jakarta.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun