Perubahan UUD 1945 yang dibuat MPR pada Sidang Umum MPR 1999, bertujuan salah satunya adalah untuk mempertegas sistem presidensiil, dimana kekuasaan pemerintahan menurut UUD 1945 (Amandemen) Pasal 4 ayat (1) Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Sedangkan DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang sesuai dengan Pasal 20 ayat (1).
Kalau kita cermati ketentuan kedudukan Presiden dalam UUD 1945, bahwa kedudukan presiden tidak bergantung pada parlemen seperti dalam sistem parlementer DPR. MPR juga tidak dapat dengan mudah memberhentikan presiden dan atau wakil presiden dalam masa jabatannya, kecuali karena melakukan pelanggaran hukum tertentu yang harus diputuskan terlebih dahulu melalui mekanisme hukum dalam forum pengadilan Mahkamah Konstitusi.
Itulah amanat Undang-undang Dasar 1945 hasil Amandemen, dimana Presiden memegang otoritas penuh dalam kekuasaan pemerintahan, termasuk tentunya dalam menentuan para menteri-nya yang notabene sebagai pembantu dalam pemerintahan. Kini di tengah rencana reshuffle Kabinet oleh Presiden SBY - pemegang penuh kepala pemerintahan, ada kesan Pak Beye maju-mundur dan ragu-ragu untuk me-reshuffle kabinet, terutama menteri-menteri dari kalangan Partai Politik.
Dalam penyusunan Kabinet, paling tidak ada dua pendekatan yaitu: zaken kabinet dan parpol kabinet. Zaken kabinet adalah pemilihan kabinet semata-mata hanya mempertimbangkan profesionalitas, kapasitas, kompetensi, dan pengalaman seseorang - terlepas dari apapun latar belakang politik, agama, dan daerah. Namun ternyata realitas politik tidak sesederhana yang dibayangkan. Maka meskipun Pak Beye memenangkan Pilpres 2009 dengan angka gemilang lebih dari 60% suara, namun ketika menyusun kabinet tidak mungkin menolak para menteri titipan dari Parpol Anggota Koalisi. Akhirnya seperti pada periode pertama pemerintahan SBY, pada periode pemerintahan Pak Beye yang kedua inipun para menteri utama masih didominasi dari kalangan Parpol bukan dari kalangan profesional.
Harapan dari koalisi tambun dengan 6 Partai Politik, yaitu: PD, Golkar, PAN, PKB, PPP dan PKS adalah efektifitas dan optimalisasi pemerintahan yang kompak di eksekutif dan support penuh dari anggota koalisi di Parlemen. Namun harapan tinggalah sebuah harapan kosong, karena dari 1,5 tahun berjalannya koalisi tambun ini tenyata tidak menjamin support penuh dari anggota koalisi di parlemen. Beberapa kebijakan pemerintah acap kali terganjal oleh Parlemen, bahkan dari Parpol yang notabene merupakan anggota koalisi.
Ketidak harmonisan itu akhirnya menyulut keresahan di kalangan anggota koalisi yang masih loyal kepada Pemerintahan Presiden SBY. Maka atas berbagai realitas politik tersebut Pak Beye sudah membulatkan tekad untuk mengadakan reshuffle kabinet. Namun sayangnya reshuffle kali ini bukan sebagai evaluasi untuk menggantikan para menteri titipan Parpol yang kurang berkinerja baik, digantikan dengan menteri dari kalangan profesional. Namun reshuffle kali ini lebih merupakan reshuffle copy paste, dimana penggantian menteri titipan Parpol anggota koalisi, digantikan dengan menteri titipan Parpol yang lain.
Ketika evaluasi kabinet ini acuannya merupakan reshuffle copy paste, maka pertimbangannya akan semakin rumit dan pelik. Sampai kini belum ada kepastian skenario yang akan diterapkan, dari mulai hitung-hitungan pelengseran Golkar dan PKS dari koalisi digantikan Gerindra dan PDIP, namun sayangnya baru Gerindra yang kasih lampu hijau, sementara PDIP masih menunggu kata akhir dari Megawati. Kalau toh akhirnya PDIP menolak pinangan Pak Beye, dan rencana pelengseran Golkar dan PKS jalan terus, gabungan kursi PD, PPP, PAN, PKB dan Partai Gerindra adalah 283, lebih banyak daripada gabungan kursi PG, PDIP, PKS dan Partai Hanura, yang berjumlah 277. Namun selisihnya hanya 6 kursi, menjadikan situasi di parlemen benar-benar sulit.
Inilah rumit dan peliknya buah konsekuensi dari reshuffle copy paste dan penerapan sistem Presidensial setengah hati. Semua perhitungan berdasarkan pada tarik-menarik kepentingan Parpol di Parlemen. Padahal kita sudah menerapkan Pilpres langsung, yang merupakan cermin dan penegasan dari penerapan sistem Presidensial penuh dan bulat, masihkah Pak Beye kurang pedhe?
Twitter: @rofiq70
FB: arofiq aja
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H