[caption id="attachment_220557" align="alignnone" width="460" caption="Mak Yati - foto: Rini/detikcom"][/caption] Pada perayaan Hari Raya Qurban Idul Adha 10 Zulhijjah 1433 H yang baru saja usai kita rayakan, terasa begitu istimewa buat masyarakat yang tinggal di Jabotabek pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Pertanyaannya siapa sosok yang mampu mengguncang kesadaran kolektif ini, yang jelas bukanlah sosok birokrat, sosok politisi, sosok tokoh masyarakat, sosok cendekiawan, dan juga bukan sosok seorang ustadz ataupun Kyai. Sosok yang mampu menggedor hati setiap orang itu datangnya dari Mak Yati, dialah seorang pemulung. Sosok Mak Yati begitu fenomenal, sampai-sampai selama empat hari ini nama Mak Yati "pemulung" yang berkurban 2 ekor kambing mendadak begitu terkenal. Beberapa media cetak nasional maupun media online menjadikan kisah Mak Yati sebagai headline utama. Bahkan Menteri Sosial Salim Segaf Al-Jufri langsung mendatangi Mak Yati ke gubuk reotnya. Pak Menteri memberikan modal usaha untuk Mak Yati dan suami sebesar Rp 5 juta, dan menawarkan menjadi fasilitator bagi Mak Yati apabila ingin pulang ke kampung halamannya di Surabaya, Jawa Timur. Sudah sekian lama perayaan Hari Raya Qurban Idul Adha lebih merupakan ritual tahunan, yang hampir tampa meninggalkan bekas pada makna dan hikmah dibalik perayaan Hari Raya Qurban. Hari raya Idul Adha itu sendiri adalah untuk memperingati Nabi Ibrahim As yang menebus putranya dengan sembelihan yang agung. Dalam kilasan peristiwa tersebut seolah-olah kita diingatkan untuk mau bersikap seperti Nabi Ibrahim yang rela mengorbankan harta satu-satunya, yakni putranya sendiri Ismail kepada Allah SWT, meski di akhir kisahnya ia digantikan dengan seekor libas gemuk dan dagingnya dibagi-bagikan kepada kaum miskin. Kisah Nabi Ibrahim yang rela mengorbankan harta satu-satunya, yakni putranya sendiri Ismail kepada Allah SWT, mampu menggetarkan alam semesta karena merupakan puncak keimanan dan kepasrahan dari seorang hamba kepada Tuhan nya. Dalam bentuk yang lain kisah Mak Yati rela mengorbankan harta satu-satunya, yakni 2 ekor kambing yang bernilai Rp 3 juta yang dikumpukannya selama 3 tahun, dapat menggedor kesadaran publik akan makna terdalam dari perayaan Hari Raya Qurban Idul Adha. Publik memang begitu tersentak akan kisah Mak Yati yang mungkin "ada kemiripan" dengan kisah Nabi Ibrahim dalam konteks rela mengorbankan harta satu-satunya. Selama ini kisah Nabi Ibrahim sudah tampil bagaikan mitos yang tidak mungkin seorang manusia bisa mencontoh pengorbanan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim. Kemunculan kisah Mak Yati dalam dunia nyata seolah-olah mengembalikan kesadaran kolektif bahwa selama ini kita sudah sedemikian jauh meninggalkan nilai-nilai luhur yang diajarkan para pendahulu kita. Kita pantas meneteskan air mata keharuan betapa kisah pengorbanan Nabi Ibrahim yang sudah terjadi ribuan tahun yang lalu tersebut, menemukan contoh hidupnya dalam sosok Mak Yati. Selama ini, kehidupan kita sehari-hari sudah dipenuhi oleh berbagai asesoris duniawi yang bersifat materialistis, semua hanya mempertimbangkan untung dan rugi. Sudah sekian lama hati kita begitu kosong akan spirit kebersamaan dan rela berkorban untuk kepentingan bersama. Bahkan acapkali kita juga mendahulukan kepentingan pribadi diatas kepentingan umum. Publik sudah lama tidak menemukan tokoh panutan seorang pemimpin sederhana yang mau berkorban untuk kepentingan masyarakat tanpa embel-embel untuk pencitraan. Selama ini berbagai aksi sosial atau aksi populer dari sosok pemimpin lebih banyak untuk membangun citra pubik guna meraih kedudukan yang lebih tinggi. Mudah-mudahan spirit pengorbanan Mak Yati yang tanpa pamrih ini menjadi pelajaran yang sangat berharga, khususnya bagi para pemimpin kita dan umumnya untuk seluruh rakyat Indonesia. Pengorbanan tanpa pamrih tidak harus dalam bentuk orasi yang berapi-api namun kosong makna dan keteladanan. Ada puluhan, ratusan, bahkan ribuan sosok Mak Yati yang ada di Republik Indonesia ini, yang rela mengorbankan harta satu-satunya untuk kepentingan bersama. Bahkan para Founding Fathers kita rela mengorbankan semua harta dan bahkan nyawa sekalipun untuk meraih kemerdekaan Indonesia. Jangan sia-siakan pengorbanan para pendahul kita, NKRI ini dipupuk oleh cucuran keringat dan darah para pahlawan. Nilai-nilai kesederhanaan, kebersahajaan dan rela untuk berkorban menjadi sebuah kerinduan yang dalam bagi ranah publik. Andakata para pemimpin kita mempunyai sifat dan nilai-nilai luhur tersebut, maka bangsa Indonesia pasti akan jauh lebih makmur dan bermartabat. Kita jadi ingat lirik lagu Bimbo dengan judul Warisan ........ketika Khalid bin Walid meninggal, pahlawan perang yang gagah berani, ditinggalkannya seorang pembantu, sebilah pedang dan seekor kuda. Waktu Umar gagah berani perkasa wafat penakluk kerajaan Pesia dan Roma, warisannya sehelai baju dan uang sebanyak 5 dinar saja. Contoh gemilang dari masa dahulu kami menyimak dengan penuh rindu, bisakah kiranya pada ini zaman berulang kembali jadi teladan.......... FB: arofiq aja Twitter: @rofiq70
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H