Penulis terus terang tergelitik dengan pernyataan pers yang termuat dalam hasil reportase Kompas.com (1/12/2010) bahwa Pihak stasiun televisi RCTI mengajukan nota keberatan atas laporan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) ke Mabes Polri. KPI mengadukan Direktur Utama RCTI Hary Tanoe Soedibyo dengan sangkaan telah melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Pertanggungjawaban Materi Siaran.
PihakRCTI menyatakan keberatan atas sikap tegas KPI. "Yang pasti, kami sebagai media takut karena KPI sudah seperti Deppen (Departemen Penerangan) di masa lalu. Kami juga masih dalam proses keberatan," kata juru bicara RCTI, Arya Sinulingga, ketika dihubungi di Jakarta, Rabu (1/12/2010).
Arya menilai, pelaporan RCTI berdasarkan alasan bahwa KPI merupakan penyambung lidah masyarakat tidak tepat. "Begini, bagaimana kalau ada 1.000 surat, aduan atau e-mail yang mengatasnamakan masyarakat menuntut stasiun TV lain, apa KPI juga akan memidanakan stasiun tersebut? KPI ini menurut kami sudah seperti Deppen masa lalu. Padahal, KPI adalah lembaga produk reformasi," kilah Arya.
Inilah kutipan beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Pertanggungjawaban Materi Siaran.
Pasal 34
(5) Izin penyelenggaraan penyiaran dicabut karena :
a. tidak lulus masa uji coba siaran yang telah ditetapkan;
b. melanggar penggunaan spektrum frekuensi radio dan/atau wilayah jangkauan siaran yang ditetapkan;
c. tidak melakukan kegiatan siaran lebih dari 3 (tiga) bulan tanpa pemberitahuan kepada KPI;
d. dipindahtangankan kepada pihak lain;
e. melanggar ketentuan rencana dasar teknik penyiaran dan persyaratan teknis perangkat penyiaran; atau