Ungkapan judul ini mungkin terkesan sarkasme, namun itulah fakta yang kita lihat sehari-hari dalam setiap kesempatan, baik dalam tampilan di media maupun kenyataan yang kita rasakan sehari-hari. Untuk kalangan pejabat kepala daerah, antara tahun 2004-2010 (enam tahun) tercatat 156 kepala daerah tersandung masalah korupsi. Dari jumlah itu 17 orang diantaranya menjabat sebagai Gubernur, 120 orang menjabat sebagai Bupati dan 19 orang sebagai Walikota.
Bagaimana dengan politisi, setali tiga uang mungkin secara prosentase angkanya tak jauh beda dengan jumlah pejabat yang yang kena masalah korupsi. Dari pejabat maupun politisi yang tersandung masalah korumsi ini kita bisa mengkatagorikan sebagai kebohongan besar karena telah mengingkari amanah rakyat. Kelompok kebohongan besar ini secara kuntitatif maupun kualitatif prosentasenya terus meningkat dari tahun ke tahun.
Seiring dengan era pemilihan langsung kepala daerah, maka masing-masing kepala daerah harus menyediakan gizi yang notabene sejumlah uang untuk team suksesnya. Untuk memenangkan pemilihan kepala daerah mereka harus menyewa konsultan politik yang ciamik, team sukses kuat, program kampanye di media dan outdoor yang menggebu dan tak jarang mereka juga harus menghamburkan sejumlah gula-gula (uang atau sembako) untuk dibagikan kepada calon pemilih.
Pertanyaan selanjutnya, masih adakah manusia di Indonesia ini yang begitu suci dan jujur, yang punya obsesi ingin menjadi pejabat dengan menghamburkan begitu banyak uang, semata-mata tidak mengharapkan imbalan ketika nanti terpilih sebagai pejabat. Artinya kalau calon pejabat itu memang jujur, maka dia sejak akan mencalonkan diri dalam Pilkada sudah harus siap rugi secara materiil. Karena memang ongkos politik yang harus ditanggung sang Kandidat Kepala Daerah amatlah mahal. Secara hitung-hitungan matematika sederhana saja, kalau sekedar mengandalkan gaji sebagai kepala daerah, mustahil bisa mengembalikan invertasi politik tersebut.
Keadaan seperti yang tergambar dalam Pilkada ini terjadi juga dalam Pemilihan Anggota Legislatif baik di pusat sebagai DPRRI dan DPD maupun di daerah sebagai DPRD I dan PDRD II. Bahwa ongkos politik untuk dapat terpilih menduduki jabatan sebagai Kepala Daerah maupun anggota legislatif jauh lebih besar dibandingkan jumlah gaji selama menjabat. Lingkaran setan ini tentu tidak dapat kita putus begitu saja, selama mayoritas masyarakat juga masih berpikir pragmatis dalam penentuan pememilihan Kandidat yang mereka pilih. Akhirnya ungkapan bahwa Jangan jadi pejabat atau politisi kalau belum bisa bohong, masih sangat relevan hingga detik ini......
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H