tempointeraktif.com
Dalam sebuah Laporan Utama Majalah Tempo Edisi. 33/XXXV/09 - 15 Oktober 2006 tersebutlah sebuah kisah, bahwa: tiga hari sebelum lengsernya Soeharto di Senayan Ketua MPR/DPR Harmoko bersama pimpinan Dewan lain meminta Soeharto turun takhta. Padahal, selama belasan tahun Harmoko membuktikan diri sebagai pembantu yang amat takzim. Bekas Menteri Penerangan itu adalah salah satu confidant, orang kepercayaan Soeharto selama separuh lebih masa kepresidenannya.
Dari Jalan Cendana, Soeharto menyaksikan semua kartu as lepas dari tangannya. Salah satu yang utama, faktor ekonomi. Indonesia pernah dijuluki ”Macan Asia” karena keperkasaan negeri ini di bidang ekonomi. Sejarah pertumbuhan pada awal era Orde Baru pernah mencatat sejumlah prestasi. Ekonom Emil Salim pernah menulis bahwa indeks biaya hidup di Indonesia antara tahun 1960 dan 1966 naik 438 kali lipat.
Pemerintah saat itu menggulirkan antara lain kebijakan deregulasi dan debirokratisasi untuk menyelamatkan ekonomi. Sebut contoh, Paket 10 Februari dan 28 Juli 1967. Pemerintah membuka diri untuk penanaman modal asing secara bertahap. Dengan cara itu, inflasi bisa dijinakkan perlahan-lahan. Dari sekitar angka 650 persen (1966) hingga terkendali di posisi 13 persen (1969). ”Ini prestasi yang diraih pemerintah saat itu,” tulis Emil.
Hampir tiga dekade kemudian, Soeharto turun panggung dengan utang Republik tak terkira. Utang baru US$ 43 miliar (kini setara Rp 387 triliun) dari Dana Moneter Internasional, IMF, tak mampu menyangga nilai rupiah. Hari itu, 21 Mei 1998, pasar uang menutup transaksi dengan Rp 11.236 per dolar AS—terjun bebas dari Rp 2.500 per dolar AS. Pada awal 1998, rupiah sampai terjengkang ke jurang: Rp 17.000 per dolar AS.
Seorang pakar sistem dewan mata uang (currency board system/CBS) asal Amerika, Steve Hanke, didatangkan ke Indonesia menjelang kejatuhan Soeharto. Berkali-kali dia mengingatkan Soeharto agar tak mempercayai IMF, karena lembaga ini khawatir CBS bakal sukses diterapkan di Indonesia. ”Washington punya kepentingan agar krisis berlangsung terus sehingga Anda jatuh,” kata Hanke kepada Soeharto seperti diulanginya kepada Tempo, Jumat pekan lalu.
Soeharto percaya. Dan Hanke diangkat sebagai penasihat khusus. Ia bahkan sempat menyebut CBS dalam pidatonya di depan Sidang Umum MPR 1 Maret 1998. Tapi utang terus melemahkan posisi Soeharto. Sembari para sekutunya lepas satu-satu.
Seakan belum cukup semua bala, Soeharto ditinggalkan pula oleh pilar yang dibinanya selama puluhan tahun: ABRI. Seorang jenderal purnawirawan yang cukup berperan pada era 1998 membuka ceritera ini kepada Tempo pekan lalu. ”ABRI,” kata jenderal itu, ”satu-satunya kekuatan yang disangka Pak Harto masih mendukungnya, juga meninggalkan dia.” Itulah pukulan telak terakhir yang menghantam jenderal tua yang sudah goyah itu.
Maka, pada Kamis malam 20 Mei—sebelum dia memanggil Wiranto dan Subagyo—Soeharto mengumpulkan putra-putri dan kerabatnya. Seorang tokoh dari lingkar dalam Cendana menuturkan kembali kenangan delapan tahun silam itu kepada Tempo, pekan lalu: ”Titiek dan Mamiek (nama kecil Siti Hutami Adiningsih) menangis selama pertemuan.”
Dia juga menirukan kata-kata putra ketiga Soeharto, Bambang Trihatmodjo, yang bertanya kenapa ayahnya tidak mundur sesuai dengan jadwal. Siti ”Tutut” Hardijanti Rukmana, anak sulung keluarga Cendana, membuka suara: ”Sama saja, besok atau lusa Bapak harus mundur!”
Jadwal yang dimaksudkan Bambang adalah skenario awal mundurnya Soeharto yang telah disampaikan mantan presiden itu kepada keluarganya. Yakni, mengumumkan pembentukan Komite Reformasi pada 21 Mei, merombak kabinet pada 22 Mei. Dan, lengser pada 23 Mei. Namun apa daya, takdir berkata lain Jenderal besar harus turun tahta 2 hari sebelumnya, tanggal 21 Mei 1998.
Kalau kita kembali kepada NH, apakah sudah ada tanda-tanda takdir nasib akan melengserkan NH dalam jangka pendek ini, minimal NH tidak akan mencalonkan kembali dalam pemilihan Ketua Umum PSSI periode 2011-2015. Saya melihat bahwa posisi NH dengan PSSI nya ini mirip kisah kejatuhan Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998. Satu per satu kartu As yang dia pegang NH terlepas.
Pertama, kini kompetisi ISL sudah ada tandingannya, yaitu: LPI yang secara sepintas saja kelihatan lebih menjunjung profesionalitas, transparan dan fair play. Keunggulan LPI dibandingkan ISL sudah pernah saya posting dengan judul:FIFA Akui Suratnya, Tapi Skor LPI Vs ISL Tetap 3 - 0
Kedua, satu per satu bukti-bukti kebobrokan PSSI dengan kompetisi ISL-nya sudah mulai terlihat. Mulai dari beredarnya bukti surat dukungan untuk mencalonkan diri NH menjadi ketua PSSI periode ke-3 Terbukti Nurdin Galang Dukungan, sampai yang paling telak adalah laporan utama dari Majalah Tempo Tempo Bongkar Habis Kebobrokan “KoruPSSI” Laga ISL!
Kini tinggal tunggu dalam beberapa minggu ke depan apakah NH masih bisa mengelak dari ketentuan takdir nasibnya, buat saya NH yang sekarang.......Time is up, The game is over!Si Gayus pun ketika semua bukti sudah terpapar dalam ranah opini publik, akhirnya dengan ksatria mengakui dan membenarkannya, tanpa harus muter-muter dan ngeles lagi..........
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H