Mohon tunggu...
Arofiq Rofiq
Arofiq Rofiq Mohon Tunggu... profesional -

Nama lengkap arofiq biasa dipanggil rofiq, kenapa di kompasiana Username URL-nya menggunakan inisial rofiq70, ya karena sudah terlanjur dan sekedar memberi tanda lahir di tahun 1970, maksudnya biar nggak bandel lagi karena umurnya udah semakin tua……hehehe. Pernah menjadi wartawan majalah remaja dan mode 15 tahun yang lalu. Sekarang berkiprah di dunia per-konsultan-an bidang manajeman, komunikasi perusahaan, media sosial, etc…….

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Pantaskah “Wakil Tuhan” Rebutan Ipod?

24 Maret 2014   14:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:34 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin baru pertama di dunia ada sebuah Rapat di Gedung Mahkamah Agung membahas tentang Ipod. Memang benar bahwa MA menggelar rapat pada hari Rabu Tanggal 19 Maret 2014 dengan agenda mengenai dugaan gratifikasi souvenir iPod saat pernikahan anak dari Sekretaris Mahkamah Agung (Ses MA) Nurhadi di Gedung MA, diputuskan bahwa iPod tersebut bukanlah gratifikasi.

Untuk MA yang mempunyai predikat dan kedudukan yang sangat terhormat sebagai perpanjangan tangan Wakil Tuhan di Dunia, rapat ini sungguh terkesan aneh dan mungkin sangat menggelikan. Mengapa tokoh-tokoh simbol tertinggi dalam penegakan keadialan harus tergelincir untuk membahas pada masalah yang sangat remeh-temeh, sebuah benda yang bernama iPod. Pemutar music digital produk Apple yang sangat populer terutama bagi kalangan ABG.

Penulis tidak membahas masalah ini pada konteks legal, apakah bagian dari gratifikasi atau bukan, namun saya akan lebih menyorot ini pada tataran etik atau kepantantasan dari sosok anggota MA. Posisi MA dalam tata urutan peradilan di Indonesia menduduki kasta yang paling tinggi atau sebagai benteng terakhir keadilan, artinya sosok anggota MA sudah menjauhkan diri dari unsur-unsur keduniawian dan dekat dengan unsur-unsur wisdom atau kebijaksanaan.

Dari parameter tataran etik atau kepantasan, paling tidak ada tiga hal yang harus kita kritisi. Pertama, dari sisi Sekretaris Mahkamah Agung (Ses MA) Nurhadi yang mengumbar kemewahan pada resepsi putri kesayangannya, yang ditandai dengan sebuah souvenir Ipod. Pemberian soivenir memang merupakan sebuah tradisi pada sebuah acara walimahan, namun biasanya hanya sekedar buah tangan untuk kenang-kenangan yang nilainya 10 ribu sampai 25 ribuan. Baru pada kesempatan ini ada buah tangan souvenir yang bernilai “wah”, dengan harga di pasaran 700 ribu per buah. Padahal pada acara pernihakan putri Ses MA Nurhadi diundang 2500 orang tamu yang semuanya dibagikan iPod, sehingga nilainya sekitar 1,7 M.

Terlepas dari beberapa bantahan dari pihak Ses MA Nurhadi bahwa itu berasal dari Menantunya yang diimpor langsung dari Amerika dengan bukti pembayaran senilai 500 ribu pada pertengan tahun 2013. Kalau mau kritis sebenarnya mendatangkan barang sebesar 2500 buah iPod tanpa melewati importir resmi patut dipertanyakan juga, apakah sudah menyelesaikan ketentuan perpajakan yang ada. Disamping itu juga masalah yang lebih substansial yakni kepantasan, apakah untuk menunjukkan sebuah status sosial harus menghamburkan kemewahan yang super. Mengingat secara pribadi Ses MA Nurhadi konon juga belum memberikan laporan harta kekayaan nya, tentu publik pantas untuk mempertanyakan integritasnya.

Kedua, dari sisi penerima souvenir iPod terutama para pejabat di MA yang merupakan rekan sejawat dari Sekretaris Mahkamah Agung (Ses MA) Nurhadi. Ketika para anggota KY yang beberapa orang ikut diundang dengan sigap langsung melaporkan dan menyerahkan souvenir iPod ini ke KPK sebagai bagian dari itikad baik dan menunjujung integritas nya. Biarkan masalah souvenir ini sepenuhnya ditentukan oleh KPK sebagai institusi yang berwenang menentukan sebagai bagian dari gratifikasi atau bukan. Anehnya beberapa jajaran pejabat MA yang ikut menerima souvenir ini mala maju mundur untuk menyerahkan ke iPod nya ke KPK. Bahkan saking dianggap pentingnya masalah souvenir iPod ini, sebagaimana dalam pembukaan dalam tulisan ini para pejabat di MA ini harus mengagendakan sebuah rapat khusus iPod, yang hasilnya juga cukup menggelikan karena mere menganggap pemberian souvenir itu bukan dianggap gratifikasi, karena nilainya pada batas pemberian maksimal sebagai gratifikasi yaitu 500 ribu, sebagaimana informasi bahwa harga 500 ribu di Amerika Serikat (belum termasuh ongkos pengiriman dan pajak), padahal harga pasaran nya dioutlet resmi jelas-jelas 700 ribu rupiah.

Ketiga, respon publik yang akhirnya kurang simpati terutama kepada Sekretaris Mahkamah Agung (Ses MA) Nurhadi dan para pejabat MA yang menerima souvenir iPod. Mengapa persoalan yang begitu sederhana dan remeh-temeh ini harus menyita waktu untuk diangkat dalam sebuah rapat resmi MA serta menjadi pergunjingan di ranah publik. Andaikata para pejabat MA punya secuil kebijaksanaan dan menjunjung tinggi nilai-nilai etik dan kepantasan maka peristiwa ini yang memalukan ini tidak akan terjadi. Memang makin lama kita harus akui bahwa nilai-nilai etik yang agung sudah ditinggalkan para pejabat di negeri ini, mereka tanpa malu-malu lagi memamerkan kemewahan di tengah masyarakat kita yang masih hidup di bawah kemiskinan.

Sekali lagi ini suara dari nurani publik bahwa rakyat tidak membutuhkan sosok para pejabat yang gemar menghamburkan kewewahan hanya sekedar untuk mendongkrak prestige dan kewibawaan semu. Namun rakyat membutuhkan sosok pejabat yang rendah hati, sederhana, adil, bijaksana dan menjungjung nilai-nilai etik serta kepantasan. Apalagi mereka adalah wakil-wakil Tuhan yang ada di dunia ini, tidak sepantasya mereka hanya menggunakan norma legal formal sebagai acuannya.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun