[caption id="attachment_331032" align="alignnone" width="850" caption="Hasil Hitung Cepat Kompas - sumber: kompas.com"][/caption]
Penyelenggaraan Pemilu Legislatif sudah usai, dan hasil hitung cepat juga sudah dipublikasikan. Secara garis besar hasil hitung cepat ini tidak jauh beda dengan prediksi hasil survei menjelang pelaksanaan Pemilu Legislatif. Ada beberpa deviasi yang muncul dari hasil hitung cepat ini, yakni: besarnya Jokowi effect terhadap pendulangan suara PDIP tidak sebesar perkiraan dalam survei, sementara Prabowo effect dan Bang Rhoma effect ternyata malah mendulang suara yang lebih signifikan dibandingkan Jokowi effect.
Kali ini penulis tidak menyorot pada pembandingan antara prediksi hasil survei menjelang Pemilu dengan hasil Hitung Cepat, namun saya akan lebih mengulik pada fenomena dibalik hasil perolehan hasil Hitung Cepat. Ada paling tidak tiga fenomena yang dapat kita kemukakan, yaitu: Pertama, dalam penyelenggaraan Pemilu 2014 ini terlihat bahwa kerja keras dari masing-masing mesin Partai serta strategi pemenangan partai yang ciamik akan menunjukkan hasil yang mak nyuss. Disamping itu pemilihan figur para caleg yang sudah dikenal pada masing-masing Dapil turut mendongkrak pendulangan suara Partai.
Ungkapan no free lunch tepat untuk menggabarkan hasil hitung cepat Pemilu 2014 ini, karena effect popularitas publik figur tidak cukup kuat untuk mendongkrak suara Partai tanpa disertai oleh kerja mesin partai yang optimal dan strategi pemenangan partai yang mumpuni. Gabungan antara kerja mesim partai yang optimal dan strategi yang mumpuni dipercaya lebih memberikan kontribusi yang lebih nyata bagi pendulangan suara Partai dibandingkan hanya semata-mata menyerahkan pada effect popularitas publik figur Partai. Para caleg harus kerja lebih keras untuk mendulang suara di Dapilnya masing-masing dengan isu-isu yang lebih dekat dengan para calon pemilih. Kecilnya Jokowi effect bagi pendulangan suara PDIP menunjukkan adanya fenomena bahwa mesin PDIP kurang menunjukkan kerja yang maksimal, adanya kesan bahwa para caleg PDIP lebih menngandalkan vote getter dari popularitas Jokowi effect tanpa diikuti kerja yang lebih keras di Dapilnya masing-masing.
Kedua, penguasaan media massa ternyata tidak cukup mampu untuk mendongkrak perolehan jumlah suara Partai. Partai Hanura menjadi fenomena yang menarik. Ketika Hary Tanoesoedibjo loncat dari Partai Nasdem ke Partai Hanura, maka diperkirakan terjadi penggebosan untuk Partai Nasdem dan adanya peningkatan suara yang signifikan bagi Partai Hanura. Namun ternyata hal itu tidak terjadi Partai Nasdem justru muncul menjadi satu-satunya partai yang baru pertama kali mengikuti Pemilu dapat meraih angka yang cukup signifikan. Anehnya perolehan suara Partai Nasdem tidak mendasarkan dari popularitas tokoh pendirinya Surya Paloh, namun pendulangan Partai Nasdem lebih karena mesin partai yang bekerja optimal serta bangunan infrastruktur organisasi partai sampai ke tingkat akar rumput.
Ketiga, dari hasil hitung cepat PDIP memenangkan Pemilu 2014 dengan angka 19%, menunjukkan trend bahwa makin lama suara dalam Pemilu makin merata, ketika PDIP memenangkan Pemilu tahun 2009 masih dengan angka yang sangat fenomenal yaitu: 33,7%, kemudian Partai Golkar memenangkan Pemilu tahun 2004 dengan angka 21,6%, sedangkan Partai demokrat memenangkan Pemilu tahun 2009 dengan angka 20,9%. Artinya sudah tidak dimungkinkan lagi untuk sebuah Partai bisa mendominasi suaranya meskipun mempunyai tokoh yang sangat populer. Hal ini memberi pesan tegas bagi para tokoh Partai bahwa dalam penyusunan pemerintah selanjutnya harus melibatkan beberapa gabungan koalisi partai-partai. Karena bagimanapun wilayah negara Republik Indonesia ini terlalu besar kalau hanya diurus oleh satu dua partai pemenang pemilu.
Dari ketiga fenomena tersebut, penulis melihat bahwa para pemilih kita makin rasional. Partai sudah tidak bisa lagi mengandalkan sosok popularitas figur tanpa sebuah upaya yang maksimal untuk menghidupkan mesin partai dengan lokomotif para figur caleg di Dapilnya masing-masing. Fenomena para caleg yang hanya sekedar membonceng popularitas SBY seperti pada Pemilu tahun 2009 sudah tidak terjadi lagi pada Pemilu tahun 2014.
Hasil hitung cepat Pemilu tahun 2014 ini juga bisa memberikan ruang bagi peningkatan Parliamentary Threshold dimasa mendatang, karena perolehan Partai terakhir yang lolos Parliamentary Threshold sebesar 3,5% adalah Partai Hanura dengan perolehan suara 5,3%. Andaikata ke depan syarat Parliamentary Threshold bisa ditingkatkan lagi menjadi 5% maka diperkirakan peserta Pemilu tahun 2019 hanya sebanyak 10 Partai, dengan catatan tidak ada Partai baru yang mendaftar menjadi peserta Pemilu. PeningkatanParliamentary Threshold menjadi 5% juga menjadikan partai-partai baru yang akan mengikuti Pemilu akan berpikir ratusan kali kalau tidak benar-benar siap infrastrukturnya sampai ke akar rumput, dan yakin bisa memperoleh Parliamentary Threshold sebesar 5%.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H