[caption id="attachment_362943" align="alignnone" width="805" caption="Titiek Soeharto dan Puan Maharani Sumber Foto: Kompas & Liputan 6"][/caption]
Di tengah hiruk-pikuk pemberitaan tentang disahkannya UU Pilkada dan ditolaknya pengujian UU MD3, maka ada sedikit warta yang luput dari perhatian publik tentang keterwakilan perempuan dalam menduduki posisi pimpinan DPR, MPR dan DPD. Keputusan MK tersebut dibacakan bersamaan dengan keputusan penolakan gugatan tentang perubahan mekanisme pemilihan pimpinan DPR dan alat kelengkapan lain dalam UU MD3 tidak bertentangan dengan konstitusi. Menurut MK, memilih pimpinan di parlemen merupakan kewenangan anggota DPR.
Kalau kita runut ke belakang sejarah perjuangan untuk keterwakilan perempuan di parlemen memang cukup panjang, sampai keluar dalam ketentuan UU Pemilihan Umum tentang kuota 30 persen perempuan. Sebagaimana dalam pemilu tahun 2009 maka dalam pemilu tahun 2014 ini pun diberlakukan (kembali) kuota 30 persen perempuan. Kuota itu tercantum dalam UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Selain itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga telah menerapkan peraturan terkait Pemilu 2014 dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 7 Tahun 2013 tentang Aturan Pencalonan DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Selain ditujukan untuk mengatur pencalonan anggota legislatif, peraturan itu juga disusun dengan mempertimbangkan affirmative action keterwakilan perempuan.
Namun sayang nya ketentuan tentang keterwakilan perempuan ini dihapus dalam UU No. 17 tahun 2014 tentang MD3 malah dihapus. Maka dimotori oleh Khofifah Indar Parawansa, Rieke Diah Pitaloka, Aida Vitalaya, Yu Kusumaningsih, dan Lia Wulandari; serta tiga badan hukum privat, yakni Yayasan Gerakan Pemberdayaan Swara Perempuan, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, dan Perkumpulan Mitra Gender; menggugat bahwa UU MD3 dinilai telah menghapus seluruh ketentuan yang menyangkut keterwakilan perempuan.
Akhirnya dalam keputusannya MK mengabulkan sebagian atas gugatan para aktifis perempuan tersebut. Dalam pokok permohonannya, Mahkamah menimbang bahwa keterwakilan perempuan dalam menduduki posisi pimpinan alat kelengkapan DPR merupakan bentuk perlakuan khusus terhadap perempuan, yang dijamin oleh konstitusi dan harus diwujudkan secara konkret.
Dalam salah satu kutipan keputusan MK yang dibacakan oleh hakim MK, Wahiduddin Adams menyebutkan bahwa: "Dalam konteks negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi berdasarkan hukum, gagasan ini harus menjadi kebijakan hukum yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan sebagai hukum positif untuk memberikan jaminan kepastian hukum sebagaimana yang telah diatur dalam UUD 1945,".
Pada konteks inilah penulis akan sedikit mengulik tentang persaingan dua bintang srikandi parlemen yang akan bertanding memperebutkan kursi pimpinan DPR dan MPR. Tentu bukan sebuah kebetulan kalau dua tokoh ini muncul disamping karena prestasi pribadi dan ketokohanya sehingga mereka bisa melaju ke kursi parlemen dengan suara yang sangat menyakinkan. Kedua tokoh ini juga mewakili “darah biru” dari tokoh besar dalam sejarah panjang perjalanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dialah: Titiek Soeharto putri kesayangan presiden ke-2 Soehato, dan Puan Maharani putri kesayangan presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri atau salah satu cucu dari presiden pertama Soekarno.
Persaingan kedua tokoh ini menjadi semakin menarik karena Titiek Soeharto dari Partai Golkar yang kini sebagai salah satu motor penggerak dalam Koalisi Merah Putih (KMP) dan Puan Maharani dari PDIP yang kini sebagai partai pemenang pemilu sekaligus sebagai partai penguasa karena memenangkan ajang Pilpres dengan pasangan Jokowi – JK. Penulis membayangkan andaikata persaingan itu untuk memperebutkan kursi yang sama, misalnya: kursi ketua DPR, tentu akan menarik dan peta persaingannya akan begitu ketat, dengan catatan Titiek Soeharto dicalonkan oleh Partai Golkar dan di amini oleh KMP. Sementara Puan Maharani jalannya sudah mulus sebagai calon tunggal dari PDIP untuk menduduki sebagai ketua DPR, namun sayangnya dalam mengajukan paket ketua dan wakil ketua DPR, PDIP harus menggaet satu fraksi lagi dari KMP untuk bisa mengajukan paket ketua dan wakil ketua DPR.
Dalam info terakhir PDIP masih belum menemukan solusi untuk bisa menggaet salah satu fraksi untuk bisa mengusulkan paket ketua dan wakil ketua DPR, sementara Titiek Soeharto oleh partai Golkar bukan dicalonkan sebagai ketua DPR namun sebagai calon kuat wakil ketua MPR dari fraksi Partai Golkar bersama dengan Rambe Kamarul Zaman, dan Agun Gunanjar Sudarsa. Dalam hitungan hari kita akan bisa melihat hasil kontestasi dalam susunan ketua dan wakil ketua DPR/ MPR. Dan yang jelas kedua kadindat ini adalah merepresentasikan keterwakilan perempuan dalam menduduki jabatan ketua dan wakil ketua DPR/ MPR sebagaimana keputusan MK dalam ketentuan UU MD3 tentang keterwakilan perempuan dalam menduduki posisi pimpinan alat kelengkapan DPR/ MPR. Kita tunggu saja hasilnya dari gedung parlemen.
FB :arofiq aja
Twitter :@rofiq70
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H