Sejalan dengan kemajuan industri benang tanah air, berbagai jenis benang hasil pemintalan alat-alat mesin pabrik telah tersedia dengan mudah di pasar. Namun demikian tidak berarti serta merta para pengrajin kain tenun telah menghentikan tradisi memintal benang kapas secara tradisional.
Para kaum perempuan di wilayah Kodi, Kabupaten Sumba Barat Daya, khususnya di pedesaan, adalah contoh konkretnya. Sampai saat ini masih tetap melestarikan tradisi memintal benang kapas dari kebun mereka sendiri.
Benang ini sebagai bahan dasar untuk pembuatan kain panjang (hanggi) dan sarung (lowo) tenun. Kain (kamba) dari benang kapas hasil pemintalan tangan sendiri ini disebut gundu. Kain panjang namanya hanggi gundu dan sarung namanya lowo gundu.
Mengapa kaum perempuan atau masyarakat Kodi masih melestarikan tradisi memintal benang kapas secara tradisional? Hemat saya, ada dua alasan mendasar.
Pertama, berkaitan dengan prestise sosial. Mereka yang mengenakan atau  berbusana gundu dalam acara-acara penting, seperti pesta adat atau pasangan pengantin dalam perkawinan adat menggambarkan derajat status sosialnya tersendiri. Bukan sekadar dikagumi oleh mereka yang berbusana adat berbahan dasar benang pabrik, tapi juga mendapatkan penghormatan yang berbeda.
Dan kedua, secara ekonomi harganya mahal untuk ukuran dompet orang Sumba. Harga pasaran 1 lembar kain gundu (kamba gundu) berkisar antara 5 -- 10 juta rupiah. Sementara harga kain tenun berbahan dasar benang pabrik berkisar antara 350 -- 500 ribu rupiah. Selisihnya terpaut sangat jauh.
      Proses membuat atau memintal benang kapas ini memang tidak gampang. Perlu ketekunan, ketelitian dan waktu yang cukup lama.
      Pertama, tanaman kapas. Beberapa bulan kemudian baru panen buah kapas yang sudah tua.
      Kedua, buah kapas yang dipanen dijemur di matahari, supaya kulit buahnya kering dan pecah. Sehingga mudah memisahkan kulit dan serat kapasnya. Ini butuh waktu beberapa hari.