Seperti kata pepatah, lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya, setiap daerah mempunyai tata norma sendiri dalam urusan proses kawin mawinnya. Di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) mengenal yang namanya BELIS. Â Itu pun masing-masing di NTT, belisnya berbeda-beda.
Artikel ini mengulas  tentang Belis dalam perkawinan adat Sumba. Meskipun belis di Sumba itu esensinya sama, namun setiap suku mempunyai perbedaan dalam pelaksanaannya.  Oleh karena itu, yang saya sampaikan disini, khusus yang saya sungguh-sungguh pahami saja, yaitu belis pada wilayah suku Kodi.
Istilah BelisÂ
Sampai hari ini, istilah belis bagi saya pribadi masih penuh tanda tanya. Sebab kata belis ini saya tidak temukan dalam perbendaharaan bahasa ibu di Sumba. Mungkinkah kata belis ini berasal dari bahasa ibu suku-suku lain di NTT, seperti Flores, Lembata, Adonara, Timor, Semau, Sabu, Rote dan Alor? Entahlah! Jika ada yang sempat membaca artikel ini dan tahu asal kata belis, tolong disampaikan melalui kolom komentar.
Di Sumba, khusus di Kodi, yang dikenal adalah istilah Walli atau Walli Tyoyo.  Jika diterjemahkan secara harfiah, Walli artinya Harga dan Tyoyo artinya Orang. Jadi, secara harfiah juga, Walli Tyoyo artinya Harga Orang. Tapi terjemahan ini bukan esensi sesungguhnya.
Lalu, esensi sesungguhnya dari Walli itu apa? Dalam adat Kodi disebut juga sebagai Weyo Huhu Weyo Baba, artinya mahar pengganti air susu dan jasa selama mengasuh, mengasah dan mengasih.
Ibarat nasi sudah menjadi bubur, istilah belis sudah menjadi umum dalam proses perkawinan adat di NTT dan juga Sumba, maka istilah belis akan dipakai dalam ulasan ini.
Jadi, yang dimaksud dengan belis adalah suatu tradisi pemberian mahar dari pihak orangtua (pengantin) laki-laki kepada orangtua (pengantin) perempuan dalam bentuk ternak yaitu kerbau dan kuda serta Mamoli.
(Terkait Mamoli bisa diikuti melalui artikel saya di Kompasiana ini, yang berjudul  "Makna Mamoli dalam Perkawinan Adat Sumba", 10 April 2019).