Tanggal 2 Mei setiap tahun, bangsa Indonesia memperingatinya sebagai Hari Pendidikan Nasional (HARDIKNAS). Begitu menyebut HARDIKNAS, masyarakat Indonesia langsung teringat kepada sosok Ki Hadjar Dewantara, karena tanggal dan bulan tersebut adalah saat kelahirannya. Penetapan tanggal 2 Mei sebagai HARDIKNAS ini merupakan penghargaan atas jasa-jasa Ki Hadjar Dewantara dalam proses sejarah perjuangan bangsa Indonesia, baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan, teristimewa melalui jalur pendidikan.
Ki Hadjar Dewantara, memang dikenal sebagai aktivis pejuang kemerdekaan Indonesia yang multi talenta. Di samping berjuang melalui organisasi politik kepemudaan dan revolusi pendidikan melalui Perguruan Tamansiswa, ia juga adalah pejuang melalui pers sebagai wartawan dan kolumnis.
Sejak usia enam belas tahun ketika mengikuti pendidikan di STOVIA Jakarta, Ki Hadjar Dewantara sudah berkiprah, memperluas pergaulannya dengan tokoh-tokoh perjuangan nasional. Sewaktu Boedi Oetomo berdiri, ia baru berusia sembilan belas tahun, namun aktif di dalamnya dan bertugas di bidang propoganda. Bakat dan kemampuannya sebagai wartawan dan kolumnis disalurkan melalui surat kabar.Â
Tulisan-tulisannya sangat cerdas, kritis, tajam dan provokatif dalam menggugat kebijakan-kebijakan dan perilaku pemerintah penjajah Belanda yang menindas dan mengakibatkan penderitaan bagi rakyat bangsanya. Tulisan-tulisannya mampu memberikan pencerahan pendidikan politik dan kesadaran nasionalisme serta membangkitkan semangat keberanian rakyat bangsanya untuk berkonfrontasi dan berjuang mengusir penjajah Belanda.
Salah satu tulisan Ki Hadjar Dewantara yang sangat legendaris adalah yang berjudul Als Ik Een Nederlander Was (Andaikan Aku Seorang Belanda). Melalui tulisan ini, Ki Hadjar Dewantara, Â secara keras menyindir rencana pemerintah Hindia-Belanda untuk memperingati seratus tahun Kemerdekaan Negeri Belanda di tanah jajahannya. Kerajaan Belanda dan orang-orang Belanda, tulis Ki Hadjar Dewantara, semestinya MALU dan TIDAK PANTAS, merayakan kemerdekaannya secara meriah di negeri yang sedang dijajahnya.Â
Tulisannya ini membuat Kerajaan Belanda dan pemerintah Hindia-Belanda marah besar. Akibatnya Ki Hadjar Dewantara dibuang (diasingkan) ke Negeri Belanda pada tahun 1913 dan baru pulang kembali ke Tanah Airnya pada 1919.
Selama enam tahun di pengasingannya, di samping mempendalam ilmu pengetahuan dan  memperluas pergautannya dengan tokoh-tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia lainnya yang juga diasingkan di Negeri Belanda dan orang-orang Belanda yang bersimpati dengan misi perjuangan mereka, Ki Hadjar Dewantara terus menulis tentang misi perjuangan nasionalisme bangsanya baik dalam bahasa Belanda, Indonesia maupun Jawa dan mengirimkannya ke berbagai surat kabar yang terbit dan beredar baik di Indonesia maupun Negeri Belanda.
Setelah kepulangannya dari Negeri Belanda, Ki Hadjar Dewantara tetap aktif menulis sebagai wartawan dan kolumnis pejuang nasionalisme. Tiga tahun kemudian, tepatnya pada 3 Juli 1922, Ki Hadjar Dewantara mendirikan Nationaal Instituut Onderwijs Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa).Â
Lembaga pendidikan atau sekolah yang didirikannya ini, bertujuan untuk mendidik anak-anak pribumi jelata supaya cerdas dan setara dengan anak-anak bangsawan dan penjajah Belanda, memiliki jiwa merdeka dan semangat kebangsaan atau nasionalime yang tinggi dan militan, sebagai modal dasar dalam upaya perjuangan mengusir penjajah kolonial Belanda. Sekolah yang didirikannya ini berkembang pesat, hanya dalam rentang waktu satu dekade sudah mencapai lebih dari seratus cabang.
Melalui Perguruan Tamansiswa tersebut, Ki Hadjar Dewantara juga mengajarkan ilmu jurnalistik atau kewartawanan kepada anak-anak didiknya, sebagai salah satu senjata dan sarana perjuangan nasionalisme kemerdekaan bangsanya. Sehingga bertambahlah jumlah wartawan pejuang nasionalime kemerdekaan dan bersama wartawan lainnya dan organisasi kepemudaan serta organisasi politik, propaganda atau provokasi perjuangan nasionalisme dengan misi untuk mengusir penjajah Belanda dan kemudian Jepang dari tanah air Indonesia dapat diwujudkan.
Setelah Kemerdekaan Republik Indonesia (RI), di samping kesibukannya sebagai Menteri Pendidikan dan Pengajaran RI pertama, Ki Hadjar Dewantara tetap terus aktif menulis. Demikian pula, setelah tidak menjadi Menteri lagi, ia tidak berhenti berkarya untuk menulis. Tulisan-tulisannya selalu konsisten dengan topik kajian seputar strategis dan kiat-kiat bagaimana mempertahankan dan mengisi kemerdekaan RI, terutama melalui sektor pendidikan nasional Indonesia yang berlandaskan kebudayaan bangsa Indonesia sendiri.